Archive for Februari 16th, 2007

Serbaneka Masalah Kata dan Istilah Ponsel

Posted on 16 Februari 2007. Filed under: Bahasaku-Bahasamu |

Ulasan seputar telepon selular kian bervariasi. Sejumlah persoalan kata dan istilah telepon selular pun bermunculan. Masalahnya, bagaimana mengurangi penggunaan kata dan istilah asing dengan berbahasa Indonesia pada media yang mengulas telepon selular?

Kritik pertama muncul dari pembaca. Yang dikritik adalah kata dan istilah asing yang membingungkan. Kritikan biasanya ditujukan kepada kalangan pers. Kritikan bertambah runyam kalau kata dan istilah asing yang dipergunakan membuat kacau pembaca dalam berbahasa Indonesia. Ibarat benang kusut, ujung permasalahan kebahasaan susah dicari lagi inti persoalannya.

Kata dan istilah asing seputar telepon selular (ponsel) pun tak lepas dari pengkritik. Apalagi akhir-akhir ini kata dan istilah asing sering dipakai dengan cara yang dipaksakan. Tak ada keinginan penulisnya untuk bersungguh-sungguh menemukan padanan kata dan istilah Indonesia yang cocok. Padahal, bahasa pers yang dipergunakan dalam penerbitannya adalah bahasa Indonesia.

Sebagai contoh, majalah Selular dengan moto Trend Gaya Hidup Digital, boleh jadi belum pernah memunculkan permasalahan kata dan istilah asing. Perhatikan contoh judul-judulnya seperti berikut ini: Nikmatnya Couzy Style, Surfing Asyik!, Si Kecil untuk Tampil Cool dan Trendy, Revolusi Pop Jornada: Fast, Secure, Be Ready!, How Low Can You Go?, “Eurosource Europe” Charity in Action, dan Welcome 3G (Selular No. 19/II/10/01).

Frekuensi tinggi dalam penulisan kata dan istilah asing itu cenderung memperkuat anggapan, bahasa pers sebagai “perusak” bahasa Indonesia. Pertanyaannya adalah benarkah atribut perusak bahasa melekat pada bahasa pers?

Aspek kesadaran mau tak mau ikut berperan untuk menghindari pemunculan kata dan istilah asing yang tidak diperlukan. Kesadaran berkaitan dengan kepedulian. Kesadaran berbahasa dengan baik dapat mencerdaskan pembacanya. Namun, orang pers sering berkilah, faktor keterbatasan waktu penulisan sebagai faktor utama kekacauan berbahasa. Media massa dibatasi dengan tenggat penulisan. Alasan ini sesungguhnya sulit diterima. Bukankah ada redaktur bahasa yang berguna untuk mengoreksi naskah? Jika redaktur bahasa tidak ada, bukankah sumber tertulis sebagai rujukan bahasa cukup banyak tersedia. Misalnya, ada yang memiliki buku pedoman, seperti Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Ada pula yang memiliki buku gaya selingkung (house style) dan kamus.

Khusus penerbitan gaya selingkung, ada contoh buku yang patut ditiru. Di kalangan redaksi intern suratkabar beredar Buku Pintar Wartawan Kompas. Isinya antara lain kata dan istilah asing yang diindonesiakan. Kecuali itu, di toko buku juga beredar Misalkan Anda Wartawan Tempo. Buku ini, saduran dari buku aslinya Feature Writing for Newspaper karya Daniel R. Williamson. Isi bukunya sering dimanfaatkan oleh calon wartawan.

