Archive for Februari 2nd, 2007

Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah

Posted on 2 Februari 2007. Filed under: Makalah |

Pengantar

Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia menghadirkan para ahli bahasa dan sastra, praktisi pembuat buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, guru SD, SMP, SMU, Senin 22/1 s.d. Selasa 23/1, pukul 9.00 s.d. 15.50. Oleh karena itu, saya memuat makalah Maman S. Mahayana yang kebagian sesi Siswa dan Apresiasi Sastra Indonesia. Silakan simak makalah lengkapnya berikut ini.

APRESIASI SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Maman S. Mahayana

 

            Apakah pengajaran sastra (Indonesia) di sekolah bertujuan agar siswa (a) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (b) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, [1] atau agar siswa memperoleh pengetahuan (a) tentang sastra dengan berbagai teori dan (b) nama pengarang, judul, dan angkatan-angkatan?

            Jika merujuk pada tujuan yang hendak dicapai pada tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) [2] yang mulai diberlakukan tahuan ajaran 2006—2007 dan yang pemberlakuannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah  dan tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, maka sesungguhnya KTSP memberi peluang yang lebih leluasa bagi guru dan pihak sekolah untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya. [3] Tetapi dunia pendidikan (baca: hidup) di Indonesia sering kali serba tidak terduga. Seloroh ganti menteri, ganti kurikulum –yang selama ini selalu menjadi kenyataan—hendaknya tidak lagi terjadi.

Dalam kondisi dunia pendidikan kita yang –konon—berada dalam keadaan karut-marut dengan minimnya kesadaran guru –bahkan juga dosen—bahwa bidang yang mereka masuki bukanlah sekadar sebuah pekerjaan an sich, dengan tugas rutin menyampaikan sesuatu di depan kelas, melainkan sebuah profesi yang semestinya dijalankan secara profesional, [4] maka perubahan kurikulum berdampak sangat luas. Guru seperti dihantui serbuan angin puting beliung yang kerap memperakporandakan sekolahnya. Belum selesai mereka membenahi sekolahnya, belum sempat mandi, ganti baju, dan menyiapkan penampilan baru, sudah datang lagi badai lain yang memaksa mereka terus-menerus membenahi diri. Kondisi itu tentu saja menjadikan kebingungan para guru yang seperti tiada habisnya itu menular kepada diri para siswa.

Perubahan kurikulum juga persoalannya menyangkut banyak aspek: biaya, sikap dan kultur (baca: paradigma) guru yang cenderung mengalami gegar ketika menghadapi perubahan, dan sederet panjang masalah. Sumber masalahnya selalu saja jatuh pada kurikulum.

            Tentu saja perubahan kurikulum itu di belakangnya bertumpuk berbagai alasan atas nama kemajuan dan usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan alasan itu, bolehlah kita memberi apologia kepada para dewa pembuat kurikulum. Oleh karena itu, sebelum kurikulum mutakhir itu hendak dijalankan, seyogianya kita memahami substansi KTSP. Jika, di sana-sini KTSP berisi kemungkinan menjebloskan guru dan siswa ke jalan yang sesat, eloklah kita tolak. Tetapi, jika memberi peluang bagi peningkatan kualifikasi guru, bolehlah dicobakan dahulu selama satu dasawarsa. Di belakang itu, harus ada pula semacam “jaminan” bahwa uji-coba kurikulum atau evaluasi dan revisi kurikulum akan dilakukan dalam waktu tertentu.

***

            Jika mencermati setiap muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP, maka segalanya memang baik-baik saja, sama halnya juga dengan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK, 2004). [5] Semuanya bagus dan ideal dengan segudang pengandaian, bahwa dengan pemberlakuan kurikulum ini, guru akan begini, hasilnya juga siswa bakal begini. Sementara, dengan  kurikulum itu, guru akan begitu, hasilnya juga siswa akan begitu. Pengandaian ini datang lantaran para perumus kurikulum adalah para dewa yang diminta turun dari kahyangan lalu ditugasi untuk menciptakan satuan-satuan materi pembelajaran yang begitu terinci yang akan diberlakukan untuk semua jenjang pendidikan. Di sana , disertakan pula daftar buku yang diwajibkan, yang dianjurkan atau yang sekadar disebutkan saja judulnya. Sangat mungkin, buku yang diwajibkan susah dicari atau tidak ada di sekolah itu. Atau juga, buku yang diwajibkan itu datang dari penerbit tertentu yang lewat Dinas Pendidikan, semuanya gampang diatur.

