Bahasa Indonesia yang Menginternasional

Posted on 21 Maret 2011. Filed under: Bahasaku-Bahasamu |

Mengharap bahasa Indonesia menginternasional bukan suatu utopia. Toh pada galibnya, fakta dan data yang mendukung pencitraan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia hanya memerlukan komitmen masyarakat bangsa dan Negara RI. Namun, dari manakah impian mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia yang menginternasional menjadi kenyataan? Sejumlah tokoh, pemerhati dan pencinta bahasa Indonesia mendiskusikan dalam tajuk “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia, Mungkinkah?” di Gedung Mizan, Bandung bekerja sama dengan Forum Bahasa Media Massa (3/3/2011).

Moderator diskusi, T.D. Asmadi mengungkap delapan permasalahan sebagai pengantar diskusi. Pertama, Konferensi Internasional Liga Universitas Islam II di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) di Pondok Modern Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jatim, yang berakhir 11 Januari  2011 mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu bahasa internasional di negara-negara Islam, selain bahasa Arab. Ini sebuah usul yang menarik, karena akan membuat bahasa Indonesia dipelajari dan kemudian dijadikan bahasa dunia—meskipun masih sebatas dunia Islam. Kedua, bahasa dunia Islam memang terbatas, tetapi karena umat Islam berada di berbagai belahan dunia dengan aneka bahasa, maka penggunaan bahasa Indonesia akan menjadikan bahasa lebih dikenal dan lebih dari itu dipelajari. Ini tentu saja kesimpulan sementara. Ketiga, bahasa Indonesia, yang bermuara pada bahasa Melayu, kini digunakan oleh 225 juta penduduk Indonesia. Bergabung dengan bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand (Selatan), bahasa Indonesia menempati posisi kelima dari banyaknya penduduk yang memakainya. Yang pertama Cina (China, Tiongkok), lalu bahasa Inggris, kemudian bahasa Spanyol, dan bahasa Hindi di India. Keempat, banyaknya penutur tentu bukan satu-satunya ukuran atau syarat untuk dapat menjadi bahasa dunia. Banyak syarat lain yang harus dipenuhi. Bahasa Mandarin, misalnya, bukan bahasa pengantar dunia, demikian juga bahasa Hindi. Bahasa Inggrislah yang ini menjadi bahasa dunia. Diperkirakan dua per tiga penduduk dunia mempraktikannya, baik sebagai bahasa utama maupun sebagai bahasa  kedua. Baik sebagai bahasa pengantar maupun sebagai alat untuk memahami sesuatu. Tentu dengan berbagai ‘karakteristik’ wilayah masing-masing. Kelima, bahasa Melayu sendiri, sebenarnya, pernah mengungguli bahasa Inggris pada abad ke-12 sampai ke-19. Ketika di Eropa yang menjadi bahasa pergaulan adalah bahasa Latin, bahasa Inggris belum punya pengaruh apa-apa. Sementara di belahan Asia Tenggara, bahasa Melayu sudah menjadi mode yang dipelajari di mana-mana di bumi Nusantara. Gubernur Portugis di Maluku, Antonio Galvao, menyamakan bahasa Melayu di Nusantara dengan bahasa Latin di Eropa ketika itu. Keenam, ada keunggulan tertentu bahasa Melayu dibandingkan dengan bahasa Latin. Dalam kategori apa keunggulan itu. Kata James T. Collins (Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Buku Obor, Yayasan Obor Jakarta 2005), keunggulan itu ada dalam bidang ilmu, perdagangan, diplomasi, dan agama. “Bahasa tulis menyebar ke seluruh daerah tersebut, seperti bahasa Latin yang ditulis dari Irlandia sampai Hungaria…..” tulis Collins. Pada bagian lain dia menulis, “Bahasa Melayu sebenarnya adalah bahasa Latin di Kepulauan Nusantara.” Ketujuh, Dr. A. Rivai, salah satu pelopor jurnalis Indonesia, menulis tentang bahasa Melayu di Singapura ketika dia singgah sebelum ke Eropa untuk belajar pada 1926 sampai 1928. Menurut Rivai (Studen Indonesia di Eropa, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), bahasa Inggris digunakan pada nama apa pun,  dari nama jalan sehingga nama toko. Namun, hanya sedikit yang berbicara bahasa Inggris. Di toko Tionghoa, jepang, Hindu dan Keling semua menggunakan bahasa Melayu. “Artinya ialah bahasa Melayu itu suatu bahasa yang besar artinya dalam campuran hidup (pergaulan) di Singapura, dalam kota internasional itu, lebih besar dari bahasa Inggris,”  begitu tulisnya. Kedelapan, kini Bahasa Inggris lebih kuat dibanding bahasa Indonesia. Bahkan banyak orang Indonesia lebih menyenangi bahasa Inggris, meskipun tidak tepat. Ini punya arti tertentu dalam arah bahasa di Indonesia. Jadi bagaimana dengan usul agar bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia?

