Archive for Februari 5th, 2007

Banjir yang Mengabaikan Manajemen Air

Posted on 5 Februari 2007. Filed under: Unek-Unek |

Manajemen drainase, kali, sungai, dan air yang mengalir di tempat kita kurang baik salurannya. Saya ambil sebagai contoh, kata Pamusuk Eneste, 55 tahun, Editor Senior, kalau di kawasan Bintaro Jaya Jakarta Selatan setiap bulan secara berkala, dasar sungai selalu dikeruk sehingga air mengalir dengan lancar. Kebetulan pengembang memerhatikan pembuatan saluran air, mulai dari saluran yang berukuran kecil sampai dengan ukuran membesar yang membentuk perut air, itu selalu dibersihkan dan dikeruk. “Apakah di tempat lain secara berkala dikeruk kotorannya, saya yakin enggak begitu. Kalau pengembang perumahan yang baik secara berkala selalu membersihkan saluran air menjelang musim penghujan,” tegas Pamusuk.

Saya juga melihat manajemen air itu mirip dengan manajemen orang. Kalau seseorang secara berkala dimonitor pekerjaannya, apa yang dihasilkan dan apa yang dikerjakan, niscaya tampak hal-hal yang bisa segera diperbaiki dan dikembangkan menjadi lebih baik. Kalau alpa memantau yang terjadi tentulah berupa ketidaktahuan atas apa yang akan dihasilkan atau apa yang tengah dikerjakan. Demikian pula kalau kita mengabaikan manajemen air dengan baik, niscaya energi negatif air mencari tempat yang cocok untuk disinggahi.

Mas Pam, demikian saya menyapa Pamusuk Eneste mengamini saja penjelasan itu. Ia pun menambahkan di tempat kita ini tidak ada kebiasaan memerhatikan apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan baik. Jadinya, banjir di mana-mana muncul merata. Kalau pengembang perumahan yang baik memberi perhatian pada saluran air, membersihkan secara berkala menjelang musim hujan, akibatnya saluran air mengalir lancar. Tanpa hambatan. Kalau tidak begitu, air akan meluap keluar pembatas dan meluber mencari tempat yang biasanya disinggahi. Contoh pengembang yang negatif adalah perumahan di Kelapa Gading. Asal perumahan itu mulanya adalah rawa-rawa. Tempat ini sebagai penyerapan air, sekarang berubah jadi perumahan. Meski infrastruktur berubah, air tidak mengalami perubahan. Manajemen air kurang diperhatikan. Jadi, air tetap datang ke tempat semula saat ia menjadi tempat penyerapan. Pengembang hanya memerhatikan pembangunan fisik gedung. Akibatnya, air tetap datang ke tempat semula dari tempat ia berasal. Banjir di kawasan Kelapa Gading sulit dihindarkan.

“Saya pernah mengalami waktu banjir mampir sedada di Puri Kartika, Ciledug, wah repot dan malu saya terhadap anak saya,” ujar mas Pam, yang kini bermukim di Mertilang IX Bintaro Jaya Jakarta Selatan seraya menambahkan, “kayaknya kita sebagai orang tua enggak mampu memberikan rasa aman dan nyaman kalau rumah kita kebanjiran.”***

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sastra di Sekolah

Posted on 5 Februari 2007. Filed under: Makalah |

Pengantar
Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia menghadirkan para ahli bahasa dan sastra, praktisi pembuat buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, guru SD, SMP, SMU, Senin 22/1-Selasa 23/1, pukul 9.00-15.50. Oleh karena itu, saya sampaikan makalah Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang kebagian sesi Tinjauan Buku Pelajaran Sastra Indonesia. Silakan simak makalah lengkapnya berikut ini.