Begitulah, keluh-kesah para guru –sejauh pengamatan saya selama berhubungan intim dengan sejumlah guru di berbagai daerah di Indonesia — tertuju pada kurikulum yang seperti didatangkan begitu saja dari langit. Lalu, tiba-tiba, guru diancam untuk melaksanakan kurikulum itu. Guru tidak diberi ruang bergerak yang lebih bebas dan potensi daerah terkesan tidak dapat diakomodasi. Dan –selalu—puncak ketegangan itu terjadi menjelang pelaksanaan Ujian Negara (UN). [6]

Dalam KTSP segalanya seperti hendak “diserahkan” kepada guru dan sekolah masing-masing. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menarik yang ditawarkan dalam KSTP, yaitu guru dan sekolah –terlepas dari campur tangan Kepala Dinas—diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Di sana , tidak ada keharusan menggunakan kurikulum tertentu beserta sejumlah daftar bukunya yang juga tertentu. Dalam hal ini, prinsip fleksibilitas memberi keleluasaan bagi guru untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai kebutuhan. Di sana , diizinkan pula memasukkan muatan lokal sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

            Dalam konteks pelajaran sastra, muatan lokal tentu saja bertebaran begitu banyak, mulai dengan memanfaatkan khazanah cerita rakyat, dongeng, seni pertunjukan, bahkan juga cerpen yang dimuat di koran-koran lokal pada setiap hari Minggu. Jadi, tidak ada alasan bagi guru untuk berkeluh-kesah menangisi tiadanya bahan pelajaran, lantaran KTSP memberi peluang bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan tuntutan sekolah atau daerahnya.

            Lepasnya campur tangan Kepala Dinas atau birokrat pendidikan, di satu pihak memberi kebebasan bagi guru dan pihak sekolah mengembangkan diri dan memanfaatkan berbagai bahan yang sesuai dengan kebutuhan, dan di lain pihak, menuntut guru bekerja lebih keras untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk persoalan yang menyangkut menajamen sekolah dan kegiatan rutin pembelajaran (bidang akademis). [7] Jadi, sangat mungkin dalam ihwal muatan lokal, setiap sekolah mengajarkan materi yang berbeda-beda. Tetapi di situlah KTSP mengakomodasi potensi daerah yang menyangkut kehidupan sosio-budaya serta kondisi peserta didiknya.

            Persoalan yang mungkin bakal menjadi kendali bagi pelaksanaan KTSP adalah masih adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Problem pelaksanaan kurikulum sesungguhnya juga lantaran adanya kecenderungan pengajaran yang berorientasi pada keberhasilan UN. Keberhasilan guru mengajar sering kali diukur oleh keberhasilan siswa lulus UN. [8] Akibatnya, UN dianggap sebagai satu-satu tolok ukur keberhasilan guru dan sekaligus juga sekolah. [9] Tambahan lagi, soal-soal UN yang cenderung sebagai standar dan bersifat umum (nasional), tidak hanya menafikan keberadaan muatan lokal, tetapi juga mengandaikan semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai standar kompetensi yang relatif berada dalam tingkat yang tidak terlalu jauh berbeda. Di samping itu, mengingat UN bersifat nasional –massal—maka soal-soal dipilih sedemikian rupa dengan menggunakan pola memilih. Soal-soal semacam ini tentu saja efektif untuk memudahkan koreksiannya. Jawaban yang sekadar memilih A, B, C, D, atau E pemeriksaannya cukup dengan komputer yang dengan sekali pijit enter, segalanya dapat diselesaikan secara cepat, murah, dan mudah.

            Untuk mata-mata pelajaran eksakta atau ilmu pengetahuan sosial yang pertanyaannya menuntut jawaban benar atau salah, tentu saja pola soal yang seperti itu dapat diterapkan dengan hasil yang relatif dapat diandalkan. Tetapi untuk pelajaran tertentu yang bersifat keterampilan dan apresiasi–sebutlah mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia — soal-soal semacam itu justru bakal menimbulkan masalah. Oleh karena itu, jika ujian nasional tetap akan diselenggarakan, maka pertanyaan yang menyangkut keterampilan dan apresiasi seharusnya dihilangkan. Sedangkan hasil ujian nasional bukanlah untuk menentukan kelulusan peserta didik, melainkan sekadar untuk mengukur standar pendidikan nasional.

***

            Bagaimana pemberlakukan KTSP dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia ? [10] Memperhatikan muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam KTSP, maka –sebagaimana yang juga tersurat dalam kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)—segalanya sangat menjanjikan, ideal, dan penuh pengharapan. [11] Demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran Bahasa Indonesia. [12] Jadi, jika tujuan pelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP tercapai, maka tak bakal terjadi lagi keluh-kesah tentang kemampuan berbahasa –lisan dan tulis—peserta didik, tak bakal lagi terdengar anggapan bahwa sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, dan generasi masa depan Indonesia akan menjadi manusia yang gemar menulis dan membaca!

