Archive for Maret 14th, 2007

Pengajaran Sastra Lama di Sekolah

Posted on 14 Maret 2007. Filed under: Makalah |

Pengantar
Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia mengundang perhatian ahli bahasa dan sastra, praktisi pembuat buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, guru SD, SMP, SMU yang tinggi. Entusiasme peserta pun tampak dari lalu-lintas tanya jawab yang aktif, mulai Senin 22/1 hingga Selasa 23/1, pukul 9.00-15.50. Oleh karena itu, saya sampaikan makalah Syahrial, M.Hum yang kebagian sesi “Tentang Pengajaran Sastra Lama di Sekolah”. Silakan simak makalah lengkap berikut ini.

TENTANG PENGAJARAN SASTRA LAMA DI SEKOLAH:

BEBERAPA CATATAN[1]

 oleh

Syahrial, M.Hum[2]

Indonesia kaya dengan peninggalan tertulis dalam bentuk naskah. Hal ini amat berhubungan dengan tradisi tulis yang berkembang di banyak daerah karena masyarakat pendukungnya kebetulan memiliki aksara tersendiri. Kenyataan ini membuka peluang yang luas pada kita untuk memperkenalkan kearifan nenek moyang itu kepada para siswa agar mereka dapat memahami sekaligus mendapatkan manfaat dari naskah-naskah lama itu.  Dengan memperkenalkan Adat Raja-raja Melayu misalnya, kita akan mendapat latar belakang serta tata cara berbagai upacara yang berhubungan dengan daur hidup raja-raja Melayu. Demikian halnya dengan Tambo Minangkabau[3], sebuah karya sastra lama yang kaya sekali akan informasi mengenai budaya Minangkabau. Salah satu contoh mengenai hal ini adalah posisi paman yang kuat terhadap keponakannya. Tambo Minangkabau menjelaskan asal-usul mengenai hal itu. Di luar kedua cerita di atas, banyak cerita kita jumpai dengan tema kepahlawanan[4] dan percintaan[5]. Bahkan beberapa di antara telah dikenal luas oleh kita sekarang. 

Kita bersyukur peninggalan tertulis yang kaya itu masih ada sekarang dan dapat kita nikmati hingga hari ini. Hal ini bisa terjadi tentunya berkat rawatan yang baik oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian kepada naskah, baik itu yang dalam maupun berkedudukan di luar negeri. Namun demikian, sejauh manakah kita memberi pengetahuan dan memperkenalkan naskah-naskah itu kepada siswa kita?

            Tampaknya ada beberapa kendala dalam memperkenalkan cerita-cerita lama kepada peserta didik di tingkat SMU, apalagi SMP. Pertama, cerita dalam naskah-naskah itu ditulis dalam aksara Jawi atau aksara daerah lainnya. Dalam kenyatannya, sangat sedikit  siswa yang memahami aksara-aksara tersebut meskipun yang bersangkutan berasal dari daerah tempat aksara itu dikembangkan. Kedua, bahasa dalam cerita-cerita lama adalah ‘bahasa lama’ sehingga tidak menarik pembaca.[6] Ketiga, langkanya buku-buku terbitan yang mereproduksi naskah-naskah tadi untuk dijadikan bahan bacaan. Bacaan yang terbit dan sampai pada kita tampaknya terlalu berat bagi siswa-siwi karena biasanya buku-buku itu berasal dari telaah ilmiah seperti tesis dan disertasi. Memang kita tidak dapat menutup mata terhadap usaha Pusat Bahasa untuk menerbitkan transliterasi cerita-cerita lama dalam proyek penerbitan buku lembaga ini, namun hal itu dirasakan belum cukup karena faktor distribusi yang tidak merata serta  kemasannya yang sangat tidak menarik. Apabila kedua hal ini diatasi, terbuka kemungkinan guru atau sekolah untuk mendapatkan buku-buku tersebut secara lebih mudah untuk disajikan kepada siswa baik di dalam kelas maupun sebagai bahan bacaan penunjang. Keempat, kurikulum tidak memberikan peluang yang memadai bagi diajarkannya sastra lama kepada siswa. Kalaupun ada, hal itu harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Barangkali ada sebagian siswa kita yang tertarik secara khusus pada bidang bahasa dan sastra, namun jumlah mereka sedikit sehingga banyak sekolah yang tidak tidak membuka jurusan ini. Kelima, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah kita agaknya semakin mengarah pada usaha untuk menunjang kemampuan siswa untuk dapat lolos SPMB. Dengan demikian, fungsi sastra sebagai alat untuk memperhalus akal budi manusia menjadi terpinggirkan.