SASTRA DI SEKOLAH
Oleh Sapardi Djoko Damono

/1/
Dalam rangka Kongres Kebudayaan III di Solo pada tahun 1954, seorang budayawan dan tokoh nasional, Ki Mangoensarkoro, menyampaikan sebuah prasaran yang berjudul “Pen­didi­kan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah.” Dalam prasaran itu antara lain dikatakannya bahwa masyarakat sekolah merupakan tempat pemeliharaan bibit bagi kekuatan hidup masyarakat di masa datang; oleh karenanya sekolah merupakan sumber kekuatan baru dalam masya­rakat. Jadi, bagi masyarakat, sekolah merupakan pusat daya dinamik in optima forma. Karena itu, katanya,

… pendidikan di sekolah itu ditujukan kepada waktu yang akan datang, dan oleh karenanya pendidikan kebudayaan ditujukan pada keadaan dan kemungkinan kebudayaan di waktu yang akan datang. Kalau tidak, maka pendidikan itu adalah pendidikan yang salah masa dan akhirnya menimbul­kan kekuatan anakronisme yang mau tidak mau merupakan kekuatan destruktif atau reaksio­ner di waktu yang akan datang.

Selanjutnya Ki Mangoensarkoro memberi gambaran mengenai keadaan sekolah-sekolah pada masa itu. Di samping kurangnya pembentukan pandangan hidup, sekolah kita dibanjiri anak-anak yang berebut ingin masuk. Pemerintah tidak lagi mampu menyediakan cukup guru dan gedung; ini menyebabkan penyaringan ke sekolah yang lebih tinggi semakin ketat; yang nilai ujiannya tinggi sajalah yang bisa lolos ke sekolah yang lebih tinggi. Akibatnya, katanya, terjadi “balapan” antara guru dan murid; semuanya berkehendak mencapai titik akhir, yakni ujian. Dan

.. bab-bab pengajaran kesenian terdesak hilang dari daftar pengajaran, pimpinan pemberian pandangan hidup ditinggalkan, akhirnya sekolah itu bersifat suatu mesin pengajar beberapa pengetahuan untuk ujian.

Anak dimasukkan mesinnya penuh sesak, diputar sampai megap-megap, dan akhirnya keluar dari mesin itu dengan berisi beban pengetahuan ujian di kepalanya. Ketajaman akan fikiran tidak terlatih, hatinya kosong, perasaannya kering, kemauannya lemah, kesenangan hidupnya kurang, dan matanya silau tetapi tetap memandang sinar matahari keinginannya, yaitu sekolah yang lebih tinggi, seakan-akan itulah satu-satunya kebahagiaan hidup di dunia baginya.

Ki Mangoensarkoro berpendirian bahwa pendidikan kebudayaan sajalah yang dapat menyelamat­kan sekolah dari keadaan yang demikian muram­nya. Pendidikan semacam itu bisa memberikan kegembiraan hidup dan mampu memberikan keseimbangan bagi pikiran, perasaaan, kemauan, dan ilhamnya. Untuk itu kita, katanya, perlu mengadakan perubahan yang radikal.

Pandangan tersebut disampaikan tahun 1954, tetapi apa yang digambarkan Ki Mangoensarkoro itu rasanya tidak jauh berbeda dari yang kita saksikan di sekitar kita. Seandainya masih hidup, mungkin tokoh kita itu malah berpandangan bahwa keadaan kita sekarang ini sudah tidak tertolong lagi. Dalam hal ini saya ingin menekankan dua gejala yang yang disebut Ki Mangoensarkoro, yakni terdesak dan hilangnya pengajaran kesenian serta sifat sekolah sebagai mesin pengajar pengetahuan untuk keper­luan ujian. Kita bicarakan terlebih dahulu yang kedua, yakni keadaan yang tidak juga menjadi baik. Dibanding tahun 1954, sekolah kita sekarang ini tentu lebih berde­sak-desak. Jumlah sekolah semakin banyak, namun jumlah murid yang menuntut ilmu juga berlipat ganda. Jika pada awal tahun 1950-an jumlah murid dalam satu kelas sekitar 20 orang, pada tahun 1990-an ini jumlah 40 orang mungkin masih dianggap wajar. Jumlah lembaga pendidikan yang lebih tinggi memang juga berlipat ganda, namun keinginan murid adalah untuk masuk ke lembaga pendidikan yang murah dan baik, yang jumlahnya relatif sangat terbatas. Dengan demi­kian ujian menjadi tujuan utama pendidikan. Dan jika dalam ujian tersebut sastra, dan kesenian, tidak mendapat perhatian yang semestinya, wajarlah jika guru dan murid tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dipelajari. Yang saya kemukakan terakhir itulah merupakan gejala pertama yang dilihat Ki Mangunsarkoro.

