Kuasa Kata di Media

Posted on 1 November 2012. Filed under: Bahasaku-Bahasamu | Tag:, , , , |

Sepuluh tahun Forum Bahasa Media Massa (FBMM) mengusung sejumlah seminar kebahasaan. Di antaranya seminar kebahasaan bekerja sama dengan institusi atau lembaga pendidikan antarkampus. Selain kampus, kerja sama dengan industri penerbitan pers berlangsung dalam beberapa diskusi. Pada Selasa, 30 Oktober di Balairung Karina Hotel Kartika Chandra, Jakarta, FBMM bekerja sama dengan majalah Tempo mengadakan diskusi bahasa bertajuk “Kuasa Kata di Media dari Masa ke Masa”. Diskusi berlangsung sejak pukul 12.00 s.d. 17.40 WIB yang melibatkan pembicara: Masmimar Mangiang (Dosen Universitas Indonesia), Qaris Tajudin (Wartawan Seni dan Budaya Tempo), T.D. Asmadi (Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo) dan Rita Sri Hastuti (Moderator). Berikut ini makalah lengkapnya.

Kuasa Kata di Media Massa dari Masa ke Masa oleh Masmimar Mangiang

DARI begitu banyak kata atau terminologi yang dibentuk maupun yang terbentuk untuk menyampaikan pesan (fakta maupun gagasan) lewat media massa, pengertian yang bersifat pemberian cap buruk (labeling) pada umumnya berpengaruh terhadap publik. Ia di terima, mungkin dipercaya, dan dipakai. Berkebalikan dengan itu, hampir semua pengertian yang dimaksudkan sebagai konsep diri yang pada umumnya positif, pencitraan yang seringkali terasa muluk, ataupun pandangan yang hendak ditanamkan, tidak meresap ke dalam keyakinan maupun bahasa pergaulan khalayak. Ia hanya hidup selama masa propa- ganda, kemudian lenyap, tidak sanggup membentuk pandangan orang banyak, dan bahkan hilang dari kegiatan bertutur sehari-hari.

*

Media massa disebut sebagai catatan harian sejarah. Ia merekam segala bentuk kenyataan yang ada di dalam masyarakat, dari waktu ke waktu. Ia menjadi catatan tentang fakta empirik dalam kehidupan manusia, berikut berbagai gagasan manusia itu tentang kenyataan diri mereka sendiri.

Jika situasi kehidupan adalah iklim dan pergantian situasi itu adalah pergantian iklim, maka perubahan atau perkembangan bahasa yang dipakai untuk menyatakan apa dengan cara bagaimana, dan untuk tujuan apa, adalah musim yang muncul bergantian. Iklim dan musim berubah-ubah. Kehidupan manusia tidak berjalan mengikuti garis lurus, dan tidak bergerak di atas bidang yang rata.

Ketika kemerdekaan belum tercapai, orang Indonesia melihat dirinya bagaikan tidak peduli akan perbedaan satu dengan yang lain — sama: bangsa terjajah yang hendak merdeka dari kekuasaan kolonial. Bahasa yang hidup pada masa itu adalah bahasa yang egaliter, bahasa orang yang sibuk berjuang, bahasa yang jujur, tanpa banyak basa-basi namun tidak mengabaikan rasa hormat. Pemuka masyarakat dan anggota masyarakat saling menyapa dengan kata “saudara”. Pemimpin dan anak buah, mempergunakan kata “bung” sebagai panggilan.

Tetapi, sesudah pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar pada akhir 1949, “kesibukan” bangsa yang berusaha mendapatkan kemerdekaan berubah menjadi “kesibukan” memperoleh nikmat kemerdekaan. Batas pemisah antara sesama “saudara” muncul. “Saudara” tidak lagi mewakili pengertian sesama bangsa terjajah yang berhadapan dengan kolonialisme. Ia membelah. Ada “saudara” yang menjadi “kawan politik” dan ada “saudara” yang menjadi “lawan politik”.

Bahasa Politik Era Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)

Corak bahasa yang terlihat di dalam media massa sepanjang 1950-1959 memperlihatkan dinamika perdebatan –dan dapat dikatakan sebagai pertikaian– yang terkadang terjerumus pada sarkasme. Tidaklah mengherankan, dalam era demokrasi liberal, masa kabinet jatuh-bangun (tujuh kabinet parlementer terbentuk dan bubar silih berganti antara 6 Sep- tember 1950 dan 5 Juli 1959) bahasa media massa merepresentasikan perilaku partai politik yang beroposisi terhadap pemerintah, dan juga sebaliknya. Tetapi, sesudah Dekrit Presiden (Soekarno) 5 Juli 1959, secara perlahan, bahasa politik yang terbentuk memperlihatkan corak yang lain, menguat dan kian kuat sampai kejatuhan Soekarno pada tahun 1966.

Pemerintah Presiden Soekarno pada tahun 1959-1966 adalah pemerintah yang dibayang-bayangi oleh kesulitan menemukan kesepakatan di antara aneka perbedaan pandangan dan cita-cita politik yang mudah menimbulkan instabilitas. Pemerintahan Soekarno sesudah Dekrit 5 Juli 1959 adalah pemerintahan yang membawa trauma era 1951-1958. Perdebatan tentang Piagam Djakarta di Konstituante bermuara pada kebuntuan. Pada masa itu hampir tidak ada keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ia diganggu oleh ber- bagai issue: mulai dari kegagalan dalam perundingan tentang Irian Barat dengan Belanda; tuduhan berpolitik condong ke Barat terhadap Kabinet Sukiman yang menandatangani persetujuan bantuan ekonomi, teknik, dan persenjataan dengan Amerika Serikat; tuntutan pembubaran parlemen oleh Angkatan Darat (1952); kemelut masalah pimpinan Angkatan Darat (1955); sampai pada pergolakan di beberapa daerah mendekati akhir 1950-an yang menguras anggaran negara untuk mengatasinya. Dengan latarbelakang peristiwa Madiun 1948, militer (Angkatan Darat) merasa tidak nyaman menyaksikan hasil pemilihan umum 1955, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu dari empat partai besar dalam hal perolehan suara (16,36 persen).

Soekarno mengelola semua itu dengan menyerukan “kerukunan nasional” dengan retorika Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom), meredam pertikaian di dalam negeri, dan membuka pertikaian di kancah politik internasional mulai dari mengungkit masalah Irian Barat, sampai penentangan pembentukan Federasi Malaysia yang memasukkan Sa- bah sebagai bagian dari federasi itu.

Pada masa itu dapat dikatakan, bahasa media massa didominasi oleh bahasa politik yang bersumber pada semua masalah politik tersebut. Soekarno, sang orator ulung, menjadi kreator bahasa politik yang dominan. Dia berbicara tentang konsep diri negara dan bangsa Indonesia, serta cara pandang atau sikap. Soekarno melontarkan gagasan besar yang bernama “nation building”, “ekonomi terpimpin”, dan “demokrasi terpimpin”. Dia serukan semangat “gotong royong”, “berdiri di atas kaki sendiri”, dan “kepribadian Indonesia”. Dia memukau khalayak dengan memakai kata “amanat penderitaan rakyat”.