            Pengandaian itu menjadi begitu optimistik manakala ada keterangan berikut: “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.” [13]

            Mengenai Standar Kompetensi yang menyangkut (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khusus sastra Indonesia yang terdiri atas 36—38 materi dalam setiap semester, pelajaran sastra berkisar antara 16—18 materi. Jadi, cukup proporsional. Dari materi sejumlah itu, sekitar 6—8 menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya apresiasi. Meskipun di sana materi sejarah sastra tidak disinggung, materi apresiasi cukup mendapat ruang yang lebih leluasa. Kembali, jika itu dijalankan secara benar, maka apresiasi sastra sesungguhnya tidaklah menjadi masalah.

            Pertanyaannya: mengapa dari tahun ke tahun meski telah gonta-ganti kurikulum, keluh kesah tentang pelajaran bahasa dan sastra Indonesia masih selalu bergentayangan? Jika dalam Kurikulum 1994 dan KBK, tumpuan kesalahan itu selalu dijatuhkan pada kurikulum, maka hal yang sama juga sangat mungkin akan terjadi. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang tidak beres entah pada siapa.

Problem mendasar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesungguhnya terletak pada semangat guru untuk mengajarkan sejumlah teori dan pengetahuan tentang bahasa dan sastra Indonesia . Perlu diingat bahwa pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia ) di sekolah, jika memang tujuannya sebagaimana yang dieksplisitkan dalam tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, [14] maka tidak dapat lain, pelajaran yang menyangkut teori dan pengetahuan harus segera disisihkan, apalagi yang diberikan adalah teori-teori linguistik. Inilah sumber malapetaka pelajaran bahasa Indonesia . Bahaya betapa pelajaran bahasa Indonesia akan mengalami malapetaka jika yang diberikan lebih banyak teori dan gramatika, sudah pernah disinggung Sutan Takdir Alisjahbana. Sejak tahun 1930-an, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tatabahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan cenderung menjadi sangat linguistis. [15] Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa. Kondisi itulah yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana, “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” [16] Di bagian lain, Aisjahbana mengatakan:

            Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.

            Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…

            Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah. [17]

            Menurut hemat saya, pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan persoalan ilmu bahasa (linguistik) harus diganti dengan pelajaran mengarang. Dari sana , pembahasan tentang ejaan dan tanda baca, boleh dimulai. Bukankah duduk perkara tata bahasa, apalagi yang berkaitan dengan teori-teori linguistik, tidak ada perlunya diberikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, kecuali jika para siswa itu bercita-cita menjadi peneliti bahasa atau linguis. [18]

            Hal yang sama juga mestinya diterapkan dalam pelajaran sastra ( Indonesia ). Apa manfaatnya peserta didik mengetahui, memahami, dan hapal di luar kepada tentang alur, tokoh, tema, latar, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa, jika mereka sama sekali tidak menyentuh karya sastranya sama sekali. Itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia ), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Jadi, yang terutama dalam pelajaran sastra ( Indonesia ) di sekolah di semua tingkat pendidikan dasar dan menengah, adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Tugas guru tinggal bertindak sebagai moderator ketika para siswa mendiskusikan karya itu –bisa dengan cara per kelompok—di depan kelas. Dalam diskusi itu, jawaban salah—benar tidak berlaku, karena yang penting dari jawaban itu adalah alasan yang mendasari jawabannya. Karyanya sendiri bisa bermacam-macam, puisi, cerpen, novel, atau drama. Dari karya sastra yang telah dibaca siswa itulah, guru bisa menerangkan soal konsep-konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?

            Melalui cara yang seperti itu, maka pelajaran sastra tidak hanya dapat menumbuhkan apresiasi siswa pada karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang saling menghargai pendapat. Sebuah pelajaran demokrasi telah berlangsung di dalam kelas, karena di sana urusan benar—salah, tidak berlaku lantaran yang diutamakan adalah alasan di balik jawaban apa pun yang disampaikan peserta didik.

            Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Di samping itu, soal evaluasi (ulangan harian atau ulangan semesteran) juga harus menghilangkan soal yang jawabannya memilih (A, B, C, D, atau E). Sudah saatnya pertanyaan seperti itu dibuang ke keranjang sampah.

            Konsekuensi lainnya adalah kerja keras guru untuk mengoreksi jawaban-jawaban yang berupa esai. Bukankah guru—dan dosen, adalah tenaga profesional? Maka ia harus profesional pula menjalankan tugas dan peranannya. Apa pun alas an dan dasar pemikirannya, menurut hemat saya, soal-soal ulangan atau ujian yang di sana sudah tersedia jawabannya –A, B, C, D, dan E apalagi yang jawabannya B (benar) atau S (salah), tidak membuat peserta didik berpikir kreatif. Bagaimana pelajaran keterampilan berbahasa (menulis dan membaca) dan kemampuan apresiasi sastra, klimaksnya (: ujian) dengan menjawab yang cenderung untung-untungan?