Pada sesi pertama, Masmimar Mangiang menjelaskan butir-butir gagasan pengantar diskusi bahwa kemungkinan menjadi bahasa internasional, jika

1.  Indonesia memiliki kekuatan dan pengaruh politik yang dominan di dunia, atau setidak-tidaknya di salah satu kawasan di dunia.

2.  Indonesia memiliki kekuatan dan pengaruh ekonomi yang dominan di dunia, atau setidak-tidaknya di salah satu kawasan di dunia.

“Selama kedua syarat itu tidak dapat dipenuhi, tidak akan ada kemungkinan bagi bahasa Indonesia –kini, dan dalam waktu dekat– menjadi bahasa internasional,” tegas Masmimar seraya menggarisbawahi pemakaian bahasa berhubungan dengan penetrasi bahasa.

Pemakaian suatu bahasa berkembang — meluas secara geografis dan bertambah jumlah penuturnya — melalui penetrasi kebudayaan (masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lain). Penetrasi kebudayaan dapat berlangsung secara damai, dan dapat terjadi lewat kekerasan. Penetrasi damai (penetration pasifique) bersifat memperkaya kebudayaan yang dimasuki tanpa meniadakan kebudayaan penerima penetrasi. Penetrasi lewat kekerasan (penetration violante) berlangsung secara paksa, lewat peperangan atau penaklukan. Ia cenderung menyingkirkan kekayaan budaya yang dimasuki, dan sering menimbulkan guncangan sosial. Kedua-duanya memerlukan masa yang panjang seperti yang ditunjukkan oleh sejarah bahasa Inggris (misalnya), dan pengaruh bahasa –yang dibawa– bangsa Barat yang pernah “singgah” dan “menetap” di Indonesia.

Bahasa Inggris adalah bahasa Jermanik Barat, yang merupakan kombinasi beberapa bahasa lokal yang dipakai orang Norwegia, Denmark, dan Anglo-Saxon dalam abad VI sampai abad X. Setelah Inggris ditaklukkan William the Conqueror dari Normandia, bahasa Inggris mulai dipengaruhi bahasa Latin dan bahasa Perancis. Untuk menjadi bahasa Inggris seperti yang dikenal sekarang, diperlukan waktu ratusan tahun. Bahasa Inggis menjadi bahasa dunia karena tanah jajahannya berada di sekeliling dunia. Ada 103 bekas dominion, koloni, protektorat, dan negeri di bawah mandat Inggris di dunia. Ini membuat Imperium Britania (dulu) disebut sebagai “the empire on which the sun never sets“.

Portugis datang ke Indonesia tahun 1511; Portugis disingkirkan Spanyol tahun 1521; Belanda (VOC) datang tahun 1596, disela oleh Inggris tahun 1811-1816, kemudian kekuasaan Kerajaan Belanda kembali, dan baru meninggalkan Indonesia pada 1950-an. Pengaruh yang terkuat di antara empat bangsa Barat itu adalah pengaruh yang dijejakkan bahasa Belanda. Itu pun tidak membuat bahasa Belanda menjadi bahasa pergaulan di Indonesia.

Mengembangkan pemakaian bahasa Indonesia lewat kekerasan kini tidak mungkin terjadi, selain karena tidak adanya kekuatan Indonesia untuk itu, juga sudah tidak dimungkinkan oleh peradaban politik internasional.

Mengembangkan pemakaian Bahasa Indonesia lewat penetrasi damai, juga hampir mustahil, karena Indonesia tidak memiliki keunggulan kultural terhadap kebudayaan lain – terlebih-lebih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Malah dalam hal ini Indonesia berada pada posisi lemah, menjadi penerima penetrasi kebudayaan.