Bahasa politik yang demikian menjadi bahasa yang sangat biasa pada masa itu, termasuk bahasa menantang –terhadap blok Barat– seperti “mana dadamu, ini dadaku’’, “go to hell with your aid”, “rawe rawe rantas, malang malang putung”, “ganyang”, dan “rapatkan barisan”. “Komando”, terminologi militer, dipakai untuk berbagai macam keperluan, termasuk untuk badan pencegahan banjir di Jakarta: Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir). Bahasa menantang ini berdampingan dengan terminologi yang bersifat labeling, menempelkan cap menyimpang dan menciptakan kesan buruk seperti “neo-kolonialisme dan imperialisme”. “plintat-plintut”, “komunisto phobia’, “kontra-revolusi”, “kaum reaksi- oner’, “musik ngak-ngik-ngok”. Terkadang terasa kesan menista, seperti “antek nekolim”, “boneka Inggris”, “cucunguk”, dan “kepala batu”.

Romantisme Soekarno tentang kerukunan nasional dikampanyekan lewat gagasan Nasa- kom. Tetapi berbagai bahasa politik yang mengandung semangat pertentangan kelas yang juga sering dia pergunakan –antara lain “buruh, tani, dan nelayan”, “kapitalis birokrat (ka- bir)”, dan “orang kaya kota”– menampilkan kesan kontradiktif dalam sikapnya. Agaknya inilah yang membuat sebagian pendapat menyimpulkan bahwa Soekarno lebih dekat pada Partai Komunis Indonesia dibandingkan dengan kekuatan politik yang lain.

Fenomena kebahasaan era Bung Karno juga memperlihatkan kian gencarnya pemakaian akronim. Jika sampai saat ini begitu kuatnya kecenderungan pembentukan akronim un- tuk pangkat, jabatan, nama instansi, dan nama program, ia menjadi seperti itu karena penciptaan akronim sudah menjadi kegemaran yang terbentuk dalam tradisi bahasa birokrasi sejak masa pemerintah Soekarno. Sang Pemimpin Besar Revolusi memberi judul setiap pidatonya dengan akronim: Revolusi Sosialisme Indonesia Pimpinan Nasional (Resopim), Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri), Deklarasi Ekonomi (Dekon), Manifesto Politik (Manipol), Tahun Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Takari), Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Tahun Vivere Pericoloso (Tavip).

Di sekitar Soekarno, di lingkungan orang-orang yang menjadikan dia sebagai tempat bergantung untuk kedudukan politik, hidup semangat pengkultusan yang bagi Soekarno sendiri bukanlah sesuatu yang harus ditolak. Ia bahkan diapresiasi dan diinginkan untuk mengukuhkan kedudukan politiknya yang tidak punya tandingan. Dia sendiri menyebut dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”. Kemudian muncul predikat “Pemimpin Besar Revolusi”, “Nelayan Agung” (serta berbagai “agung” atau keagungan lainnya). Di sana-sini muncul pernyataan “berada di belakang Bung Karno”, dan itu mencapai puncaknya ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

Nada seperti itu tidak berhenti sampai sekitar enam bulan sesudah peristiwa 30 Sep- tember 1965. Media massa pun –walau dalam keadaan seperti ragu– tetap memberikan tempat untuk “bahasa Soekarno”. Pada Tebel 1 diperlihatkan latarbelakang situasi pada masa Demorasi Terpimpin, bahasa politik yang muncul di media massa dengan frekuensi tinggi yang diduga dicetuskan oleh situasi itu, dan sifat isi serta tujuan yang diperkirakan menjadi maksud segenap terminologi tersebut. 1

Soekarno berupaya mempertahankan daya pukaunya dan kepercayaan publik kepada- nya, sampai dengan keluarnya surat perintah –yang penuh misteri– 11 Maret 1966, yang menempatkan Jenderal Soeharto sebagai pelaksana presiden. Kreasi bahasa Bung Karno tenggelam total, setelah pada bulan Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencabut mandat kepresidenan dari dia, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 45, pembentukan MPRS< DPAS) Ketegangan politik pasca pembubaran Konstituante, Pergolakan daerah, Pelanggaran konstitusi: tidak adanya pembagian kekuasaan negara (Ketua DPRGR, Ketua MPRS, Ketua DPAS, Ketua Mahkamah Agung berkedudukan sebagai menteri kabinet), Rivalitas militer (AD) – partai komunis – kelompok agama, Soekarno menjadi kekuatan sentral Kemerosotan ekonomi berdiri di atas kaki sendiri kepribadian Indonesia gotong royong holopis kuntul baris ambeg parama arta mana dadamu, ini dadaku go to hell with your aid rawe rawe rantas, malang malang putung (pernah dipakai PKI?) ganyang rapatkan barisan komando neo-kolonialisme dan imperialisme plintat-plintut komunisto phobia Manikebu kontra-revolusi kaum reaksioner kembali ke jalan yang benar antek nekolim boneka Inggris cucunguk musik ngak-ngik-ngok Ampera buruh, tani, dan nelayan kapitalis birokrat (kabir) orang kaya kota penyambung lidah rakyat pemimpin besar revolusi berada di belakang Bung Karno presiden seumur hidup Resopim Gesuri Dekon Manipol/USDEK Berdikari, Takari Jarek Tavip.

Bahasa Politik Era Demokrasi Pancasila (Orde Baru)

Soeharto bukanlah orang yang pandai berpidato. Setiap pidato yang dia sampaikan ber- dasarkan bahan tertulis selalu berlangsung datar dan menjemukan.

Dia juga bukan orang yang cermat mengendalikan kata-kata manakala pidato itu dia sampaikan tidak berdasarkan naskah. Setidak-tidaknya dalam tiga kali pidato tanpa naskah –pada peresmian Rumah Sakit Pusat Pertamina di Jakarta, 6 Januari 1972; di forum Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru, 27 Maret 1980; dan pada hari ulang tahun Kopassandha di Cijantung, Jakarta, 16 April 1980– terlontar pernyataan yang berisikan tuduhan terhadap lawan politiknya.

Hanya saja, di sekitar Soeharto ada orang-orang yang pandai merancang pernyataan yang menciptakan kesan baik dan serba menenteramkan untuk disampaikan kepada publik. Pada awal pergantian rejim (sesudah kejatuhan Soekarno) muncul kata “Orde Baru”. Ada dikotomi. “Orde Lama” (pemerintahan Soekarno, 1959-1966) adalah orde yang tidak baik dan gagal. Orde Baru adalah orde yang baik, setidak-tidaknya menjanjikan harapan.

Bahasa politik Orde Baru terkesan lebih terencana dibandingkan dengan bahasa politik Orde Lama yang sebagian besar muncul sebagai kreasi –dan mungkin spontanitas– Bung Karno. Bahasa politik Orde Baru terprogram lebih jelas. Sifatnya mengisyaratkan niat dan arah yang menyenangkan, disertai oleh berbagai pernyataan pendukung untuk segenap konsep besar yang dikampanyekan.