Terlepas dari beberapa masalah di atas, beberapa cara dapat ditempuh oleh kita untuk mengajak siswa-siswi kita berkenalan dengan sastra lama. Pertama, kita dapat memperkenalkan mereka pada cerita-cerita lama yang sudah amat dikenal, seperti Mahabharata, baik melalui versi cerita popolernya semisal Arjuna Mencari Cinta atau dalam versi yang lain. Melalui itu, tercipta kemungkinan untuk menjelaskan sejarah keberadaan cerita itu dan aktifitas masyarakat zaman dulu dalam melestarikan dalam bentuk naskah. Kedua, kearifan yang terkandung di dalam cerita-cerita lama harus pula dicangkokkan dalam pengajaran sastra modern. Hal ini dilakukan karena dalam kurikulum tidak ada ruang khusus untuk sastra lama sehingga harus diintegrasikan dengan pengajaran sastra modern. Yang perlu  ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan sastra modern merupakan kesinambungan dari sastra lama. Ketiga, kurikulum yang membuka peluang masuknya muatan lokal memungkinkan para guru untuk mengajak siswa berkenalan dengan cerita-cerita lama setempat. Dalam kasus Minangkabau, misalnya, para guru di Sumatera Barat dapat mengajak siswa mereka untuk membaca Tambo Minangkabau dan mendiskusikan isinya. Demkian pula dengan para guru di daerah-daerah lain. Keempat, guru dapat menugaskan siswa untuk ‘berkenalan’ dengan fisik sastra lama dengan berkunjung ke perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, museum, atau lembaga-lembaga lain yang memiliki koleksi naskah lama baik dalam bentuk kegiatan wisata maupun ekstrakurikuler lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan petugas lembaga-lembaga tersebut serta bimbingan para guru untuk memberi informasi mengenai pentingnya pelestarian naskah lama dan apa yang terjadi apabila benda peninggalan nenek moyang itu rusak dan musnah.

            Beberapa usulan di atas barangkali perlu didiskusikan lebih lanjut karena kondisi sekolah yang berbeda-beda dan perhatian guru yang kadang terpecah oleh hal-hal lain yang lebih menyita waktu dan tenaga.

Bahan Bacaan:

Djamaris, Edwar. 1991. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka  

Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.

Situmorang, T.D. dan A. Teeuw (ed.). 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit Jambatan 

[1] Disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 22—23 Januari 2007

[2] Pengajar filologi pada Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.

[3] Naskah ini telah dijadikan bahan disertasi oleh Edwar Djamaris dan telah pula diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1991.

[4] Contoh misalnya cerita-cerita yang bersumber pada dua cerita India Mahabharata dan Ramayana seperti  Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama. Kita juga menemukan cerita-cerita pengaruh Islam seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah.

[5] Lihat misalnya Cerita Panji yang muncul pada abad ke-14 di Jawa. Cerita yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Jawa tengahan ini berkembang luas dan ikut memperkaya kesusastraan  di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bali dan Melayu dan beberapa negara di Asia Tenggara. Dalam sastra Melayu lama satu   versi cerita ini muncul dalam bentuk syair berjudul Syair Ken Tambuhan. Syair ini sendiri berkisah tentang percintaan dua anak raja yang penuh lika-liku sebelum pada akhirnya mencapai kebahagiaan seperti yang mereka cita-citakan.

[6] Masalah ini pernah disinggung oleh Achadiati Ikram dalam “Sastra Lama sebagai Penunjang dalam Pengembangan Sastra Moderen”. Makalah ini diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1997 bersama dengan karangan Achadiati Ikram lainnya dalam sebuah buku berjudul Filologia Nusantara atas suntingan Titik Pudjiastuti dkk.

Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...