Dalam perkembangan kultur pop, Indonesia hanyalah pengikut dan pemakai. Nama “Indonesia” pun berasal kata “Indus” (Latin, yang berarti “Hindia”) dan “nesos” (Yunani, yang berarti “pulau”). Pada 1850, etnolog Inggris George Earl mengusulkan nama Indunesia dan Malayunesia untuk “Kepulauan Hindia” atau “Kepulauan Melayu”. Muridnya, James Richardson Logan, menggunakan kata “Indonesia” untuk Kepulauan Hindia. Dalam lingkungan akademik di luar Negeri Belanda, nama “Indonesia” menjadi lebih umum dipakai sejak tahun 1900. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894.

Kosa kata bahasa Indonesia dipengaruhi bahasa asing antara lain Sansekerta, bahasa Belanda, Arab, dan bahasa Inggris. Ada perkembangan yang menggembirakan, tetapi yang berlangsung bukanlah penetrasi kebudayaan secara damai.

Bahasa Indonesia memang sudah dipelajari di 45 negara, antara lain Amerika Serikat, Kanada, dan Vietnam. Di Australia bahasa Indonesia menjadi bahasa popular keempat. Hanya saja pengajaran bahasa Indonesia di berbagai negara itu tidak serta merta menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan.

Sampai akhir kuartal ketiga 2010, jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri memang mencapai 4,32 juta orang. Tetapi kehadiran mereka di luar negeri tidak berada pada posisi mempengaruhi.

Kini Wikipedia Indonesia berada pada peringkat 26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia. Di Asia ia berada pada peringkat tiga (teratas Jepang, nomor dua Mandarin). Ini hanya disebabkan oleh jumlah penutur bahasa Indonesia yang mengakses memang tinggi, dan penetrasi damai juga tidak berlangsung.

Selain mengungkapkan sisi penetrasi budaya kebahasaan, Masmimar Mangiang menjelaskan kendala luar dan kendala dalam perihal bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Cita-cita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia, menghadapi kendala besar yang tidak dapat dibayangkan bagaimana mengatasinya. Kendala itu tidak hanya berada di luar diri Indonesia, melainkan juga berada dalam diri Indonesia.

Kendala Luar

Kekuasaan dan dominasi politik berada di tangan bangsa lain.

  • Kekuasaan dan dominasi ekonomi berada di tangan bangsa lain.
  • Ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai bangsa lain.
  • Media (termasuk teknologi informasi dikuasai) bangsa lain.

Kendala Dalam

Kompleks rendah diri (manakala berhadapan dengan segala sesuatu yang datang dari luar) tidak kunjung sembuh. Karena itu daya tahan kebudayaan Indonesia menjadi lemah.

Bangsa Indonesia sendiri belum merasa bangga akan bahasanya. Jangankan mengembangkannya dengan serius, memeliharanya pun tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh.

  • Kemampuan berbahasa Indonesia dengan logis kini menjadi masalah.
  • Banyak kosa kata Indonesia yang tidak lagi dikenal oleh kaum muda.
  • Kemampuan ekspresi bahasa Indonesia diabaikan, dan berbagai idiom dalam bahasa Indonesia banyak yang tidak lagi dikenal.

—   ini hanya sebagian kecil persoalan yang jika diiventarisasi akan menjadi sebuah daftar yang panjang.

Gagasan yang disajikan ini terkesan penuh dengan pesimisme. Tetapi bukanlah itu yang dimaksudkan. Ini adalah catatan tentang kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri. Sebaiknya ia dipahami secara bersungguh-sungguh, agar ditemukan jalan untuk mengatasinya.

Sebelum menjawab pertanyaan “apakah mungkin bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia” — salah satu bahasa pergaulan internasional– pekerjaan besar yang harus diselesaikan adalah memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia itu sendiri.

Pada sesi kedua, Lie Charlie mengurai “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia” secara gamblang. Ia menegaskan bahwa memelihara harapan bahwa pada suatu waktu Bahasa Indonesia dapat terangkat menjadi bahasa dunia, bahasa internasional yang dipakai sebagai bahasa komunikasi antarbangsa, tentu saja tidak berlebihan. Bahasa Indonesia memiliki potensi untuk dipertimbangkan menjadi bahasa dunia meskipun dibutuhkan usaha untuk mempersiapkannya. Dalam beberapa aspek, harus diakui bahwa Bahasa Indonesia masih memiliki sejumlah keterbatasan  untuk menjadi bahasa dunia. Kriteria apa yang mesti dipenuh untuk menjadi bahasa dunia?

