Resensi

Jamal Malik Menjadi Milliuner

Posted on 1 Februari 2009. Filed under: Resensi |

Personifikasi kesuksesan seseorang melalui nilai perjuangan berlangsung seumur-umur. Tak ‘kan pernah pejuang sejati berhenti berjuang jika belum berhasil meraih cita-citanya. Berjuang sama artinya dengan bertempur. Dalam perjuangan pantang untuk mundur sebelum memenangi pertempuran. Nilai perjuangan yang penuh sifat heroik dalam bentuknya yang mengikuti arus zaman, saat ini difilmkan oleh Danny Boyle, sutradara Inggris yang berjuluk “Slumdog Millionaire”.

Sang sutradara mengusung dua tema besar. Pertama, nilai perjuangan melalui kuis televisi “Siapa ingin Menjadi Milliuner” atau Who wants to be a millionaire. Kedua, nilai perjuangan meraih simpati sang kekasih yang penuh kisah romantisme.

Medium televisi di Tanah Air yang menyajikan kuis menjadi milliuner pernah menghebohkan masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Peringkat tertinggi pernah terjadi sebagai tolok ukur tayangan kuis di stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia atau RCTI bertajuk “Who wants to be a millionaire”. Host atau pemandu kuis ialah Tantowi Yahya. Dampak peringkat atau rating tertinggi ini membuat acara kuis berlangsung hingga tahunan.

Menurut cerita Bernita, salah seorang pengumpul bank soal atau naskah kuis RCTI, Tantowi selalu membaca dan menguji setiap soal yang masuk ke meja redaksi. Jika susunan kalimat dan kata atau istilah enggak cocok, bahkan cenderung salah, tak segan-segan soal yang dikuiskan pasti diganti. Kini acara kuis “Siapa ingin menjadi Milliuner” tak lagi tayang di RCTI.

Akan tetapi, gema acara kuis televisi kembali merebak. Siapa pernah menyangka kalau nilai perjuangan menjadi milliuner penuh onak dan duri. Dalam pembuatan soal kuis, nilai perjuangan menjadi nyata. Setiap soal hanya satu yang pasti benar. Oleh karena itu, pantaslah kalau Tantowi Yahya dalam suatu kesempatan pernah berpesan, hati-hati membuat soalnya. “Carilah referensi yang lengkap, cermat dan akurat,” pinta Tantowi Yahya.

Kurang elok jika nilai perjuangan yang divisualkan dalam gambar monoton saja sifatnya. Biasanya, seperti kebanyakan dunia selebritas, bumbu racikan penyedap terletak pada soal cinta, wanita, dan hasrat mewujudkan nilai cinta.

Mumbai, India sebagai sumber inspirasi tempat syuting berkisah romantisme perjuangan itu. Antara cinta dan perjuangan meraih cinta diwujudkan dengan personifikasi kesuksesan materi. Jamal Malik atau Dev Patel dan Latika atau Freida Pinto bermain dengan ekspresif bak pemain watak yang mumpuni.

Dikisahkan di kawasan padat penduduk, yang biasanya identik dengan pemukiman kumuh, yang bau amis, yang jorok, yang penuh dengan aksi kekerasan, dua sejoli berjuang untuk hidup layak. Visualisasi penumpang kereta api berjejalan, pengemis yang bertebaran di pelosok kota, kamar mandi dengan gedek kayu, dan warga yang bermabuk-mabukan menjadi pemicu kekerasan. Kekerasan demi kekerasan  memisahkan dua sejoli yang saling berdekatan dengan keadaan rusuh. Absurditas warga Ibu Kota di Mumbai, India dilambari dengan aksi sukuisme antara agama Hindu dan Islam. Bentrok dalam wujud amuk massa penuh kebencian dan kekerasan memisahkan dua sejoli.

Akan tetapi, sebelum perpisahan, ternyata dua sejoli saling mengikat janji kelak bertemu kembali. Jamal Malik mengikuti kuis televisi “Saya ingin Menjadi Milliuner”. Kebetulan acara kuis ini menjadi favorite Latika. Oleh karena itu, impian wajib diwujudkan agar kelak Latika mengetahui keberadaan Jamal melalui medium kuis televisi. Jamal si petugas kantor atau office boy berjuang mewujudkan harapan. Soal demi soal ia jawab dengan tepat. Satu per satu jawaban Jamal Malik mengakhiri kuis televisi pada sesi Jamal Malik berhak menjadi milliuner.

Slumdog Millionaire patut dan pantas mendapat tempat di hati penonton, khususnya warga Ibu Kota dan kota-kota besar di Tanah Air. Film berdurasi 104 menit ini sebagai cermin nyata hidup dan kehidupan kota besar. Penuh kekerasan, penuh kekejaman, penuh kebisingan. Kota yang tak pernah tidur lelap. Kota sejuta harapan bagi pemimpi yang mendamba hidup yang layak meski ingin lekas-lekas mewujudkan milliunernya sekalipun. ***

Read Full Post | Make a Comment ( 5 so far )

Memahami Konsep Dasar Perpustakaan Digital

Posted on 14 Februari 2008. Filed under: Resensi |

Pertentangan antara media elektronik dan media cetak begitu menyita waktu, tenaga dan biaya. Manakala pertentangan kerap muncul, ternyata muncul lagi pertentangan lain antara media cetak (koran, televisi, film) dan media portal (situs web). Akar masalah pertentangan muncul manakala sistem lama bergeser ke sistem baru, tatanan lama berubah total ke tatanan baru. Model lama berganti menjadi model baru. Yang lama usang yang baru begitu merangsang. Rangsangan ini melingkupi juga tatkala perpustakaan model lama mencoba masuk ke model perpustakaan digital. Ramai-ramai orang mau peduli bahwa perpustakaan digital mampu menyelesaikan banyak masalah, entah bagi pustakawan entah bagi pengakses awam. Sejauhmana jawaban kemudahan akses atas perpustakaan digital yang cocok dengan keadaan perpustakaan nasional, Putu Laxman Pendit menjabarkan lengkap dalam peluncuran buku barunya. 