Kegagalan Konstituante merumuskan konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950 serta perdebatan yang tidak menghasilkan titik temu, bagi Angkatan Darat menjadi alasan untuk mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan menjadi pengalaman sejarah Jenderal Soeharto yang membuat dia tidak suka dengan perilaku partai politik. Di mata dia, partai politik sering menimbulkan kegaduhan. Pemerintah Orde Baru yang dia bangun adalah pemerintahan yang menempatkan stabilitas –politik dan ekonomi– di atas segala-galanya. Orde Baru yang menyatakan diri berorientasi pada program pembangunan tidak menginginkan orientasi pada ideologi. Peristiwa 30 September 1965 menjadi momen- tum bagi Soeharto untuk memperkuat mitologi “Pancasila sakti”. Inilah azas bangsa Indonesia yang oleh kekuatan apa pun dengan alasan apa pun tidak boleh diganti.

Dua tahun sebelum pemilihan umum 1971, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 (terkenal dengan sebutan “Per- men 12”) tentang loyalitas pegawai negeri yang hanya boleh diberikan kepada pemerintah, diikuti oleh larangan pegawai negeri menjadi anggota partai politik tanpa izin atasan. Kata “monoloyalitas” mencuat begitu sering dalam pemberitaan media massa pada masa itu. Pers yang waktu itu hidup dalam kebebasan yang lebih baik dibandingkan masa sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, mempopulerkan kata “bulldozer politik” untuk Amir Machmud.

Hubungan Angkatan Darat dengan gerakan mahasiswa yang dalam masa penggulingan Soekarno disebut mesra, diputus pada tahun 1971 lewat apa yang disebut sebagai “back to campus”. Ini adalah salah satu gagasan politik Ali Moertopo, pimpinan Operasi Khusus (Opsus) –operasi intelijen untuk menyingkirkan semua lawan politik Jenderal Soeharto– yang bertujuan mencegah mahasiswa melancarkan aksi parlemen jalanan. Tahun 1973 dibentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang antara lain bertujuan untuk mengikat semua organisasi ekstra mahasiswa, tetapi tidak populer. Sesudah peristiwa 15 Januari 1974, lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dijalankan program yang dinamakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). “NKK/BKK” tidak membuat kehidupan kampus “normal”. Ia malah melahirkan protes. Aksi mahasiswa kembali marak sebelum Sidang Umum MPR Maret 1978.

Hanya sembilan partai politik yang diberi hak hidup sesudah penyederhanaan kepartai- an sebelum pemilihan umum 1971. Kebijaksanaan fusi partai politik tahun 1973 mengharuskan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas. “Azas tunggal” adalah salah satu jargon politik yang diperkenalkan oleh kekuasaan Orde Baru. Karena itulah, walau Golongan Karya (pada masa Orde Baru tidak pernah disebut sebagai partai politik) selalu unggul dan dibuat unggul dalam perolehan suara pada setiap pemilihan umum, tidak pernah ada yang disebut sebagai pemenang dalam pemilihan umum tersebut. Menurut penguasa, dan juga begitu menurut media massa, “yang menang adalah Pancasila”.

“Stabilitas” termasuk kata yang sering muncul sejak awal kekuasaan Soeharto. Demi stabilitas, keamanan dan ketertiban harus terjaga baik. Itulah sebabnya Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk sesudah peristiwa 30 September 1965 tidak pernah dibubarkan sampai akhir kekuasaan Soeharto dan berpengaruh kuat dalam menunjang kehadiran ABRI sebagai kekuatan sosial politik. ABRI sebagai kekuatan sosial politik oleh Orde Baru dinyatakan sebagai “pengawal Pancasila”. ABRI “dari rakyat, untuk rakyat” adalah “stabilisator dan dinamisator”. “Kemanunggalan ABRI dengan rakyat” adalah terminologi yang diharapkan menciptakan kesan bahwa mili- ter dan polisi bukanlah sekadar instrumen politik pendukung kekuasaan.

Orde Baru tidak menyukai keresahan, karena keresahan mengganggu stabilitas. “Demonstrasi” yang mencerminkan adanya keresahan, diganti sebutannya menjadi “unjuk rasa”, eufemisme (pelembutan makna kata) hasil rekayasa politik komunikasi. Eufemis- me yang tidak lagi sebagai sopan santun berbahasa dimaksudkan untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Ia terpakai untuk berbagai persoalan yang mengundang ketidaknyamanan perasaan publik: harga dan tarif yang “naik” dinyatakan “disesuaikan”, “pemberhentian” pekerja menjadi “pemutusan hubungan kerja” dan dilembutkan lagi men- jadi “PHK”, “skorsing” dan “pecat” berganti bunyi menjadi “dirumahkan”, “ditangkap” dan “ditahan” menjadi “diamankan”, “kesalahan atau punya kesalahan” menjadi “bermasalah”, penduduk kelaparan dinyatakan “kurang makan”. Eufemisme hasil rekayasa politik komunikasi Orde Baru terpancar kuat dalam bahasa media massa pada masa itu, dan untuk sebagian tersisa hingga hari ini.

Sama dengan orde sebelumnya, Orde Baru juga mengkampanyekan konsep diri bangsa yang tidak kalah muluk dengan yang dipropagandakan dalam masa Bung Karno: “masya- rakat Pancasilais”, “manusia Indonesia seutuhnya”, “kepribadian Indonesia”, “masyarakat sejahtera yang berkeadilan”.

Kata yang menjadi senjata dalam propaganda pembangunan Orde Baru sebetulnya be- gitu banyak. Untuk urusan pemenuhan kebutuhan pangan (salah satu program yang men- jadi pusat perhatian Orde Baru sejak awal) berkumandanglah kata “swasembada”. Setelah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) mulai dilaksanakan 1 April 1969, ia disusul oleh kata “akselerasi moderenisasi”. Untuk menjawab kritik yang menilai kebijaksanaan pembangunan terlalu berorientasi pada industri, lahirlan kata “pertanian yang mendukung industri”. Sesudah aksi mahasiswa pada akhir 1973 dan awal 1974, muncul kata “peme- rataan” dan pemerintah menggariskan kebijaksanaan “delapan jalur pemerataan”. Untuk semuanya itu, Orde Baru menyerukan “partisipasi aktif” segenap komponen masyarakat dalam pembangunan. Manakala pergerakan modal (investasi) tidak lagi mengenal batas negara, dan pada saat aktivitas perekonomian serta kemajuan teknologi komunikasi kian pesat, program pembangunan Indonesia pun dikaitkan dengan “globalisasi”, tuntutan zaman yang tak mungkin dipungkiri.

Tetapi pembangunan juga melahirkan berbagai dampak berupa masalah baru: polusi, pengurasan sumber daya alam, berkurangnya lahan pertanian produktif milik penduduk, dan kerusakan lingkungan. Orde Baru mengimbangi semua itu dengan kampanye tentang pembangun yang dijalan tidak dengan membabi-buta. Kata “ramah lingkungan”, “pembangunan yang berkelanjutan”, dan juga “hemat energi” lahir untuk itu. Wajah pembangunan yang hendak dikesankan elok dilengkapi dengan berbagai kata yang terkesan bermulut manis: “tepat guna”, “hasil guna”, “uji coba”, “tatap muka”, “komunikasi sambung rasa”, sampai ke semboyan “memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat”.

Kreasi bahasa politik Orde Baru jauh melampaui kreasi bahasa politik Orde Lama, bukan saja karena masa berkuasanya yang lebih lama, melainkan juga karena ragam kegiatan dan masalah yang muncul lebih kompleks.