Pertama, bahwa bahasa tersebut telah dikenal dan dipergunakan oleh orang secara meluas. Ketika disepakati menjadi bahasa dunia, penutur bahasa Inggris bukan kelompok paling banyak, namun bahasa Inggris merupakan bahasa yang persebarannya paling luas dan merata di dunia pada waktu itu. Sebagai penjelajah ulung, bangsa Inggris selalu pula mengajarkan bahasanya di mana pun ia melabuh dan menjajah. Tak heran bahasa Inggris menyebar dari Eropa hingga ke India, Filipina, Samoa, dan Australia.

Kedua, untuk menjadi bahasa dunia sebuah bahasa harus dapat dipelajari. Artinya, paling tidak, ia telah dapat dipertuliskan dan memiliki tata bahasa yang sudah teratur. Bahasa Inggris memenuhi kriteria ini dan merupakan salah satu bahasa yang paling mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa Spanyol atau Portugis yang pada zaman bersamaan juga cukup luas persebarannya.

Ketiga, bahasa yang menjadi bahasa dunia seyogianya memiliki cukup banyak kosa kata agar dapat memfasilitasi komunikasi antarbangsa.  Bahasa Inggris yang berasal dari belahan bumi Eropa Utara dan punya empat musim lagi-lagi memenuhi kriteria ini. Bayangkan, apabila bahasa yang diangkat menjadi bahasa dunia berasal dari wilayah tropis yang tidak memiliki kosa kata untuk menyebut salju atau beku.

Di samping itu, Lie Charlie menggarisbawahi potensi dan pesona  bahasa Indonesia.

LANTAS, apakah Bahasa Indonesia sudah cukup tersebar untuk menjadi bahasa dunia? Selain di Indonesia dan di lingkungan kedutaan besar Indonesia di seluruh dunia, di manakah lagi Bahasa Indonesia dipergunakan? Kita perlu mengakui bahwa Bahasa Indonesia masih kurang persebarannya. Dan jangan berpikir bahwa Bahasa Indonesia memiliki 240 juta penutur sebab kenyataannya orang yang fasih berbahasa Indonesia di Nusantara ini cuma kira-kira 50 juta orang. Ditambah dengan orang yang kurang fasih, angka itu mungkin hanya 100 juta.

Dengan asumsi jumlah penduduk dunia 6 miliar, penutur Bahasa Indonesia yang 100 juta orang pun kurang dari 2%. Untungnya, Bahasa Indonesia punya kedekatan dengan bahasa Melayu yang dipakai meluas di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Tetapi jumlah penduduk negara-negara tetangga kita tersebut relatif kecil. Namun sesungguhnya, masalahnya menyangkut persebaran bukan jumlah semata-mata.

Ya, Bahasa Indonesia tergolong bahasa yang relatif mudah dapat dipelajari. Tata bahasa Bahasa Indonnesia juga sudah teratur. Sebagai bahasa aglutinasi (bahasa yang penyusunan kalimatnya dilakukan dengan melekatkan kata dengan kata), Bahasa Indonesia jauh lebih gampang dipelajari dibandingkan dengan bahasa infleksi (bahasa yang mengenal perubahan kata kerja).

Bahasa Indonesia memiliki cukup banyak perbendaharaan kata (sekitar 10 ribu) biarpun tidak sebanyak bahasa Inggris (yang mencapai 50 ribu), namun Bahasa Indonesia memiliki daya ungkap memadai untuk dipertimbangkan menjadi bahasa dunia. Perhatikan, misalnya, belakangan ini kita berhasil mengungkit dan memanfaatkan kata-kata seperti pembiaran, tersandera, cinta cenat-cenut secara kreatif.

Pada akhirnya, bahasa kawasan ikut menentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

JIKA tidak menjadi bahasa dunia, Bahasa Indonesia pantas menjadi bahasa kawasan Asia Tenggara. Dari sini Bahasa Indonesia dapat menyebar lebih luas melalui aktivitas perdagangan, perkuliahan mahasiswa ke kawasan Eropa dan Amerika Utara, atau migrasi. Faktor persebaran ini patut diusahakan pula melalui fasilitas teknologi komunkasi modern sehingga tidak perlu selalu mengandalkan perpindahan komunitas.

Bahasa internasional kedua yang akan menjadi komplemen terhadap bahasa Inggris seyogianya bahasa aglutinasi yang pada prinsipnya memang lebih mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa infleksi. Bahasa Indonesia memenuhi kriteria ini dan kebetulan menggunakan huruf Latin pula yang telah dikenal luas. Bahasa Mandarin cukup banyak penuturnya namun menggunakan huruf kanji yang relatif asing bagi banyak orang dan sangat bergantung kepada intonasi yang juga sulit dipelajari artikulasinya.