Kompas dan Tempo berhasil menerbitkan buku semacam gaya selingkung. Pada kenyataannya penerbitan ini didukung oleh pimpinan lembaga persnya. Di televisi, ada contoh lain seperti di bagian penerjemahan programming RCTI. Televisi swasta pertama ini pernah memiliki pemerhati konsep terjemahan dengan tepat. Di lembaga pers yang lain juga mulai muncul kebijakan perlunya dibentuk Redaktur Bahasa. Namun, sebagian besar di kalangan pers lebih banyak pimpinan yang tidak mau peduli terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Bahasa Antarmedia

Lima belas tahun yang lalu, tepatnya 1992 Slamet Djabarudi dan Goenawan Mohamad dari majalah Tempo (dan harian Kompas) mengundang editor bahasa antarmedia. Agenda pertemuan berjudul Rapat Bahasa (kemudian menjadi “Forum Kajian Bahasa Antarmedia”). Pembahasannya berkisar pada masalah yang sering muncul dalam soal kebahasaan. Landasan pertemuan terletak pada keprihatinan atas kata-kata atau istilah-istilah asing di media massa. Sebagian besar media massa (baik cetak maupun elektronik) jarang yang memperhatikan padanan kata dan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia yang baik (tepat) dan benar.

Respons peserta sangat antusias. Ada dialog. Ada peserta yang memunculkan persoalan atau mendiskusikan materi yang dipersoalkan dengan mengacu pada kamus. Ada pula peserta yang membuat kata dan istilah yang disepakati, jika di kamus tidak ada. Pimpinan rapat mengadakan voting, jika belum ditemukan kata-kata yang disepakati dengan penundaan untuk sementara waktu. Untuk membuat keputusan akhir, peserta rapat mengagendakan pihak yang layak dimintai pertimbangan dan konsultasi.

Saat pembahasan padanan kata dan istilah, misalnya Prof. Dr. Anton M. Moeliono diundang. Dalam pembahasan singkatan dan akronim diundang Dr. Hasan Alwi, lalu untuk pembicaraan kata dan istilah asing diundang Basoeki Koesasi, staf pengajar bahasa Indonesia di Universitas Monash, Australia. Selain itu, Prof. Dr. Jacob Rais dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional diundang untuk memberi masukan tentang nama kota dan negara yang benar. Tak ketinggalan pula Mari Elka Pangestu, doktor dari Economics UC Davis, Amerika Serikat diundang untuk pembahasan kata dan istilah ekonomi. Suyono dari Persatuan Atletik Seluruh Indonesia untuk kata dan istilah olahraga atletik, Soeratmin, pelatih anggar nasional, dan Panuti Sudjiman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia ikut menyumbang padanan kata dan istilah yang diperlukan.

Meski tim bahasa berusaha merujuk pada kamus, buku teks atau berkonsultasi dengan pakar dari disiplin ilmu tertentu, pilihan kata dan istilah Indonesia yang diambil kadang-kadang tidak enak dan dirasakan janggal. Harapannya hanya jika kata-kata itu sering digunakan, lama-kelamaan kejanggalan tadi hilang dengan sendirinya. Contohnya penggunaan kata canggih, makalah dan mantan. Kini ketiga kata itu sudah berterima bagi pemakai bahasa Indonesia.

Kata dan istilah asing yang lain, seperti doorprize (tiket/undangan berhadiah), lucky draw (lotre, undian), low profile (elak tampil), dan automatic teller machine (ATM) atau anjungan tunai mandiri (ATM). “Kebetulan kata asingnya disingkat ATM dan diindonesiakan menjadi ATM juga. Ini lebih gampang berterima,” ujar Anton M. Moeliono yang mengusulkan penggunaan istilah itu dalam Rapat Bahasa di majalah Tempo.

Usul kata atau istilah adakalanya berkaitan erat dengan isu yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kata kolusi, nepotisme, reformasi dan arus bawah sebagai contoh kata yang populer. Lain halnya dengan kata yang muncul ketika kata itu sengaja dipopulerkan oleh media massa, seperti kata bersulang (toast), kudapan (snack), tekti/teknologi tinggi (high technology/hitech), dan masuk bursa (go public). Frekuensi pemakaiannya tinggi maka penggunaan kata atau istilah itu mudah berterima.

Kata dan Istilah Ponsel

Menurut pengamatan saya, jumlah pelanggan ponsel di Indonesia selama 2007 meningkat pesat. Sementara itu, jumlah pelanggan diproyeksikan mencapai jutaan orang..Jadi, artinya ada jutaan orang Indonesia yang mulai berkenalan dengan kata dan istilah asing seputar ponsel. Oleh karena itu, padanan kata dan istilah yang diperkenalkan senantiasa perlu merujuk pada bahasa Indonesia, bahasa daerah atau bahasa sanskerta.