Sejak awal Orde Baru hendak meyakinkan khalayak akan keunggulan Demokrasi Pancasila yang –atau karena– dalam kenyataannya tidak dijalankan secara demokratis. Jargon politik “massa mengambang” dikenal sejak dini dengan alasan partai politik terlalu se- ring menciptakan kegaduhan politik. Hak suara warga negara dinyatakan terjamin dalam pemilihan umum yang “jurdil” (jujur dan adil) dan “luber” (langsung, bebas, umum, dan rahasia). Media massa diberi kemerdekaan yang disebut sebagai “bebas dan bertanggung-jawab”. Demokrasi Pancasila semasa Orde Baru, adalah demokrasi yang selalu mengang- gap perlu adanya “pembinaan, dibina” dan “pengarahan, diarahkan”.

Tidak ada bedanya dengan Orde Lama, Orde Baru pun merumuskan lawan dan musuh politiknya dengan berbagai sebutan yang mengingatkan masyarakat akan ancaman dan ba- haya yang ditimbulkannya: “Sukarnois, Soekarnoisme”, “komunisme (PKI malam, bahaya latent PKI, ekstrim kiri, OTB atau organisasi tanpa bentuk)”, “Orla”, “kiri, kiri baru”, “ekstrim kanan”, “subversi, subversif”, “Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)”. Berdampingan dengan itu, dikenal pula sebut-sebutan berkonotasi negatif, seperti “Tapol (tahanan politik)”, “tidak bersih lingkungan”, “makar”, “merongrong Pancasila”, “merongrong kepemimpinan nasional” (yang arti sebenarnya adalah merongrong kekuasaan Jenderal Soeharto).

Banyak yang jemu dengan terminologi propaganda politik ini yang hampir terdengar dan terbaca setiap hari selama lebih dari tiga dasawarsa. Tetapi, yang merasa aman dan mendapatkan kenyamanan dalam suasana seperti pun tidak sedikit. Merekalah yang men- jadi penggerak semangat feodalisme baru dalam negara republik, baik dari lingkungan politik maupun dari kalangan birokrasi. Merekalah client yang memperkenalkan kata-kata yang bersifat menyanjung dan meninggikan derajat sang patron: “Bapak”, “Ibu”, “Mbak”, “berkenan”, “menyempatkan diri”, “menghadap”, “petunjuk”. Kata “amanat” untuk pidato presiden yang sudah dipakai sejak masa Bung Karno dan kian disukai pada masa Presiden Soeharto, pada dasarnya adalah kata yang diproduksi oleh jiwa feodal.

Rejim Orde Baru sebetulnya bukannya tidak pernah menjadi sasaran kritik terbuka. Pada awal 1970-an –hingga 1973– issue “cukong” dihebohkan media massa ketika hubungan penguasa dengan kroninya memperlihatkan gejala yang kian kuat. Terminologi “pribu- mi” dan “non-pribumi” bersumber dari situ. Korupsi yang berlangsung di beberapa lembaga menjadi topik untuk kritik. Pertamina adalah salah satu kasus untuk ini. Kata “aji mum- pung” adalah produk kegelisahan publik melihat perilaku korup. Demikian pula halnya dengan kata “kroni”, dan “KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)”, yang pada masa akhir era Orde Baru mulai terlihat di media massa sepanjang tidak menyenggol langsung Presiden Soeharto dan keluarganya.

Program pembangunan Orde Baru di bidang ekonomi membuat media massa berkenalan dan memperkenalkan kosakata yang sifatnya teknis: “grant”, “kuota”, “harga dasar gabah”, “harga eceran tertinggi”, “privatisasi”, “konglomerasi”, “ekonomi biaya tinggi”, “akuisisi”, “dana talangan”, bursa saham yang “bullish”, “panic selling”, “provit taking”, dan sederet panjang kosakata lainnya yang bukan merupakan alat kampanye, dan diterima khalayak sebagai pengetahun umum.

Bahasa Politik Era Orde Baru

Keruntuhan Orde Baru membawa perubahan dalam hal pelaksanaan demokrasi, tetapi ia berlangsung dalam keadaan perekonomian negara dilanda kesulitan.

Pemerintah Presiden B. J. Habibie membuka ruang untuk kebebasan menyatakan pendapat, disusul oleh kebijaksanaan lainnya yang oleh rejim sebelumnya dibelenggu dengan pembatasan. Masa pemerintahan Presiden Habibie hanya berlangsung 17 bulan. Dia digantikan oleh K. H. Abdurrahman Wahid yang memerintah selama 21 bulan dan diturunkan oleh gerakan Poros Tengah lewat sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, 23 Juli 2001. Wahid digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang memangku jabatan presiden selama tiga tahun tiga bulan, sampai 20 Oktober 2004.

Bahasa politik kekuasaan pada masa itu tidak diproduksi berlebihan sebagaimana yang dilakukan rejim sebelumnya. Ini dapat dimaklumi. Kehadiran rejim pasca Orde Baru dan penerimaannya oleh khalayak berbeda dengan kehadiran Soekarno maupun Soeharto di panggung kekuasaan dan penerimaannya oleh rakyat banyak. Propaganda penguasa tidak menemukan tempat di hadapan khalayak yang sadar bahwa kedaulatan adalah milik mereka. “Reformasi”, “pemulihan ekonomi”, “penegakan demokrasi”, “penegakan hukum” adalah bahasa politik yang banyak dilansir media massa pada masa itu disertai oleh berbagai pernyataan yang sifatnya normatif. Semuanya juga konsep besar yang memerlukan penjabaran dan realisasi lewat waktu yang panjang. Sementara itu, di pihak lain, tidak ada kekuatan politik yang dominan yang dapat menjamin kelanggengan kekuasaan yang dipegang oleh ketiga presiden ini.

Produksi bahasa politik justeru lebih banyak terjadi di luar pemerintah yang lebih sering tidak menguntungkan kekuasaan. Kenyataan seperti itu berlangsung sampai masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono yang pertama (2004-2009). Ia kian santer sesu- dah 2009, terutama disebabkan oleh kinerja yang diperlihatkan Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama maupun yang kedua.

Dari luar pemerintah terdengar kehendak agar pemerintah menjalankan kebijaksanaan ekonomi yang “pro-rakyat”, dan dari pemerintah terdengar jawaban bahwa kebijaksanaan yang dijalankan adalah kebijaksanaan yang “pro-rakyat”. Jika dari luar pemerintah ter- dengar semangat “keterbukaan”, “transparansi”, “akuntabilitas”, pemerintah memperde- ngarkan gagasan yang sama. Kalau dari masyarakat terdengar agar “pluralisme” diterima sebagai kenyataan, agar ada “toleransi” antara satu dengan yang lain, dari pemerintah pun terdengar seruan yang sama. Tetapi dalam kenyataan yang berlangsung, keinginan yang disuarakan itu tidak banyak ditemukan. Demikian pula halnya dengan terminologi “kerukunan umat beragama”, “pemberantasan korupsi”, ataupun “good governance”. Kata “independen” atau “tim independen” adalah terminologi yang lain yang tampaknya dikenal karena adanya pengalaman kongkalingkong dalam hal mengungkapkan fakta yang sesung- guhnya, atau dalam hal mencarikan kebenaran. Dalam kritik yang dilancarkan muncul kosakata “ketidak-jelasan arah ekonomi”, “ragu”, “peragu”, “lambat mengambil keputusan”, “ketegasan, dan ketidak-tegasan”.