Kita semua memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menganggap sepele kesenian; di zaman yang nafsu utamanya adalah kemajuan ekonomi dan kemelimpahan duniawi, hal itu wajar sekali. “Tanpa kesenian toh manusia bisa hidup,” begitu pikiran semen­tara orang. Saya justru berpikiran sebaliknya, manusia seperti kita sekarang ini sudah terlanjur tidak akan bisa tahan mengha­dapi hidup tanpa kesenian. Saya tidak bisa membayangkan kehidup­an kita tanpa seni rupa, seni suara, seni kata, dan seni-seni lain. Pakaian, perabot­an, rumah, dan kendaraan kita diciptakan berdasarkan prinsip seni rupa; kita tidak akan bisa berkomunika­si dengan baik jika tidak memiliki kemam­puan menciptakan dan mengapresiasi pepatah, metafor, atau idiom yang ada dalam bahasa kita. Bahkan saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika selama seminggu (saja) penduduk negeri ini dilarang berseni suara — artinya, tidak ada lagi musik, singsot, rengeng-rengeng, tambur, gitar, piano, dan lain-lain. Mungkin kita semua jadi gila. Juga kita akan kehilangan kewarasan jika dilarang berbasa-basi, bermain kata, berbukan-bukan, berpepa­tah-petitih, berlambang-lambang dalam berbahasa. Tidak semua kita ini seniman, memang; tetapi seni bukan hanya milik seniman. Seni milik kita semua; kita semua berhak berke­senian, bahkan wajib berkesenian agar tetap beradab. Itu sebabnya kita mengajar anak-anak kita — bahkan sejak bayi — mengenal suara, rupa, dan bahasa yang bagus. Itu sebabnya sejak entah kapan kita sepakat untuk memasukkan berbagai jenis kesenian ke dalam pendidikan formal.

/2/
Kita ciutkan saja sekarang perhatian kita kepada sastra. Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kris­talisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikem­bangkan dalam suatu masyara­kat. Karena sastra adalah seni bahasa, dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terba­yang dengan lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali. Dengan mempergunakan bahasa sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekedar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan eva­lu­atif terhadap­nya. Artinya, karya sastra berusaha untuk menawarkan serangkaian pilihan pengalaman dan penghayatan kehidupan bagi kita sehingga tidak terkurung dalam dunia pengalaman dan peng­hayatan sehari-hari saja. Kita sering mengatakan bahwa bangsa kita berbudaya tinggi; pernyataan itu tidak lain berarti bahwa kita memiliki kekayaan rohani. Di dalam karya sastralah kekayaan itu antara lain tersimpan dan bisa kita dapatkan setiap saat kita inginkan. Karya sastra adalah penga­laman, kekayaan rohani, kehidupan, atau dunia yang portable — bisa di­jin­jing ke mana-mana.

Di kebanyakan Taman Kanak-kanak, kita bisa menyaksikan guru mengajar murid-muridnya menggambar, menyanyi, membaca sajak, dan bercerita. Taman Kanak-kanak, kita tahu, bukanlah sekolah kese­nian, bukan semacam akademi yang diharapkan bisa menghasil­kan seniman kreatif; namun, tampaknya kegiatan yang sangat menonjol sehari-harinya di sekolah itu adalah usaha guru mendorong murid-muridnya agar mau, berani, dan mampu menyatakan dirinya dalam berbagai bentuk kesenian. Tentu saja perlu buru-buru ditambahkan bahwa bagia murid (dan juga kebanyakan guru, mungkin), kegiatan semacam itu diang­gap sebagai “permainan” saja, dan tidak pernah dibayangkan se­bagai “kese­nian”, terutama jika aksara k dalam kesenian itu di­tulis dalam huruf kapital. Kebanyakan guru Taman Kanak-kanak bukan seniman, bukan pula pakar seni. Namun, hal yang sangat perlu kita catat adalah bahwa guru-guru itu sama sekali tidak merasa rendah diri mengajarkan kese­nian. Saya yakin hal itu tidak disebabkan murid-muridnya masih kecil dan dengan demikian mudah “dibohongi,” tetapi karena berkesenian merupakan salah satu syarat bagi anak-anak agar kelak tidak merasa kikuk menjadi anggota masyarakat. Oleh karena sudah menjadi tugas guru untuk mengajarkan kesenian — tugas yang tentu saja didasari oleh pen­didikan yang diperoleh guru sebelumnya.