            Kaitannya KTSP jelas sudah! KTSP memberi kebebasan yang luas bagi pengembangan kreativitas guru dan peserta didik. Maka, pelajaran sastra yang utama adalah apresiasi, dan itu hanya mungkin dapat dilakukan jika guru dan siswa membaca karya sastranya. [19] Sejumlah karya sastra bertebaran di muka bumi ini, apalagi khazanah sastra tradisional semacam dongeng dan cerita rakyat. Mengapa khazanah sastra yang seperti itu tidak dimanfaatkan untuk pembelajaran sastra di sekolah? Sudah saatnya, guru menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk menyampaikan bahan pengajaran yang menurutnya baik, sesuai, dan asyik. Bahwa di sana ada kurikulum, tokh KTSP telah memberi kelonggaran dan  kebebasan untuk menerjemahkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bukankah di sana ada pula muatan lokal dan bahan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat?

            Bahwa di sana menunggu makhluk menakutkan yang setiap saat bakal memangsa para peserta didik lewat apa yang disebut sebagai ujian nasional? Inilah bencana nasional berikutnya jika ujian nasional itu diperlakukan sebagai satu-satunya ukuran meluluskan peserta didik. Ujian nasional, jika memang masih diperlukan, hanya berfungsi untuk memetakan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dan bukan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik.

            Akhirnya, mesti saya sampaikan bahwa kurikulum bukanlah kitab suci. Ia sekadar panduan yang penerjemahannya sangat bergantung pada guru. Jadi, biarkanlah guru mengembangkan kreativitasnya sendiri. Biarkanlah guru menerjemahkan sesuai dengan kondisi sekoilah dan daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, jika KTSP memang hendak dijalankan secara konsekuen, pemerintah perlu mempertimbangkan format ujian nasional yang tidak lagi menjadikannya sebagai alat satu-satunya meluluskan atau tidakmeluluskan peserta didik. Sebaliknya, jika format ujian nasional tetap dijadikan ukuran satu-satunya criteria bagi kelulusan siswa, maka semangatnya bertentangan, kontradiksi, berlawanan, bertolak belakang dengan KTSP!

            Demikianlah!

Read Full Post | Make a Comment ( 10 so far )

Banjir Melumpuhkan Sejumlah Aktivitas

Posted on 2 Februari 2007. Filed under: Percik Pengalaman |

Banjir Jumat 2/2 pagi membuat wilayah Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya kacau balau. Saya ikut acak-acakan, waktu tempuh di perjalanan yang biasanya 45 menit, kini menjadi tiga setengah jam. Bahkan di sejumlah ruas jalan, air yang meluap menutupi jalan yang mengakibatkan perjalanan kendaraan macet total. Kemacetan merambah ke seluruh wilayah ibu kota. Air menggenangi sejumlah ruas tol juga.

Meski macet, saya menikmati saja. Kenikmatan macet jadi kian terasa saat mendengarkan radio Elshinta, Sonora, dan ber-ge-pe-er-es-ria membuka situs berita, http://www.detiknews.com. Situs berita itupun penuh dengan warta banjir. Antara lain berjudul “Banjir Jakata, Tidak Ngantor? Tenang, Ditolerir”, “Banjir Jakarta, Mobil Derek Dishub Kewalahan”, “Genangan Air di Kebagusan, Motor Masuk Tol”, “Banjir 1 Meter di Tomang, Puluhan Motor Mogok”. Pantauan berita melalui radio tak kalah serunya.

Sejumlah janji yang berlangsung Jumat ini pun batal dengan sendirinya. Banjir melumpuhkan sejumlah aktivitas kerja hari ini. Harian Kompas menurunkan berita berjuluk “Pusat Jakarta Terendam, Sedikitnya 10 Perumahan di Ciledug Banjir hingga 1,5 Meter”. Di perjalanan sembari menikmati warta banjir, saya menerima surat menyurat singkat atau SMS, bunyinya:

“Mas, kalau hujan kayak begini terus, kayaknya sih rapat di kantornya ditunda dulu deh. Paling juga Senin baru bisa kabar-kabari lagi. Terima kasih.”

SMS itupun segera saya tanggapi dengan menyetujui pembatalannya mengingat hujan masih terus mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Telepon pun kerap berdering-dering menyatakan penundaan pertemuan yang rencananya berlangsung hari ini. Di sejumlah tempat akhirnya dengan serta merta membatalkan pertemuan juga.***

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...