Setelah Indonesia menerapkan pemilihan presiden secara langsung, terminologi baru pun muncul: “pemakzulan”. Dari masyarakat sendiri ada otokritik tentang pemahaman “otonomi” yang keliru, dan “euforia politik” yang membuat banyak tindakan menjadi “kebablasan”.

Masalah keamanan adalah salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintah pasca Ore Baru. Konflik begitu mudah meletus di tengah masyarakat dengan aneka rupa penye- bab. Terorisme sampai hari ini masih menghantui orang banyak. Semuanya itu dibicarakan dengan bahasa yang kerap menghadirkan kosakata “amunisi”, “bahan peledak”, “senjata rakitan”, “bom”, “terorisme”, “provokator”, dan “aktor intelektual” (kosakata pengganti kata “dalang” yang biasa dipakai Orde Baru). Ketika pemerintah menghadapi gerakan politik yang bernada separatis, kata yang mengisi puncak statement adalah “NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)”, atau secara lebih tegas dan agak garang dinyatakan dengan “NKRI adalah harga mati”.

Apabila “kebablasan” menjadi kosakata yang sering dijumpai dalam pemberitaan media massa akhir-akhir ini, salah satunya adalah kebablasan dalam cara pengungkapan pera- saan dan pendapat. Dalam perubahan yang terjadi, Indonesia bergerak dari satu kutub ke kutub yang lain. Dari masa yang memaksa orang menjadi penurut, pergeseran terjadi ke masa yang membuat banyak orang kian berani membangkang. Dari masa berbahasa penuh pertimbangan agar tidak menyinggung perasaan, berpindah ke masa yang membuat ba- nyak orang menjadi vulgar dan sanggup berkata kasar. Kekasaran berbahasa akhir-akhir ini juga diperdengarkan oleh mereka yang dalam kedudukan terhormat.

Bahasa Politik Pasca Orde Baru

Dalam waktu lebih dari setengah abad belakangan ini, rekaman sejarah yang dibuat media massa di Indonesia menunjukkan bahwa bahasa politik yang menjadi kreasi kekuasaan sebagai bahasa propaganda banyak mengisi pemberitaan dalam waktu empat dasawarsa. Kehadirannya di media massa mungkin tidak selamanya dapat disebut dominan, namun mengundang perhatian, terutama karena sumber pesan itu sendiri, dan situasi sosial politik pada masa itu membuatnya demikian.

Mungkin ia menjadi pertanda –dan ini sebaiknya menjadi studi yang serius untuk men- dapatkan jawaban– bahwa Indonesia belum menemukan keindonesiaannya, baik dalam memahami diri sendiri maupun pembentukan cara pandang. Eksperimen dua rejim –Soekarno dengan romantisme Nasakom, Soeharto dengan Pancasila Sakti– tidak berhasil membentuk Indonesia yang “ajek” –yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan meningkatkan kesejahteraan umum dan melahirkan kemakmuran– lewat bahasa politik yang oleh media massa dibantu memasyarakatkannya. Bahkan “reformasi” yang berarti merumuskan format baru belum sampai pada hasil yang menerbitkan harapan.

Dari sekian banyak kata atau terminologi yang dibentuk maupun yang terbentuk, pada umumnya pengertian yang bersifat pemberian cap buruk (labeling) berpengaruh terhadap publik. Ia diterima dengan sadar maupun tanpa sadar, dan dipakai dalam percakapan sehari-hari. Cap seperti “plintat-plintut” (kemudian berubah menjadi “plin-plan”) terpakai dalam bahasa komunikasi publik. Begitu pula –misalnya– dengan “orla”, “subversif”, “kiri”, dan berbagai terminologi lain yang dimaksudkan sebagai penilaian buruk. Bahkan dalam proses penerimaan dan terpakainya terminologi seperti itu belangsung apa yang disebut sebagai disfemisme (bergesernya makna kata ke arah kasar). “PKI” misalnya, dipakai sebagai kata umpatan.

Sebaliknya, hampir semua pengertian yang dimaksudkan sebagai “konsep diri” yang pada umumnya positif, dan bahkan seringkali terasa muluk, tidak meresap ke dalam pemahaman dan bahasa publik sehari-hari. Bahkan sebagai kata yang diniatkan untuk membentuk sikap atau pandangan umum, ia dapat dikatakan gagal. “Bangsa besar”, “kepribadian Indonesia”, “ambeg parama arta” (mendahulukan segala sesuatu yang berprioritas tinggi), “Pancasila sakti” dan yang sebangsa dengan itu tetap tinggal hanya sebagai konsep besar, bahasa propaganda kekuasaan, yang bukti-buktinya tidak ditemukan dalam kenyataan.

Masyarakat hari ini –apalagi ketika teknologi komunikasi berkembang begitu pesatnya– tidak dapat lagi dibuat percaya tentang suatu kemolekan dengan kata “secantik bidadari”, karena mereka hanya dapat diyakinkan dengan memperlihatkan selebriti yang jelita. Manakala kenyataan tidak sejalan dengan konsep yang dipesankan atau tidak menunjukkan adanya perkembangan ke arah itu, pesan tersebut menguap ke udara lepas.

Tidak dapat diduga, apakah kenyataan ini disadari oleh mereka yang berkampanye untuk berbagai program yang dimaksudkan untuk kemaslahatan publik: kesadaran membayar pajak, pemeliharaan lingkungan yang bersih, disiplin berlalu lintas, etos kerja yang terpuji, dan entah apa lagi yang dianggap sebagai capaian yang ideal. Juga tidak dapat dipastikan, apakah partai politik yang mengklaim dirinya sebagai pembela nasib rakyat, atau orang yang berambisi menjadi presiden dan mengklaim dirinya dekat dengan pengusaha kecil dan menengah, masih percaya akan keampuhan bual-bual muluk. Sama sekali tidak dapat dipastikan, kecuali diduga: tidak!

Konsep besar dan abstrak, pernyataan yang terlalu muluk –dengan berbagai kosakata yang ia pergunakan– hanya terpakai sebagai indikator untuk studi tentang apa yang dikehendaki oleh kekuasaan, pemikiran apa yang berkembang pada suatu masa, dan dinyatakan dengan bahasa seperti apa. Sebagai kosakata pembawa gagasan yang hendak ditanamkan dalam keyakinan, ia tidak punya kekuatan apa pun. Ia hanya bagaikan kembang api di pasar malam, meletup di sana-sini, bersinar memancarkan aneka bentuk serta warna, kemudian padam tanpa bekas.

T.D. Asmadi

Arus Mudik Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia, seperti juga bahasa-bahasa di negara lain, banyak memungut kata dari bahasa lain. Jumlah pasti tidak diketahui, tetapi Remy Silado mengatakan, “Sembilan dari sepuluh kata Indonesia berasal dari bahasa asing.” Itu berarti banyak sekali kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing.