Tujuan pengenalan kata dan istilah asing yang diindonesiakan agar bahasa Indonesia bukan hanya menjadi bahasa yang berpedoman jelas dan runtut, melainkan juga bahasa Indonesia kelak menjadi bahasa yang sesuai dengan tuntutan perkembangan ke arah kehidupan modern. Meskipun kata dan istilah asing, terutama yang berasal dari bahasa Inggris sukar dihindari dari pemodernan bahasa Indonesia, pemunculan kata dan istilah asing di dalam berbahasa Indonesia perlu dihindarkan. Pengungkapan kata dan istilah asing bagi gagasan dan pikiran yang dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia dapat menghambat bahasa Indonesia.

Respons positif itu sudah muncul dari kalangan pers. Selayaknya ditanggapi positif pula oleh peminat bahasa Indonesia. “Mari Kita Bicara”, demikian moto yang pernah dipakai oleh operator Satelindo. Lantas, bahasa pers juga dapat memperbaiki, meluruskan, dan mengembangkan bahasa Indonesia. Di sinilah muncul unsur “pendidikan” yang dapat dimainkan oleh pers. Dengan kata lain, belajar bahasa Indonesia dapat dilakukan bukan hanya di sekolah, melainkan juga belajar bahasa Indonesia dapat dilakukan melalui bahasa pers yang baik.

Selain kata dan istilah ponsel bertambah banyak, media massa yang mengulas ponsel juga bertambah, seperti tabloid Sinyal, PC Plus, Infokomputer, Telset, Trend&Telecomunication, Internet, T&t, Komputer Aktif, juga koran Kompas, Media Indonesia, dan situs Warta Ponsel.com, Selular.com, MyPonsel.com, PonselDirect.co.id. Untuk itu, saat ini diperlukan kamus yang diolah menurut kata dan istilah yang berkembang dalam perponselan. Daftar kata dan istilah ini diharapkan menjadi standar penulisan bagi media massa. Kata dan istilah yang diindonesiakan kelak dibukukan agar dapat dibaca oleh pemakai ponsel.

Kata dan istilah olahraga, teknologi, komputer, kedokteran/kesehatan, bisnis, manajemen, dan otomotif banyak yang diindonesiakan. Sekarang saatnya disusun kata dan istilah ponsel. Itulah salah satu bentuk kepedulian media massa seputar ponsel atas penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Upaya ini dilandasi dengan kesadaran, peran media massa dalam menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia sangat besar pengaruhnya bagi lima jutaan pemakai ponsel di Republik Indonesia.

Berikut ini daftar kata dan istilah asing yang diindonesiakan dan yang belum diindonesiakan. Kata dan istilah asing yang belum ditemukan padanan katanya masih perlu dicari lagi.

Kata dan Istilah Asing yang Diindonesiakan

accesoris —> aksesoris

feature —> fitur

handphone —> telepon genggam; telepon selular

phone book —> buku telepon

ringtone —> nada dering

roaming —> jelajah

simple text —> teks simpel/sederhana

trendy —> trendi; menurut mode terakhir

voucher —> vocer

Kata dan Istilah Asing yang Belum Diindonesiakan

bezel

branding

built-in pixel editor

call divert

casing

charge (nge-charge)

comfort (model ini juga comfort dibawa ke mana-mana)

couzy (gaya hidup yang couzy)

(couzy dan corporate masuk dalam integrated digital office system)

cring

cute en nggemesin

download gambar

drop call dan blank spot area

dual LCD

enhancement

handset

incoming call dan outgoing call

invisible man

intelligent network Bluetooth

keypad

m-banking

message center

neckstrap

powerful

secure electronik transaction

standby time

starterpack

stylish (desain yang stylish)

surfing (ber-surfing)

tagline always connected always online with GPRS

total freedom with bluetooth

voice

voice mail

voice note

voice recognition dialing

voice recorder

voice switching

vibracall

vibrating alert

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Menulis Sejarah, Jauhkan Pengandaian

Posted on 16 Februari 2007. Filed under: Artikel |

Saya belum pernah belajar khusus di fakultas sejarah apalagi mengajar sejarah. Namun, saya masih ingat pepatah lama sejarawan George Santayana, “Kalau orang tidak belajar dari peristiwa sejarah maka ia akan dikutuk untuk mengulangi lagi!”