Sampai saat ini Bahasa Indonesia sanggup mengakomodasi kata-kata yang sebagian besar berasal dari perkembangan ilmu pengetahuuan walaupun bukan menjadi bahasa pelopornya. Tiap kata bahasa Inggris dapat dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia sampai sekurang-kurangnya dilakukan aliheja.

Dibandingkan dengan bahasa Thailand atau Tagalog (Filipina), jelas, Bahasa Indonesia masih lebih berpeluang menjadi bahasa kawasan Asia Tenggara, sebuah entitas yang keberadaannya telah cukup lama terbentuk. Bahasa Indonesia pun sudah menjadi bahasa kedua di Australia, negara yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kawasan Asean.

Sesi ketiga, Agus R. Sardjono mempertanyakan, bisakah bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia? Tentu pertama-tama harus dirumuskan dahulu apa pengertian menjadi bahasa dunia tersebut. Apakah ia bermakna sebuah bahasa yang digunakan banyak orang di berbagai belahan dunia? Apakah ia merupakan bahasa lingua franca dalam pergaulan dunia? Atau, menjadi bahasa dunia dimaksudkan sebagai bahasa yang berwibawa dan mengundang banyak peminat di berbagai belahan dunia untuk mempelajarinya dan bahkan menggunakannya?

Dilihat dari jumlah pengguna, selain bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Spanyol, dan bahasa Arab, bahasa Indonesia/Melayu boleh dibilang cukup besar jumlah penggunanya.

Sebagai lingua franca dalam pergaulan dunia, mungkin bahasa Inggris yang sejauh ini paling menonjol, sesudah itu boleh jadi bahasa Spanyol.

Sementara itu, bahasa yang berwibawa jumlahnya lebih banyak. Bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Jerman, untuk menyebut beberapa, merupakan bahasa yang berwibawa karena nyaris mustahil mendapat akses pada khasanah filsafat, sastra, dan sains tanpa mengindahkan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Jepang dan Cina akan segera menyusul wibawa ketiga bahasa tersebut.

Bahasa Indonesia pernah mencicipi sedikit posisi sebagai bahasa yang diminati, meski belum sampai berwibawa. Namun, kini posisi itu boleh dibilang nyaris musnah. Jurusan Kajian Indonesia dan Bahasa Indonesia di Eropa dan Amerika makin mengecil saja. Sebagian besar terancam tutup; sementara Jurusan Kajian China dan Bahasa Cina kini makin membesar dan menduduki posisi penting di berbagai kampus besar di Eropa dan Amerika Serikat. Lebih dari itu, beberapa Jurusan Kajian Indonesia dan bahasa Indonesia yang makin mengecil itu bahkan telah “diduduki” oleh “bahasa Malaysia”.

Ada berbagai sebab untuk kondisi ini. Sebab terbesar posisi Indonesia di dunia makin mengecil dan makin tidak penting. Pascakrisis ekonomi yang disusul krisis politik dan lahirnya apa yang disebut sebagai reformasi, posisi Indonesia makin terpuruk baik secara ekonomi maupun politik. Ramalan Indonesia akan menjadi macan asia pada kenyataannya sekedar menjadi macan kertas. Bukan hanya peran Indonesia di dunia makin tidak berarti, peran Indonesia di lingkungan Asean saja sudah tidak begitu diindahkan. Singapura dan Malaysia menduduki peran yang lebih besar dan terus-menerus mencoba meyakinkan dunia bahwa mereka berperan besar, lepas dari dunia mengakuinya atau tidak.

Penyebab lain, sikap pemerintah Indonesia terhadap lembaga-lembaga akademis pengkaji Indonesia. Ada suatu masa para Indonesianis mengalami pencekalan untuk datang ke Indonesia. Ben Rog Anderson, misalnya, dengan getun terpaksa mengalihkan arah kajian ke Filipina dan Thailand karena nyaris mustahil bagi seorang ilmuwan serius untuk dapat terus-menerus menyegarkan bidang kajian, jika dilarang datang ke negeri yang dikaji. Tentu kenyataan bahwa ada perbedaan besar antara Jurusan Kajian Indonesia di berbagai universitas di Eropa dan Amerika Serikat dengan Jurusan Kajian Amerika atau Kajian Eropa di Indonesia. Nyaris semua kajian Indonesia merupakan tempat para ilmuwan melakukan kajian kritis atas kawasan yang dikaji; sementara di Indonesia yang terjadi sebaliknya: kajian kawasan (Amerika atau Eropa) memandang kawasan yang dikaji sebagai idola dan memposisikan diri mereka sebagai groupies. “Saya tidak akan membahas urusan ini lebih jauh, karena bukan tema utama yang kita bicarakan,” tandas Agus R. Sardjono mantap.