Letak Indonesia yang di persimpangan perdagangan Asia dan benua lain serta komoditas yang dimiliki menyebabkan perdagangan dengan negara-negara lain berkembang pesat. Rempah-rempah menjadi salah satu daya tarik masuknya bangsa lain ke kepulauan kita. Mereka berdagang dan kemudian menancapkan pengaruh melalui kekuasaan dan juga bahasa. Maka dalam bahasa Indonesia kita kenal kata yang berasal dari India (Sanskerta), Persia, Arab, Tamil, Cina, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris.

Kata yang berasal dari bahasa-bahasa itu ada yang dipungut seutuhnya, lengkap dengan maknanya, ada yang diubah. Penyesuaian kata asing ke dalam bahasa Indonesia ada tiga macam. Pertama pengolahan konsonan. Contohnya stana menjadi istana, stri jadi istri, dan phala jadi pahala. Kedua pengolahan vokal. Contohnya ideaal – ideal, politiek – politik, dan executief/executive – eksekutif. Ketiga pengolahan kompleks. Contohnya classification – klasifikasi, construction – konstruksi. (Nyoman Tusthi Eddy: Unsur Serapan Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia, Nusa Indah, 1981).

Makna kata serapan juga bisa berubah dari kata bahasa asalnya (kata model). Menurut A. Gaffar Ruskhan (Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia, Kajian tentang Pemungutan Bahasa, Grasindo, 2007), dapat terjadi perluasan makna dari kata yang dipungut. Bisa juga terjadi penyempitan makna. Yang maknanya meluas antara lain zikir, sedekah, takwa, takwa, kawin,  dan anak yatim, sedangkan yang menyempit maknanya antara lain jemaah, ulama, arwah, maulud, dan salawat.

Mudik

Makin terbukanya hubungan, makin banyaknya orang Indonesia yang belajar bahasa langsung di negeri asalnya, juga–mungkin–makin tebalnya kesadaran beragama membuka kemungkinan ‘membahas’, ‘meneliti’, dan kemudian ‘mengungkit’ kata bahasa Indonesia yang dipungut dari bahasa asing. Kondisi politik juga bisa jadi menjadi sebab.

Maka muncul keinginan mengganti kata sembahyang, yang sudah dipakai ratusan tahun, menjadi salat, juga Tuhan menjadi Allah, lalu juga silaturahmi menjadi silaturahim, dan terakhir syahwat untuk mengganti kehendak, niat, atau tekad. Itu dalam bahasa Arab.

Dalam bahasa lain juga muncul ‘arus mudik’ itu. Misalnya, graha yang bertahun-tahun ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dianggap  sebagai padanan grha (yang maknanya bangunan atau rumah), dinyatakan tidak tepat lagi karena graha dalam bahasa modelnya berarti buaya. Meskipun barangkali juga karena ada peralihan kekuasaan, Orde Baru yang menggunakan graha tumbang dan diganti Orde Reformasi. Kata itu pun dianggap salah. Dalam bahasa Jawa ada kata griya dan bahkan sudah menjadi bahasa Indonesia, yang bisa jadi berasal dari kata grha tadi.

Menurut Nyoman Tusthi Eddy, bentuk grha menjadi graha adalah pengolahan konsonan, sama dengan stri menjadi istri, mrdu jadi merdu, atau stana jadi istana. Nyoman berpendapat, tujuan akhir dari pengolahan konsonan ini adalah memudahkan ucapan sesuai dengan daya ucap lidah pemakai bahasa Indonesia.

Lalu, dalam bahasa Latin ada yang memakai kata auctor intellectualis, yang maknanya orang yang merencanakan sesuatu kejahatan atau peristiwa (Osman Raliby, Kamus Internasional, CV Bulan Bintang, Djakarta, 1956). Kata ini adalah ‘mudikan’ dari kata yang ada dalam kamus kita, aktor intelektual. KBBI sejak edisi III sudah menulis aktor intelektual yang maknanya  otak berbagai tindakan yang menyimpang seperti kerusuhan, pembakaran, pembunuhan. KBBI I dan II tidak memuat sublema aktor intelektual ini.

Dalam hal bahasa Latin ini, KBBI memang lebih mengakomodasi lidah (?) Indonesia, sehingga hanya mengambil data (jamak) dan bukan datum (tunggal) dalam makna tunggal. Sama dengan pemilihan alumni baik untuk tunggal (alumnus) atau perempuan (alumnae).

Hamka

Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah menerima surat dari kawan lamanya. Surat, yang menurut Hamka dalam buku Hamka Membahas Soal-Soal Agama Islam (Editor H. Rusydi dan Afif, penerbit Pustaka Panjimas, Cetakan IV, 1985) ‘agak panjang lebar juga’, terutama meminta penjelasan tentang penggunaan kata  ‘Tuhan’ apakah  sama dengan ‘Allah’ dan ‘sembahyang’ sama dengan ‘shalat’? Tampaknya, pengirim surat menginginkan Hamka memakai Allah dan shalat untuk dua hal itu.

Setelah mengutip berbagai pendapat ulama lain, beliau kemudian menjelaskan pendapatnya:  “Sebab itu saya haraplah diberi maaf jika dalam hal ini tidak sama pendapat saya dengan saudaraku seperjuangan yang saya hormati, jika saya sendiri masih berpendapat bahwa memakai kalimat sembahyang tidak salah, bahkan memakai kalimat shalat itulah yang meminta keterangan lebih jelas, sebab dia mengandung akan berbagai makna sebagaimana tersebut dari keterangan ahli-ahli yang telah saya salinkan.”

Itu artinya beliau  berpendapat lebih tepat menggunakan sembahyang dibandingkan dengan salat.

Kata sembahyang juga beliau gunakan ketika membahas ayat ke-43 Surat An-Nisa dalam buku tafsir beliau, Tafsir Al Azhar (Juz V, Penerbit Panji Masyarakat, Oktober 1981). Ayat itu beliau terjemahkan dengan “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sembahyang padahal kamu sedang mabuk, sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan”. Judul pembahasan tentang itu pun “Sembahyang dengan Sadar”.

Kata sembahyang juga digunakan oleh H. Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang terkenal Fiqh Islam. Pada cetakan ke-17 yang diterbitkan oleh Attahiriyah Jakarta (1976), Sulaiman Rasjid menulis tentang “Kitab Sembahyang”, lengkap dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan salah satu rukun Islam itu. Ensiklopedia Indonesia terbitan Van Hoeve awal juga menulis salat dan sembahyang, dengan lema sembahyang diarahkan ke salat. Demikian juga pada Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus yang diterbitkan Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Saya tidak mengutip penjelasan Hamka soal penggunaan Tuhan dan Allah, karena tulisan ini ingin mencatat adanya (sebagian) pengguna bahasa Indonesia  beragama Islam  yang ingin menggunakan salat  dibandingkan dengan sembahyang. Mereka menganggap kata yang kedua itu lebih tepat. Kini, boleh dikata, semua orang Islam memakai kata salat (yang banyak ditulis shalat, dengan ‘sh’, berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI).