Di Taman Kanak-kanak, murid didorong untuk mengekspresikan diri lewat berbagai cabang kesenian. Sastra, dalam bentuk ber­cerita, berpidato, melisan­kan puisi, dan main drama dianggap sebagai alat untuk mengeks­presikan diri. Dalam hal ini sastra dianggap sederajat dengan meng­gambar atau menyanyi. Murid-murid tentu saja tidak pernah diberi tahu nama-nama pengarang lengkap dengan riwayat hidupnya serta daftar karyanya untuk dihafal demi ujian. Sastra, dalam bentuknya yang dasar, dianggap permainan — suatu anggapan berdasarkan pendekatan yang menurut saya benar. Sastra adalah salah satu jenis seni, yakni permainan atau keterampilan. Namun, keadaan yang menggembirakan tersebut tampaknya ber­ubah sama sekali ketika anak-anak itu sudah berangkat dewasa dan men­jadi murid sekolah menengah. Jelas, memang anak-anak itu pergi ke sekolah tidak hanya untuk “bermain-main,” yang oleh berbagai pihak merupakan arti terselubung bagi “kesenian.” Mere­ka di sekolah menuntut ilmu. Bercerita di depan kelas atau mem­baca sajak tentu saja tidak akan pernah dianggap sebagai ilmu; dan jika anak-anak itu sudah pandai menulis — mengarang cerita atau sajak, kepandaian itu pun bukan ilmu.

Sampai hari ini pengajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari Bahasa Indonesia. Kita semua menyadari bahwa bagi seba­gian besar guru, kerepotan terutama dicurahkan untuk meng­ajar murid menguasai Bahasa Indonesia “yang baik dan benar,” suatu tugas yang bisa tidak mudah dilaksanakan oleh guru yang penguasaannya atas bahasa nasional itu sendiri masih perlu men­jadi pemikiran kita bersama. Mungkin karena beranggapan bahwa semua yang diajarkan di sekolah harus berupa ilmu, maka buku-buku sastra untuk sekolah menengah penuh dengan istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat hidup sas­trawan dan lain-lain – yang tidak jarang mendesak dan mengurangi ruang dan waktu yang sangat berharga untuk membaca karya sastra itu sendiri. Pujangga Baru, Chairil Anwar, soneta, pantun berkait, personifikasi, dan seba­gainya adalah serangkaian nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat lulus ujian — yang tidak jarang merupa­kan satu-satunya tujuan penga­jaran sastra. Pujangga Baru tidak dipahami berdasarkan karya-karya yang mereka tulis tetapi hanya berdesarkan penjelasan tentang gerakan itu. Chairil Anwar tidak dihargai berdasarkan karya-karyanya, tetapi hanya berdasarkan “dongeng” tentang kehidupannya. Soneta, pantun berkait, personifikasi, kilmaks, konflik, ironi, dan sebaginya tidak dikenal lewat karya sastra tetapi hanya berdasarkan definisi.