Selepas reformasi, sikap ini tidak pernah diubah. Belum ada upaya signifikan untuk mambangun hubungan yang lebih harmonis dengan lembaga-lembaga pengkaji Indonesia di berbagai manca negara. Sementara Malaysia, dengan murah hati mengirimkan buku-buku terbitan mereka untuk melengkapi perpustakaan-perpustakaan kampus yang memiliki kajian Indonesia.

Bahasa dari suatu bangsa yang posisinya di dunia tidak meyakinkan baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan tentu tidak menarik perhatian orang untuk mempelajarinya. Bahasa Yunani pernah menduduki posisi penting karena ketinggian khasanah filsafat dan sastra. Namun, setelah nyaris semua khasanah pemikiran Yunani diterjemahkan, tak banyak yang memandang perlu untuk mempelajari lagi bahasa ini. Apalagi masyarakat Yunani yang kini menjadi bangsa termiskin di Eropa itu, tampaknya tidak menjadikan khasanah sastra dan pemikiran mereka yang gemilang di masa silam sebagai sesuatu yang hidup dan mereka hidupi untuk menghasilkan sumbangan baru bagi khasanah pemikiran dunia.

Semua itu, hal-hal di luar bahasa. Jika ditilik dari kondisi internal bahasa itu sendiri, bahasa Indonesia memiliki cukup banyak masalah untuk menjadi bahasa dunia. Pertama-tama tentulah Kamus Bahasa Indonesia. Kamus bahasa Indonesia, bukan hanya tipis, melainkan juga labil. Ketipisan kamus bahasa Indonesia menunjukkan miskinnya kosa-kata dalam bahasa Indonesia. Celakanya, kamus yang tipis dan miskin itu labil pula. Kamus yang tipis mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, kamus yang labil hampir tak termaafkan dan membuat frustasi bangsa Asing yang ingin menguasai bahasa Indonesia.

Sebuah kamus diharapkan menjadi dermaga yang kokoh bagi kapal bahasa, atau landasan yang kokoh bagis pesawat bahasa. Ada kecenderungan dalam perkamusan bahasa Indonesia untuk justru mengacak-acak dan mengodal-adil (kata ini tidak ada dalam kamus yang tipis itu) kosa kata yang hidup dan ada dimasyarakat, bukannya memperkaya dan memantapkan kamus yang ada. Sebgaian besar kosa kata Indonesia, ejaan dan bentukan katanya banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab dan Belanda. Kini, ada kecenderungan untuk menerapkan kaidah bahasa Inggris. Maka, perubahan demi perubahan cenderung dilakukan dalam rangka “menginggriskan” bahasa Indonesia. Suatu kata, yang sebelumnya ada di kamus diperbaharui dan diganti cara penulisannya, atau bahkan maknanya.

Kata “bergeming”, misalnya, pernah dimaknai sebagai “bergeser sedikit”. Maka dalam kalimat “Meski mendapat berbagai ancaman, dia tetap tidak bergeming” kata tidak bergeming bermakna, tidak bergeser sedikitpun. Kini kata bergeming memiliki makna yang sepadan dengan kata nagen dalam bahasa Sunda, sehingga kalimat di atas akan ditulis menjadi “Meski mendapat berbagai ancaman, dia tetap bergeming”. Tidak begitu jelas, apakah ber di sana merupakan imbuhan bagi “geming” atau kesatuan kata dengan “geming” sehingga menjadi kata utuh “bergeming”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terpampang semacam ini:

ge·ming Jk, ber·ge·ming = tidak bergerak sedikit juga; diam saja;
ter·ge·ming = terdiam

Kata “geming” nyata tidak ada penjelasannya, yang ada artinya adalah kata “bergeming.  Namun, kehadiran “tergeming” yang diartikan “terdiam” ada di sana. Kita menduga geming = diam. Jika demikian, apakah bergeming = berdiam? Jika “geming” = “nagen” (Sunda); “bergeming” = “bernagen?”