Kata orang Perancis, “Sejarah itu berulang!” atau dalam pepatah bahasa Latin, Sejarah itu guru kehidupan. Kalau kata Bung Karno pada pidato terakhir sebagai Presiden RI, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” yang oleh Menteri Penerangan, H. Harmoko disingkat menjadi “Jasmerah!”

Sebagai orang yang bekerja di penerbitan, saya mempunyai pengalaman menyunting naskah sejarah. Oleh karena itu, berikut ini saya sampaikan catatan-catatan perihal naskah sejarah. Silakan simak uraiannya. Semoga uraian ini berguna bagi Anda yang berminat menyusun buku sejarah.

Kegunaan Sejarah

Di masa lampau terletak masa kini dan pada masa kini terletak masa yang akan datang. Hidup atau kekinian merupakan suatu proses kehidupan. Kenapa seseorang hidup dengan tubuh dan keadaan tertentu merupakan buah dari hidup dan perbuatan orang tuanya. Demikian juga seorang anak yang di bangku SLTP karena pernah di SD dan kelak akan masuk SMU, lalu masuk ke perguruan tinggi.

Untuk memahami masa kini, kita perlu mempelajari masa lampau dan untuk memperoleh gambaran masa-masa yang akan datang, kita perlu mempelajari situasi sekarang.

Republik Indonesia sebagai negara kesatuan merupakan buah perjuangan atau sebagai reaksi atas penjajahan Belanda. Apakah kalau Belanda tidak menjajah, Republik Indonesia akan ada seperti sekarang ini? Barangkali tidak. Demikian pula pertanyaan kenapa kita bersatu? Ya, karena perasaan senasib-sepenanggungan sebagai orang terjajah yang mengalami diskriminasi dan tidak bebas. Ikatan kebangsaan atau nasionalisme Indonesia bukan terletak pada kesamaan suku, agama, budaya, atau wilayah, melainkan pada perasaan senasib-sepenanggungan. Karena faktor itulah, masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia dulu memiliki imajinasi kolektif terhadap suatu negara adil-makmur. Menghadapi proses disintegrasi perlu digali nilai-nilai yang menyatukan masyarakat menjadi bangsa Indonesia. Mungkin perlu dirumuskan kembali imajinasi kolektif yang menyatukan seperti membangun Indonesia yang demokratis dan pluralistik ketika keberagaman suku, agama, adat istiadat, budaya, dan wilayah dihargai. Dengan demikian, sejarah menjadi identitas pribadi dan identitas bersama. Suatu identitas nasional yang saat ini amat diperlukan untuk dikemukakan kembali.

Sejarah sebagai Fakta Peristiwa

Sejarah bukan deretan angka tahun, melainkan fakta peristiwa yang kompleks. Oleh karena itu, semakin singkat suatu sejarah semakin panjang kebohongan. Artinya, melukiskan kisah yang di dalamnya ada profil tokoh pastilah memerlukan uraian panjang-lebar. Meski ada keterbatasan sumber atau catatan sejarah, tetapi harus terus dicari dan disempurnakan.

Sebagai fakta peristiwa yang sekali terjadi atau dalam bahasa Jerman: einmalig tidak mengenal pengandaian atau kata seandainya. Seandainya Cleopatra berhidung pesek, apakah Marcus Antonius jatuh cinta kepadanya? Tidak tahu. Kata seandainya tidak bisa dijawab karena kenyataannya, Antonius kesengsem oleh ratu Mesir yang cantik-jelita, dan alamak sungguh aduhai lenggak-lenggoknya. Nah, fakta peristiwa pasti menarik. Itu pasti. Bayangkan saja kendala bahasa pada waktu itu. Antonius yang berbahasa Latin dengan orang Mesir yang berbahasa Aram atau Arab Kuno. Kok bisa ya jatuh hati?