Salat sendiri bisa berarti macam-macam. Tengok saja yang dikemukakan oleh Dr. Fadh  Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi dalam buku Konsep Shalat Menurut Al-Qur’an. Dalam buku terjemahan Abdullah Abbas dan diterbitkan oleh Penerbit Firdaus tahun 1992 (Cetakan ke-2) itu, Fadh Abdurrahman itu mengemukakan 15 arti kata shalat dalam Al Qur’an, antara lain doa (At Taubah 103), ampunan (Al Ahzab 43), rahmat (Al Baqarah 157), rumah ibadah atau gereja (Al Hajj 40), bacaan (Al- Isra 110), Shalat Fardu lima waktu (Al Baqarah 2), shalat jenazah (At Taubah 84), Shalat Ashar (Al Maidah 106), dan shalat umat terdahulu  (Maryam 31).

Tentu, kini orang Islam Indonesia tidak ada yang berpikiran ke makna-makna lain berkaitan dengan salat itu. Semuanya menganggap salat adalah yang rukun Islam yang wajib dikerjakan lima kali sehari. Jadi, usaha ‘memudikkan’ rukun Islam sesuai asalnya sukses.

Syahwat

Adakah yang lain, yang ingin ‘dimudikkan’?

Yang sekarang sedang ‘bertarung’ adalah silaturahmi dan silaturahim. Yang paling tampak menggiring ke arah silaturahim adalah Kompas. Sejak tahun 2002 surat kabar ini gencar menggunakan silaturahim dan meninggalkan silaturahmi. Saya tidak tahu persis alasannya, tetapi dalam acara halalbihalal di Kelompok Kompas-Gramedia, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menjadi pembicara, Din Syamsudin, mengatakan yang tepat adalah silaturahim. Saya tidak ingat betul apa katanya tentang makna silaturahmi.

Meski demikian muncul ‘pertarungan’ silaturahim dan silaturahmi di Kompas. Hanya saja silaturahmi muncul pada iklan, sementara silaturahim pada tulisan dari kalangan Kompas sendiri, baik berita maupun berita kisah. Ketika Kompas memberitakan Ketua PP Muhammaddiyah Din Syamsudin membuka pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta, Agustus tahun ini, dan berjudul “Silaturahmi”, kata itu diberi tanda petik menjadi Pameran “Silaturahmi”.

Kompas sebenarnya puluhan tahun lalu pernah membahas tentang kata silaturahmi ini ini, dalam rubrik bahasa. Dengan jelas di situ diterangkan makna silaturahmi.

KBBI juga memakai silaturahmi, sejak Edisi I sampai Edisi terbaru. Lema silaturahim selalu diberi panah ke silaturahmi, artinya yang dipergunakan adalah silaturahmi. Apa maknanya? Tali persahabatan.

Kata lain yang mulai gencar dimudikkan adalah syahwat, tetapi bukan dalam arti yang ada dalam KBBI. Sejak Edisi I tahun 1980  kata itu selalu berarti nafsu atau keinginan bersetubuh; keberahian. Namun, akhir-akhir ini muncul dalam arti yang lain. Simaklah judul di harian Kompas “Membendung “Syahwat” Berpolitik Kawula Muda”. Meski dengan tanda petik, pastilah maksudnya bukan syahwat dalam arti yang dimaksud KBBI. Atau judul di Republika “Redam Syahwat Kekuasaan dengan Puasa”. Ini juga berbeda dengan yang ada dalam arti KBBI.

Mungkin arti syahwat dalam bahasa Arab berbeda dengan yang ada dalam KBBI. Namun, hendaklah yang kita pegang arti bahasa Indonesianya, yaitu yang berhubungan dengan nafsu birahi. Tentulah dengan demikian, perlu hati-hati dalam penggunaannya…..

Pabrik Kata

yang Berhenti Bekerja

Oleh Qaris Tajudin, Wartawan Tempo

Apa yang terjadi setelah Aceh diterjang tsunami pada 2004? Jatuhnya korban hingga hampir 200 ribu jiwa tentu saja merupakan kehilangan terbesar dalam bencana alam tersebut. Tapi ada juga yang ikut tersapu ombak selain ratusan ribu manusia, rumah, bangunan, dan kendaraan. Setelah kejadian luar biasa itu, kata “ungsi” dengan segala bentuknya ikut hilang. Tak menghilang sepenuhnya, memang, tapi bisa dikatakan sudah jarang dipakai.

Sebelum tsunami, terutama sebelum munculnya milenium baru, kata ungsi kerap muncul saat bencana datang. Muncul dengan segala bentukannya, baik itu mengungsi, diungsikan, pengungsi, pengungsian, maupun mengungsikan. Tapi, sejak tsunami Aceh yang merupakan bencana terbesar yang pernah kita alami, penggunaan kata itu jauh berkurang. Pengungsi dan tempat pengungsian memang masih kerap dipakai. Tapi kata kerja mengungsi, mengungsikan, dan diungsikan sudah amat jarang dipergunakan.

Sebagai gantinya, muncul kata serapan: evakuasi. Mengevakuasi dan dievakuasi telah menggantikan mengungsi dan diungsikan. Dalam setiap berita bencana alam, pemindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain selalu memakai kata evakuasi. Secara arti, sebenarnya kedua kata itu tak jauh berbeda. Dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kamus Merriam-Webster, to evacuate bisa berarti umum (to remove something) atau khusus (to remove especially from a military zone or dangerous area).

Arti khusus inilah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Itulah mengapa di Kamus Besar Bahasa Indonesia, evakuasi berarti: “pengungsian atau pemindahan penduduk dr daerah-daerah yg berbahaya, msl bahaya perang, bahaya banjir, meletusnya gunung api, ke daerah yg aman”. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam berita yang disiarkan kantor berita Antara pada Juli lalu: “Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah menyiapkan skenario baru untuk evakuasi jika terjadi bencana erupsi Gunung Merapi.” Kata evakuasi dalam kalimat tersebut bisa diartikan sebagai pengungsian.

Dalam perkembangannya kemudian, kata evakuasi ini dipakai dalam arti umumnya: memindahkan. “Gangguan arus lalu lintas di Jalan Lintas Barat Desa Taman Sari, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, terurai setelah dua mobil yang terlibat kecelakaan dievakuasi dari jalan raya, Selasa (16/10) pukul 09.30 WIB.” (Tribun Lampung, 16 Oktober 2012). Kata evakuasi di sini jelas tidak mengacu pada apa yang dimaksud oleh KBBI. Tidak ada penduduk yang dipindahkan dari tempat berbahaya. Pemakaian secara sembarangan inilah yang membuat kata evakuasi menjadi inflasi.

Secara kasar, kita bisa menggunakan mesin pencari Google untuk membandingkan penggunaan kata-kata tersebut. Dari pencarian itu kita mendapatkan kata “diungsikan” muncul 461.000 kali, “mengungsi” (2.670.000), “mengungsikan” (102.000). Total: 3.233.000 kata dari lema “ungsi”. Jika kata “pengungsian” (1.500.000) dimasukkan, jumlahnya menjadi 4.733.000. Jumlah total ini kurang-lebih sama dengan kata “evakuasi” saja yang jumlahnya mencapai 4.730.000. Ini belum ditambah bentukan “mengevakuasi” (872.000) dan “dievakuasi” (2.630.000). Total, kata “evakuasi” dengan segala bentuknya dipakai 8.232.000 kali. Hampir dua kali lipat kata ungsi.