Ini salah satu contoh saja. Masih ada sejumlah cukup meyakinkan kata yang maknanya berbeda-beda antara makna yang dikenal serta digunakan masyarakat dengan makna yang ditetapkan di kamus. Kata “dukana”, misalnya, bagi sebagian masyarakat bermakna kata sifat dari kata “duka”. Dalam KBBI dukana diartikan sebagai berikut:

du·ka·na n kuat syahwat; nafsu berahi: menyimpan wanita untuk pemuas nafsu — termasuk dosa besa

Seorang penutur asing benar-benar sebatang kara dalam berhadapan dengan bahasa Indonesia karena tak ada yang dapat dipegang. Seorang penerjemah yang dengan sungguh-sungguh menjadikan KBBI sebagai pegangan akan menghasilkan teks terjemahan yang maknanya jauh dari teks yang ia terjemahkan. Jika demikian, kepada siapa ia harus menggantungkan dirinya di medan bahasa Indonesia?

Agus R. Sardjono mengurai ketaksaan bahasa Indonesia seperti berikut ini.

Bahasa Indonesia ternyata adalah bahasa yang taksa alias penuh ambiguitas. Selain tidak adanya penunjuk waktu (tenses) bentukan kalimat dalam bahasa Indonesia bisa demikian liat dan lentur. Ini belum ditambah dengan hadirnya imbuhan yang benar-benar menentukan makna suatu kata.

Dalam karya sastra, ambiguitas bahasa Indonesia menguntungkan sekaligus mencelakakan. Ketaksaan tersebut menguntungkan jika bahasa Indonesia dikuasai dengan baik dan ketaksaan itu dimanfaatkan secara bijak. Namun, seringkali ketaksaan tersebut tidak dikenali dengan baik, dan para sastrawan –khususnya penyair— makin mengambiguitaskannya sedemikian rupa. Di sisi lain, kerap bahasa Indonesia tidak benar-benar dikuasai, baik kaidah kebahasaannya maupun logika berbahasa.

“Saya kutip beberapa larik sajak dari beberapa penyair terkenal Indonesia,” tegas Agus R. Sardjono.

  • Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama didambakan, meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana.
  • *
  • Kelak bila kuputuskan tali yang telah mengikat tubuh dan usiaku.
  • *
  • Ubun-ubunku di tancapkan mantra. Kepalaku ditaburi beragam bunga. … Tubuhku dililitkan kain-kain kuno

Jika penyair yang medianya adalah bahasa saja sudah sedemikian rupa penguasaan bahasanya maka dapat dibayangkan bagaimana yang bukan penyair.

Salah satu cara tercepat dalam mendewasakan sebuah bahasa menurut Agus R. Sardjono adalah dengan menerjemahkan.  Dalam kerja penerjemahan yang sungguh-sungguh, sebuah bahasa akan diuji  sampai batas terjauh oleh bahasa yang diterjemahkan. Semua bahasa mengalami peningkatan signifikan lewat penerjemahan. Bahasa Jerman modern dihasilkan lewat upaya Martin Luther menerjemahkan Alkitab. Bahasa Arab mengalami peningkatan saat menerjemahkan berbagai karya filsafat Yunani dan India; bahasa Latin mengalami peningkatan saat digunakan menerjemahkan karya filsafat Yunani dari bahasa Arab (selain karya Sains dan filsafat para pemikir Arab); demikian seterusnya.

Upaya penerjemahan yang sungguh-sungguh dari berbagai karya besar dalam peradaban dunia ke dalam bahasa Indonesia tidak pernah dilakukan semasif dan seterencana Jepang pada saat restorasi Meiji. Saat menerjemahkan karya-karya filsafat dan sains, ketaksaan bahasa Indonesia akan diuji dan ditertibkan dan bahasa Indonesia akan didorong serta ditingkatkan melintasi batas-batas yang tersedia dalam bahasa Indonesia itu sendiri.

Pada akhirnya, kata Agus R. Sardjono, sebuah bahasa menjadi berharga atau tidak ditentukan juga oleh apa yang dihasilkan masyarakat pengguna bahasa dalam bahasa bersangkutan. Dalam bidang sastra, bahasa Indonesia sudah menunjukkan hasil yang lumayan. Dalam usia yang pendek, telah lahir karya-karya sastra yang meyakinkan dari tangan Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Idrus, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Umar Kayam, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri dan lain-lain. Sejauh ini belum ada penerjemahan yang meyakinkan dari karya-karya sastra terkemuka Indonesia ke dalam bahasa asing, apalagi karya-karya klasik dari Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Haji Hasan Mustapa, Ronggowarsito, Aisyah Sulaiman, dan lain-lain.