Kalau sejarawan atau guru sejarah bisa mencari sumber-sumber informasi tentang bagaimananya fakta peristiwa pasti akan memukau pembaca, termasuk murid di kelas. Begitu juga pembicaraan tentang profil tokoh nasional. Bung Karno misalnya, pasti menarik untuk dibahas.

Soekarno mengalami serangkaian pembuangan dan hukuman penjara dari tiga Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekaligus, de Graef, de Jongh, dan Tjarda van Starkenbourg-Stachouwer. Kesepian dan sakit karena terkena malaria, juga gangguan ginjal pasti sangat berat bagi Bung Karno, demikian ia akrab disapa ketika dibuang ke Ende. Namun, ia selalu bilang, “Soekarno itu kerikil kecil yang menjatuhkanmu. Bangun dan berlarilah kembali!”

Siapa orang yang bercita-cita menjadi presiden? Mungkin hanya ada dua, yaitu “orang gila” dan Bung Karno. Bung Karno, seperti diceritakan oleh Gatot Mangkupraja pada tahun 20-an ketika melewati kantor Gubernur Jenderal (sekarang Istana Negara) berkata: Suatu hari nanti I will be there! Ternyata memang benar, dia menjadi presiden pertama.

Demikian juga dengan tokoh-tokoh dunia yang lain. Sebut saja Napoleon Bonaparte. Suatu saat Kaisar Napoleon menjatuhkan hukuman mati kepada seorang opsir muda yang terbukti bersalah. Sebelum pisau guilottine memenggal leher, ibu opsir muda itu menghadap Napoleon. Sang ibu memohon ampun atas kesalahan yang dilakukan oleh sang anak tunggal. Napoleon mengatakan: “Dia tidak pantas mendapat pengampunan karena perbuatannya sudah keterlaluan!” Lalu sang ibu menukas: “Kaisar, kalau ia pantas menerima maka namanya bukan pengampunan. Justru karena ia tidak pantas menerima maka apa yang saya minta disebut pengampunan!” Lantas, kaisar membebaskan opsir muda.

Sejarah sebagai fakta peristiwa pasti menarik karena menyangkut orang atau fakta peristiwa yang sekali terjadi. Sejarah menyimpan tanda tanya dan rasa keingintahuan yang berjibun sehingga kalau murid sampai mengantuk saat pelajaran sejarah, pastilah ada sesuatu yang keliru dalam penyampaian isi pernyataannya!

Wawasan Sejarah

Pastilah tidak semua murid menjadi sejarawan atau guru sejarah. Namun, setiap murid wajib memiliki wawasan sejarah. Minimal, wawasan sejarah bagi diri sendiri. Siapa dirinya? Asal-usulnya? Mau kemana dia akan pergi atau akan sekolah? Wawasan ini juga membuat orang bersikap rasional dalam melihat suatu fakta peristiwa atau persoalan atau berita yang muncul. Apa yang dikatakan? Siapa yang mengatakan? Mengapa dia mengatakan hal itu atau melakukan sesuatu perbuatan? Kapan dia mengatakan? Apa kata orang lain? Apakah ada saksi? Apakah ada bukti?