Tentu saja tidak semua guru beranggapan bahwa ujian meru­pakan tujuan utama dan terakhir; di beberapa kota, ada guru Bahasa Indonesia yang mempunyai minat terhadap sastra mengundang sas­trawan untuk memberi ceramah kepada murid-murid­nya. Beberapa sekolah mungkin pernah juga mengusahakan program “sastrawan masuk kelas,” sebagai hasil kerja sama antara sas­trawan (atau lembaga kese­nian) dan sekolah dalam usaha mening­katkan apresiasi sastra. Usaha-usaha semacam ini mungkin saja bisa meningkat­kan perhatian murid terhadap sastra, namun sayang­nya banyak guru yang berpandangan bahwa hanya sastrawan yang bisa membimbing murid-murid mengarang cerita atau puisi. Karena di hampir semua sekolah menengah guru Bahasa Indonesia bukan sastrawan, kegiatan mengarang semacam itu tidak ditawarkan — padahal mungkin sekali murid-murid menyukainya, sebagai “perma­inan.” Sementara itu, “permainan” yang lain seperti meng­­gam­bar dan menyanyi (yang tidak jarang disebut sebagai seni lukis dan seni suara) tetap ditawarkan, meskipun guru-gurunya tentu saja bukan seniman lukis atau seniman nyanyi.

Dan sebenarnya — sebagai permainan — menggambar, menya­nyi, dan mengarang boleh menjadi kegiatan semua murid, yang pintar matematika maupun yang goblok berhitung. Tidak diperlakukannya sastra sebagai kesenian antara lain disebabkan guru merasa tidak tega mengajar karena bukan sastra­wan, atau guru beranggapan kegiatan semacam itu tidak ada man­faatnya — bagi ujian maupun dalam kaitannya dengan pengaja­ran bahasa. Ada baiknya jika guru tidak perlu merasa gamang membimbing murid-muridnya mengarang cerita atau puisi atau apa saja. Di depan kelas, yang diper­lukan adalah kualitas sebagai guru, bukan sebagai sosok sastrawan. Dan dalam hal “kesenian,” yang juga “permainan,” yang penting adalah sikap memberi dorongan. Kalaupun kita masih beranggapan bahwa sastra sebagai ilmu tetap diperlukan di sekolah, saya yakin kebiasaan menulis tersebut akan membantu murid-murid mengenali berbagai konsep dan istilah yang mungkin masih diperlukan dalam ujian. Dengan lebih mudah ia akan mengenali metafora atau personifikasi dalam sajak-sajak Chairil Anwar atau Sanusi Pane jika ia sudah biasa “bermain-main” menulis puisi.

Jika guru bisa meyakinkan murid bahwa mengarang itu sama gampang dan menyenangkannya dengan menggambar atau menyanyi, murid tidak akan mempunyai prasangka terhadap sastra sebagai kegiatan yang pelik dan susah. Dalam mengarang, yakni bermain-main dengan bahasa, murid akan lebih akrab dengan bahasanya, lebih menyukainya, dan lebih mudah mempelajarinya. Dengan de­mikian penulisan kreatif atau mengarang akan membantu pengajaran Bahasa Indo­nesia. Dan jika kebiasaan menu­lis meningkat, diharapkan juga kegiatan membaca mengikutinya karena siapa pun yang suka menulis akan membutuhkan bacaan — dan sete­rusnya. Jadi, bagaimana kalau pendekatan sastra sebagai seni mulai diberlakukan di sekolah?

/3/
Di bagian lain tulisan ini saya menyatakan bahwa dalam karya sas­tra tersimpan kekayaan rohani bangsa; di dalamnya pengalaman dan penghayatan penghidupan tidak hanya terekam tetapi juga sekali­gus ditanggapi dan dinilai untuk dipertimbangkan kembali. Dengan demikian kegiatan sastra di sekolah tentu tidak ter­batas pada mengarang, tetapi terutama membaca sebab tanpa membaca tidak mungkin orang bisa mengarang. Ini bukan masalah mana yang lebih dahulu, telor atau ayam. Membaca selalu mendahului mengarang. Di samping itu kita tidak mungkin bisa menghayati pengalaman yang ada dalam karya sastra jika tidak membacanya dengan baik. Landasan keterampilan berbahasa adalah meniru, dan membaca merupakan proses utama dalam proses tiru-meniru itu. Itulah sebenarnya yang kita sebut sebagai apresiasi sastra, suatu yang menurut keyakinan banyak orang sangat perlu dikembangkan di sekolah. Apresiasi berarti peng­hargaan berdasar­kan penghayatan; dalam istilah itu tersirat hubungan langsung an­ta­ra pembaca dan karya sastra sebab penghayatan tidak akan terca­pai tanpa hubungan langsung itu. Seorang memiliki apresiasi sas­tra apabila ia suka membaca karya sastra, bukan sekedar suka mem­baca berita yang seru-seru mengenai sastrawan di media masa. Penghargaan terhadap sastrawan — sebagai sastrawan — harus didasarkan pada penghargaan atas karyanya, bukan tindak-tanduk­nya.