Hasil sastra tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan karya-karya filsafat dan sains. Buku-buku yang ditulis oleh ilmuwan Indonesia di berbagai bidang sains dapat dihitung dengan jari. Karya filsafat? Hampir tidak ada. Dengan semua itu, nyaris tak ada alasan bagi bangsa lain untuk belajar bahasa Indonesia.

Upaya penting yang patut dilakukan pertama-tama adalah menguasai dengan baik dan benar bahasa Indonesia dan menyelaraskannya dengan kemampuan berfikir secara logis dan teratur. Jika bahasa Indonesia telah digunakan dan mampu membuat para penggunanya mengemukakan pikiran secara teratur dan logis, maka sebuah langkah besar telah diayunkan hingga memungkinkan bangsa Indonesia bertindak secara logis pula. Dengan itu, yakni dengan mampu berpikir logis dan teratur serta mengemukakannya secara lisan –terutama secara tertulis— dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka perlahan-lahan bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang kokoh berkat karya-karya tulis di bidang sains, sastra, dan filsafat.

Bahasa yang dikuasai dengan baik oleh masyarakat pendukungnya dan mampu membuat pengguna bahasa tersebut berfikir teratur dan logis akan menghantarkan masyarakat bahasa itu hidup secara cukup logis dan cukup teratur (tentu ini penyederhanaan, namun Lao Tse sekurang-kurangnya penah mengemukakan bahwa untuk memperbaiki suatu masyarakat, perbaiki bahasanya).

Jika bangsa Indonesia dan negara Indonesia menjadi negara yang patut dan berperan penting dalam kehidupan dunia, baik di bidang ekonomi, politik, budaya, sains, dan teknologi, maka dengan sendirinya bahasa dari bangsa yang patut itu akan patut menjadi bahasa dunia yang dipelajari dan bahkan digunakan dalam pergaulan dunia.

Tentu, potensi itu ada. Negara Indonesia saja memiliki potensi sangat besar untuk menjadi negara besar dan disegani dunia. Namun, potensi tidak dengan sendirinya melahirkan kenyataan. Segala sesuatu dimulai dengan pikiran. Negara yang berpikir urusan-urusan kecil mustahil menjadi negara besar. Bahasa yang sibuk dengan urusan-urusan kecil, juga mustahil menjadi bahasa besar. Bahasa Indonesia dilihat dari jumlah pemakainya sangat berpeluang menjadi bahasa dunia . Namun, jika berbagai kondisi yang dikemukakan di atas tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, maka jangankan menjadi bahasa dunia, menjadi bahasa bagi orang Indonesia pun boleh jadi makin lama akan makin ditinggalkan.***

Make a Comment

Tinggalkan komentar

6 Tanggapan to “Bahasa Indonesia yang Menginternasional”

RSS Feed for Forum Inovatif Pekerja Media Comments RSS Feed

di beberapa universitas luar yang memiliki jurusan kebudayaan pasti mereka mempelajari bahasa indonesia, apa lagi jika mereka akan mengadakan penelitian di Indonesia, contohnya aja di australia.

[…] Australia misalnya, sangat serius dengan mata ajar ini. Di negara-negara Islam, ada usulan agar bahasa Indonesia dijadikan bahasa Internasional di samping bahasa Arab. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia di beberapa negara Timur Tengah […]

wah mantap infonya gan..
klo bhs Indonesia jd bhs Internasional, bangga jga saya sbgai orang Indonesia

belajar bahasa indonesia harus tulus jgn unsur politik,,

Berbahasa yang baik dan benar saya mulai dari diri saya sendiri pada saat bertutur kata dan mengirim pesan ataupun status di halaman web. اِنْ شَآءَ اللّهُ bahasa Indonesia menjadi yang dipakai di Asia Tenggara dan di Asia bahakan seluruh dunia. Amiiin y Allah. O y waktu saya ke malaysia, orang malaysia cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya, baik itu teman, pelayan india di rumah makan bahkan dokter dan perawat. Kalau saya justru tetap B.Indonesia cuma kadang berusaha akrab saja makanya cakap melayu sesekali. saya perhatikan saya dan lingkungan saya bahkan ibu bapak saya kalau berbicara dengan orang malaysia justru menggunakan B.Indonesia dengan baiks dan benar. Jadi bahasa prokem atau daerah, kami loghat melayu kepri dan johor karna saya di pulau Batam, hanya digunakan oleh lingkungan dimana kita merasa akrab dan sudah terbiasa saja.


Where's The Comment Form?

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...