Wawasan sejarah membuat orang kritis terhadap hidup dan pengalaman. Hal itu dapat ditanamkan secara amat intensif lewat pelajaran sejarah. Tugas para guru untuk membangkitkan sikap dan minat agar kritis. Sikap dan minat menimbulkan rasa ingin tahu yang besar sehingga mendorong anak untuk memiliki kebiasaan belajar. Perbandingan sumber berita (siapa yang mengatakan) akan membuat murid berlatih menguji logika fakta peristiwa sehingga tidak menelan mentah-mentah suatu berita atau desas-desus, isapan jempol, rumor, kabar burung, berita bohong, dan SPAM. Pertanyaan tentang apa yang akan terjadi membuat murid terbiasa mengadakan prediksi dan memperkirakan kondisi-kondisi yang harus diwujudkan agar fakta peristiwa dapat terjadi seperti diperkirakannya. Selain itu, rasa keingintahuan mampu menggerakkan minat baca murid yang luar biasa bukan hanya dalam bidang sejarah, melainkan juga dalam bidang-bidang lain. Misalnya, bagaimana seorang Archimedes menemukan hukum yang kemudian disebut Hukum Archimedes. Ternyata saat mandi dan nyemplung di bak, ia merasakan badannya terangkat oleh tekanan air.

Kenapa orang yang melakukan kekerasan seksual disebut sadis. Ternyata, kata sadis berasal dari nama seseorang yang perilakunya kejam. Ia bangsawan Perancis bernama Marquis de Sadde yang dengan gila menuliskan pengalaman-pengalaman menyakiti orang untuk memperoleh kepuasaan seksual. Demikian juga kata Maschokis atau orang yang senang kalau disakiti supaya mendapat kepuasan seksual. Kata itu pun berasal dari orang yang mengalami perlakukan yang sama dan berani menuliskan pengalaman. Ia bernama Frederich von Mashooch.

Nah, berdasarkan rasa keingintahuan yang dibangun dari pelajaran sejarah, murid dapat merambah ke bidang-bidang lain yang sesuai dengan minat. Ternyata wawasan sejarah berkaitan dengan semua bidang. Hal itu menjadi sarana untuk membangkitkan kebiasaan belajar pada murid-murid.

Sejarah Bertualang

De Graaf di kapal yang membawa dirinya ke negeri Belanda bertemu dengan Kapten kapal. Tuan De Graaf, kata Kapten itu, saya heran dengan Tuan. Betapa membosankan hidup Tuan. Bertahun-tahun Anda hanya duduk di kursi dan meneliti arsip. Praktis Anda tidak keluar kamar hanya untuk mempelajari catatan-catatan kuno. Hal itu berbeda dengan saya yang terus bepergian mengarungi samudera dengan kapal saya. Dengan lantang de Graaf menjawab: “Tuan Kapten, rute perjalanan Anda praktis sudah dipetakan. Tidak ada benua baru yang mesti ditemukan atau dicari sehingga Anda sebenarnya hanya pergi dari kota itu ke kota itu saja! Walaupun saya tidak beranjak dari kursi saya selama bertahun-tahun, tetapi saya tidak tahu mau dibawa kemanakah riset saya? Penjelajahan saya tidak hanya menyangkut lautan, melainkan juga waktu. Jadi, saya lebih bertualang dengan duduk di kursi saya daripada Anda!”

Percakapan antara de Graaf dan Kapten terjadi di pelabuhan Surabaya yang semakin meyakinkan sejarawan untuk terus menekuni penelitian. Banyak hal yang masih gelap dalam sejarah Republik Indonesia. Sebut saja masa kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa sekitar Abad X Masehi. Atau pada masa modern banyak hal yang masih misteri, seperti peristiwa G30S PKI, Supersemar, kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Semanggi, dan kasus Timor Timur.

Pada sebuah penelitian, seorang teman pernah menemukan dokumen tentang pergerakan kemerdekaan yang dipelopori oleh Perhimpunan Indonesia, wadah para mahasiswa Indonesia di Belanda masa itu, yang pada tahun 1926 dipimpin oleh Mohammad Hatta. Antara lain pada 1936 karena menanggapi situasi waktu itu Perhimpunan Indonesia mengadakan rapat tertutup pada malam hari tanggal 12-6-1936 di Hotel Rijnland, Leiden dimulai pukul 21.00. Dihadiri oleh sekitar 40 anggota yang rata-rata berusia 30-an tahun. Rapat dipimpin oleh Mas Soedario Moewaladi (yang dijuluki Moekim). Rapat ingin membentuk front persatuan politik nasional dari semua pihak kiri dan kanan nasional Indonesia. Perhimpunan Indonesia yang bersemboyan “Hindia lepas dari Belanda sekarang juga” (Indie los van Holland, Nu) harus memegang pimpinan supaya dapat mewujudkan konsentrasi semua kekuatan yang dapat bekerja sama mencapai Indonesia merdeka.(Sumber: ARA- Algemeen Rijkarchief, Den Haag, Mailrapport 619x/1936 CI No. 333640. Geheim). “Dokumen itu bersifat rahasia maka diberi tanda X bahkan kode nomor diikuti dengan kata geheim yang artinya “rahasia.” Aku seakan-akan dapat melihat sendiri para mahasiswa berapat di malam hari sebagaimana biasanya bila para mahasiswa membentuk kekuatan untuk melawan ketidakadilan,” tulis sang peneliti.