Jelas bahwa apresiasi sastra menuntut agar murid membaca karya sastra. Beberapa masalah akan segera tergambar, saya akan meng­ungkapkannya beberapa saja. Yang pertama adalah masalah bahan bacaan. Memang tidak sepenuhnya klise keluhan mengenai langkanya bahan bacaan sastra, terutama di kota kecil. Sangat banyak buku penting yang tidak dicetak ulang lagi sehingga tidak terdapat di pasar; di samping itu, buku yang ada harganya tidak terjangkau oleh kebanyakan murid dan guru. Namun, sebenarnya masalah yang lebih pelik adalah bahwa sastra kita lebih banyak berkembang di koran dan majalah, sangat sedikit jumlahnya yang kemudian sempat diterbitkan lagi sebagai buku. Kenyataan yang disebut terakhir itu mau tidak mau menuntut guru untuk memiliki niat mencari bahan, antara lain di perpustakaan. Malapetakanya, di negeri kita ini perpustakaan belum menjadi syarat utama didi­rikannya sekolah. Perpus­takaan adalah unsur yang harus mendapat prioritas utama dalam pendirian dan penyelengga­raan sekolah — bahkan kita boleh bisik-bisik mengatakan, sekolah itu tanpa guru pun jadi, asal ada perpustakaan. Dalam perpustakaan itulah seharusnya bahan bacaan (bidang apa saja, termasuk sastra) disim­pan sehingga guru dan murid tidak perlu mengajukan keluhan mengenai bahan bacaan. Apabila di sekolah tidak ada seorang pun, termasuk kepala sekolah, yang memberi perhatian khusus terhadap pengembangan perpustakaan, ada baiknya jika guru bahasa dan sas­tra menjadi pelopornya. Buku bekas, kliping koran dan majalah, buku hadiah dari murid-murid yang lulus, dan sebagainya bisa mengisi perpus­takaan untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan bacaan.

Yang kedua adalah masalah pilihan; karya sastra apa saja yang sebaiknya dianjurkan dibaca. Karya sastra adalah kekayaan rohani bangsa, dan kekayaan tersebut sudah terekam sejak nenek moyang kita pandai mencatat pengalaman dan penghayatannya ter­hadap kehidupan dengan tulisan. Jadi, kalau mungkin, murid perlu diperkenalkan dengan karya sastra lama maupun masa kini. Sastra Indonesia tidak hanya berisi karya Mh. Rusli, Chairil Anwar, Nh. Dini, Marga T., Rendra, Fira Basuki, Ayu Utami, Ahmad Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, Hilman, Mira W., dan Umar Kayam, tetapi juga karya nenek moyang kita yang berupa babad, tambo, hikayat, serat, maupun syair. Kalau perlu, kita harus mengusahakan terjemahan atas karya-karya klasik itu. Tentu kita semua harus mencari akal bagaimana mena­warkan khasanah itu kepa­da murid tanpa membuat mereka bosan, sebab jika kebosanan yang didapat, apresiasi itu tidak akan pernah terca­pai. Sastra masa kini masih lebih mudah didapatkan daripada yang lama, oleh kare­na itu perhatian khusus harus diberikan kepada usaha pengumpulan karya sastra lama tersebut.