Inflasi juga terjadi pada kata “warga”. Dahulu, kata warga jarang dipakai sendirian. Selalu disandingkan dengan kata lain, seperti negara atau desa. Ini karena memang arti warga, seperti yang ditulis KBBI, adalah anggota. Warga negara adalah anggota sebuah negara, demikian juga dengan warga desa. Dulu kita lebih sering menggunakan kata penduduk, rakyat, atau orang.  Bahkan, kerap kita tak memakai kata apa pun. Misalnya, “Sembilan Rumah Warga Penjaringan Terbakar” (Kompas, 25 Oktober 2012). Frasa “rumah warga” kini amat kerap kita jumpai (3.070.000 kali di Google). Di masa lalu, judul berita itu hanya berbunyi: “Sembilan Rumah di Penjaringan Terbakar”. Karena, sudah pasti rumah itu milik warga, bukan milik binatang.

***

Inflasi kata seperti yang terjadi pada evakuasi dan warga ini adalah akibat kemalasan wartawan mencari kata yang tepat dalam beritanya. Mereka cenderung memakai kata-kata yang generik. Kata-kata yang populer akan terulang terus-menerus dan kata yang kalah populer akan semakin tersingkir. Pada akhirnya pemiskinan vocabulary terjadi. Media massa yang seharusnya menjadi pabrik kata-kata berubah menjadi sapi yang memamah-biak kata-kata yang sama setiap hari.

Akibat dari pemiskinan kata yang dilakukan oleh media massa akhir-akhir ini adalah, kita melihat masyarakat juga keranjingan pada kata-kata yang generik dan susah mencari kata yang tepat untuk menyampaikan maksud mereka.

Setiap menonton liputan konser musik pop di televisi, para penonton remaja selalu mempunyai jawaban yang seragam. Ketika ditanya bagaimana konsernya, mereka menjawab: “Keren banget,” atau “Bagus banget.” Saya tidak mempermasalahkan kata-kata keren dan banget, tapi soal adjektiva yang dipakai. Selain itu-itu saja, mereka ternyata amat jarang bisa menjelaskan apa bagusnya, apa kerennya. Mendeskripsikan sesuatu tampaknya lebih sulit dari soal ujian akhir nasional.

Penyakit ini kemudian dibawa hingga tua. Dari dosen, pengacara, peneliti, sampai polisi dan pejabat selalu kesulitan menerangkan sesuatu. Jangankan memudahkan sesuatu yang rumit, menerangkan hal sederhana saja harus berputar-putar tak keruan. Saat saya meminta selebritas mendeskripsikan diri sendiri untuk melengkapi tulisan profil mereka, para pesohor itu selalu memulai jawabannya dengan: “Hem… apa ya?” Lalu jeda lama dan diakhiri dengan jawaban yang klise. Lebih dari separuh mereka akan berkata, “Saya itu orangnya mengalir seperti air.” Membosankan.

 ***

Anehnya, pemiskinan kata ini terjadi justru ketika media massa mendapatkan kebebasannya, ketika tak ada lagi Departemen Penerangan dan presiden otoriter yang mengharuskan kita menulis apa yang mereka mau. Justru pada 1970-an ketika wartawan dipaksa tunduk pada kekuatan Orde Baru, mereka mempopulerkan sejumlah kata yang belum populer hingga menambah perbendaharaan kata masyarakat. Kata seperti dangdut (sebagai alternatif bagi musik Melayu), tanpa (mengganti zonder), dan santai (menjadi alternatif bagi rileks) adalah sedikit di antaranya.

Permasalahan pemakaian kata yang itu-itu saja dan mandeknya media massa memproduksi kata-kata baru mungkin bukan (hanya) soal pemerintahan yang represif. Orde Baru memang memaksa media massa memakai eufemisme seperti “penyesuaian harga” dan “diamankan”. Tapi di masa itu wartawan punya waktu sekian jam untuk memikirkan apa yang akan mereka tulis. Media online dan siaran langsung televisi belumlah marak.

Tuntutan untuk menyampaikan berita secara cepat membuat banyak wartawan tak lagi berpikir tentang diksi. Pengaruh dari narasumber, seperti polisi, justru memperburuk pemakaian kata mereka. Wartawan di lapangan tak lagi mengubah “melakukan penganiayaan” dengan “menganiaya”, “mengalami pemukulan” dengan “dipukul”. Tapi, tentu saja, ini bisa dianggap sebagai pembenaran saja. Bukankah wartawan atau penyunting koran harian dan majalah mingguan memiliki waktu yang lebih longgar?

Apalagi kalau kita bicara majalah gaya hidup dan mode, yang selain ada yang terbit sepekan sekali, banyak juga yang dwimingguan atau bulanan. Tapi justru di majalah seperti ini kita melihat sedikitnya upaya untuk memproduksi kata-kata dalam bahasa Indonesia. Padahal mereka selalu mengeluhkan kesulitan memilih kata yang tepat karena banyaknya istilah asing di dunia mode dan gaya hidup yang belum ada di kamus bahasa Indonesia.

Kalau memang belum ada padanannya, marilah sama-sama kita ciptakan. Kata sederhana saja, misalnya, T-shirt. Banyak yang tetap menuliskannya seperti itu karena bingung bagaimana harus mengartikannya. Padahal kita bisa mengartikannya dengan sederhana sebagai kaus-T. Huruf T tidak perlu diterjemahkan karena yang diambil bukan bunyinya, melainkan bentuknya. Kaus oblong itu bentuknya mirip huruf T kapital.

Bukannya menciptakan kata baru, para penulis di media tersebut bahkan menyerah habis-habisan pada bahasa Inggris. Sebagian besar majalah gaya hidup dan mode–baik yang asli Indonesia maupun waralaba luar negeri–lebih senang memakai judul-judul dalam bahasa Inggris (meski isi beritanya tetap memakai bahasa Indonesia). Tentu, dari orang yang menyerah kalah seperti itu kita akan sulit mengharapkan munculnya ikhtiar.

Majalah Tempo, sebagai media yang bercita-cita memakai jurnalisme sastrawi dalam menulis berita, sebenarnya berikhtiar untuk mencari kata-kata yang berbeda. Tapi belakangan ini ikhtiar tersebut agak tersendat dan justru menciptakan klise baru. Misalnya, untuk mengatakan sesuatu yang dekat, para penulis Tempo berkali-kali memakai frasa “sepelemparan batu”. Untuk mengatakan ketidakberesan, kata “carut-marut” dan “sengkarut” selalu dipakai. Idiom-idiom seperti “mengalir sampai jauh” (dari syair Bengawan Solo) dan “…-nya … kami” (dari Robohnya Surau Kami) juga sudah inflasi.

***

Kemarau kata-kata di media massa memang harus dihentikan. Dan itu bukan perkara mudah. Selain harus ada kesengajaan untuk keluar dari kata-kata klise dan itu-itu saja, perubahan harus dimulai sejak pendidikan dasar. Ketidakakraban wartawan dan redaktur media massa pada sastra juga merupakan akar masalah yang tak kalah seriusnya. Bagaimanapun, sebagian besar wartawan saat ini adalah produk pendidikan kita yang mengajarkan bahasa dan sastra sebagai teori.

Make a Comment

Tinggalkan komentar

2 Tanggapan to “Kuasa Kata di Media”

RSS Feed for Forum Inovatif Pekerja Media Comments RSS Feed


Where's The Comment Form?

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...