Masih diperlukan orang-orang yang mau bertualang mengejar sumber berita agar peristiwa masa lampau itu lebih jelas sosoknya. Penelitian seperti itu tidak mesti berlangsung di komunitas akademik, tetapi penelitian biasa yang dapat menjadi informasi lebih jelas bagi masyarakat. Lewat pelajaran sejarah perlu dibangikitkan para peneliti muda sehingga muncul orang seperti de Graaf yang praktis merekonstruksi seluruh sejarah Mataram.

Terbuka pada Fakta

Lewat sejarah, orang dididik untuk terbuka terhadap fakta. Sejarah yang dimanipulasi untuk kepentingan kultus individu atau kelompok akan ketahuan ketidakbenarannya. Karena kebenaran akan selalu membukakan diri. Berdasarkan informasi terbaru pasti banyak hal pada masa lalu yang terlihat kebenarannya. Candi Borobudur itu hebat, tetapi bagaimana orang zaman dulu mengangkat batu hingga ke puncak bukit untuk stupa? Dengan batang-batang pohon, batu-batu digelindingkan. Pasti banyak korban. Lewat kehebatan bangunan, seseorang bisa membaca adanya korban-korban manusia yang tragis dan dilupakan karena dianggap tidak membangun. Memang menerima fakta sejarah seringkali pahit rasanya. Namun, para murid bisa belajar tentang kesalahan-kesalahan masa lalu. Minimal mengasah hati nurani untuk peka terhadap masalah kemanusiaan. Misalnya, kasus Timor Timur. Ternyata integrasi yang dipaksakan membawa kesulitan di kemudian hari. Nama bangsa menjadi tercoreng dan banyak korban yang sebetulnya tidak diperlukan. Masalah integrasi bangsa yang dulu selalu dianggap beres ternyata timbul gejolak disintegrasi bangsa yang melahirkan kekerasan demi kekerasan. Kalau murid bisa diantarkan untuk bersikap terbuka, pelajaran sejarah telah membawa kesuksesan yang besar. Akan kemanakah negara kesatuan Republik Indonesia, banyak hal tergantung dari pemahaman orang akan sejarahnya? Setiap generasi akan menulis sejarah sendiri, maka tidak ada alasan bagi generasi muda untuk tidak terlibat dan berani menggali informasi dan data yang diperlukan bagi penyempurnaan sejarah.

Menulis Buku Sejarah

Lantas, bagaimana menyusun buku sejarah? Kalau buku sejarah membangkitkan minat pembaca untuk menggali sejarah, maka buku itu dapat menimbulkan rasa keingintahuan untuk mencari dan selalu mencari informasi — membuka wawasan murid akan kenyataan konkret di sekitarnya — niscaya buku yang ditulis memenuhi tujuan penulisan.

Naskah sejarah yang berwujud narasi atau cerita dipenuhi oleh informasi dan inspiratif. Sulitkah menyusun buku seperti itu, apalagi mesti didamaikan dengan tuntutan kurikulum sekolah. Namun, kalau bekal atau modal informasi memadai atau berlimpah niscaya kesulitan jadi enggan mengikutinya. Perlu ketekunan dan kesabaran luar biasa untuk terus-menerus membaca dan belajar serta meneliti. Namun, kenapa Anda belum berani mencoba?

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...