Masalah yang ketiga, yang sangat penting, adalah kedudukan dan fungsi guru dalam apresiasi. Kita semua tahu, apresiasi sas­tra menyangkut tiga unsur, yakni sastrawan, karya sastra, dan pembaca. Kita boleh mengabaikan sastrawan dan menyederhanakannya menjadi dua unsur saja, yakni karya sastra dan pembaca. Penghayatan bisa dicapai apabila pembaca meng­adakan hubungan langsung dengan karya sastra, arti­nya membacanya. Tidak ada apa pun yang berada di antara bacaan dan yang membaca; si pembaca berusaha menghayati kandungan yang dibacanya. Tentu saja yang terkandung dalam karya sastra itu ada kaitannya dengan sastrawan yang telah menghasilkannya, entah dike­tahui atau tidak identitasnya. Di dalam apresiasi sastra di sekolah, ada unsur “asing” yang muncul, yakni guru. Guru seolah-olah berada di antara bacaan dan yang membaca, berdiri di antara murid dan karya sastra.

Di sini tentu saja kita berhak mengajukan pertanyaan, apa kedudukan guru dalam proses apresiasi itu? Apakah ia mewakili sastra­wan? Jelas tidak, sebab tidak ada seorang pun yang bisa mewakili sastrawan dalam proses semacam itu. Jawaban yang paling mudah adalah bahwa karena dalam apresiasi sastra di sekolah mu­rid dianggap masih memerlukan bimbingan, maka guru diberi tugas un­tuk membim­bing murid. “Membimbing” adalah kata yang bisa ber­macam-macam maknanya. Pelajaran bahasa dan sastra tidak sama dengan pelajaran agama dan budi pekerti; apresiasi sastra tidak membimbing murid ke arah agama dan budi pekerti. Dengan demiki­an, guru sastra tidak sama dengan guru agama atau guru budi pe­kerti. Apresiasi sastra tidak bertujuan sekedar menghayati amanat yang tersirat atau tersurat, tetapi juga mengetahui cara-cara khas dalam mengung­kapkan amanat tersebut. Cara-cara khas itulah yang erat kaitan­nya dengan penggunaan bahasa, itu pulalah yang tidak bisa dipisahkan dari permainan. Cara peng­ungkapan itulah yang menyebabkan amanat sering tidak dirasakan sebagai sekedar amanat, tetapi sebagai semacam permainan yang mengasyikkan. Cara peng­ungkap­an itulah yang membedakan sastra dari dakwah atau ceramah budi pekerti.

Apresiasi berarti menghayati amanat dan sekaligus cara peng­ungkapan­nya — dan atas dasar itu kemudian menghargai­nya. Terus-terang saja, dalam proses apresiasi semacam itu, kedudukan guru memang sangat sulit. Ia, tentu saja, dituntut untuk memi­liki pengalaman dan pengetahuan yang jauh lebih luas dari murid-muridnya dalam hal membaca karya sastra — dan mungkin bahkan dalam hal-hal lain juga, sebab penghayatan karya sastra tidak jarang menuntut pengetahuan luas mengenai berbagai bidang. Di samping itu, karena karya sastra pada hakikatnya berprinsip tafsir ganda, guru yang suka memaksakan tafsir atau pandangannya sendiri tentu saja bisa dipandang sebagai peng­hambat apresiasi. Ia dianggap mengganggu hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra. Saya berikan bandingan sederhana: kita suka jeng­kel jika dalam gedung bioskop ada orang yang terus-menerus ber­komentar mengenai film yang sedang diputar, yang sudah lebih dahulu disaksikannya, dengan sikap “sok tahu” mengenai film itu.

Jadi, apakah tidak usah ada guru dalam apresiasi sastra di sekolah? Sebenarnya buku adalah guru yang baik (meskipun ada juga keyakinan bahwa “Penga­laman,” kata orang Inggris, “adalah guru terbaik”), namun dalam konsep kita mengenai pendidikan formal, guru sangat diperlukan. Dalam hal apre­siasi sastra, guru sebaiknya berfungsi sebagai “rekan” yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang bersama-sama dengan murid-muridnya berusaha menghayati karya sastra. Guru sas­tra adalah “sekedar” pendam­ping murid-muridnya dalam usaha meng­ungkapkan penghayat­an, tang­gap­an, dan penilaian pengarang ter­hadap kehidupan. Sumbangan kegi­atan semacam itu sangat pen­ting; jika berhasil, ia bisa menciptakan kesadaran kritis terhadap kehidup­an itu sendiri, suatu hal yang diper­lukan bagi masa depan murid-muridnya.***

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...