Membaca digital yang berkembang saat ini, disandingkan dengan membaca melalui kertas sebagai bahan dasar tetap tak dapat lenyap begitu saja, demikian Blasius Sudarsono, pembicara pada peluncuran buku Perpustakaan Digital, Kamis 14/2 di Perpustakaan Nasional RI. “Saya tertarik membaca dengan kertas,” ujar Blasius Sudarsono seraya mempertanyakan kenapa ia tertarik. “Saya lebih lama berkecimpung di perpustakaan.”

clip_image002Menurut Blasius Sudarsono, Pustakawan Utama Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, buku “Perpustakaan Digital” karya Putu clip_image004Laxman Pendit, 49 tahun, lebih tepat sebagai Hadiah Valentine. Selain itu, katanya, buku ini menjelaskan perpustakaan digital yang mendasar. Memahami pengetahuan tentang perpustakaan digital. Di Indonesia, perpustakaan Indonesia bermula pada 1971. Oleh karena itu, buku ini memahami hal-hal mendasar. Namun, sayang belum ada indeks. Akan tetapi, Putu kata Blasius ibarat ‘menyemen benih pohon pengetahuan’. Bagaimana perkembangannya, itulah yang mesti diteruskan kepada Putu, demikian Blasius Sudarsono mengurai pandangannya sebagai pembicara seraya menutup dengan dua pertanyaan. Pertama, berkenankah Saudara Putu meningkatkan perpustakaan digital itu? Kedua, maukah kita pustakawan Indonesia meneruskan?

Putu Laxman Pendit dilahirkan di Jakarta, 3 September 1959. Ia penulis buku ini, seorang peneliti, mantan dosen Sekolah Tinggi Publisistik (kini Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta), penulis bidang informasi dan perpustakaan. Ia menyampaikan terima kasih kepada Perpustakaan Nasional, seraya menanggapi Blasius Sudarsono bahwa ia tidak sengaja kenapa memilih tanggal empat belas yang bertepatan dengan Hari Valentine. “Saya malah lupa hari ini Valentine,” ujar peraih gelar doktor filsafat dari RMIT University di Melbourne Australia pada tahun 2000. Menurut Putu, buku ini selesai dicetak tadi malam (Rabu 13/2/08). Oleh karena itu, ada beberapa halangan, seperti ketika saya pindahkan judul di komputer, malah error.

Buku Perpustakaan Digital diperuntukkan untuk teman-teman pustakawan dan menambah kepustakaan Indonesia. Pada umumnya masyarakat Indonesia kalau mendengar kata perpustakaan persepsinya selalu abu-abu dan gelap. Namun, baru ditambah kata digital menjadi Perpustakaan Digital, ternyata seperti mendapat perintah mirip Bandung Bondowoso. Tiba-tiba harus selesai semalam, kata Putu yang meraih gelar Master of Arts dari Loughborough University of Technology di Inggris pada 1988. Ia menggarisbawahi kegamangan pada sebagian besar orang pada konsep-konsep dasar pada kata “perpustakaan”.

Istilah Perpustakaan Digital bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Mendadak muncul di tengah-tengah kita. Ada hal-hal baru. Buku ini dapat dibaca cepat dari A sampai Z. Memang seharusnya dilengkapi indeks. “Ada indeks tapi tidak tercetak,” tukas dosen jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (1989—2005). Ia menggambarkan proses pencetakannya hanya semalam diselesaikan. “Saya minta maaf,” ujar Kepala Laboratorium Komputer Sastra (1990) yang menjanjikan bahwa indeks akan disampaikan secara online yang dapat diunduh (download).

Buku ini menyambut Konferensi Pertemuan Organisasi-Organisasi yang mumpuni di bidang digital. Pertemuan yang lebih besar, menurut Joko Santoso, moderator berlangsung sekitar Mei atau Juni 2008 yang berkaitan dengan Perpustakaan Digital. “Ini kesempatan kita bahwa perhatian dunia kepada Indonesia begitu tinggi,” kata Putu Laxman Pendit, Kepala Pusat Komputer dan Pengolahan Data Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1993).

Buku ini memerlukan masa eksperimen sepuluh tahun. Konseptual Perpustakaan Digital, kata Putu Laxman Pendit memiliki kecerdasan sosial (cerdas bersama-sama), kebebasan atau kemerdekaan informasi, hak asasi dan demokrasi (tidak boleh ada yang terhalangi untuk mempunyai pengetahuan yang berbasis pada etos atau humanistic ethos), kehormatan dan kebersamaan.

clip_image006Putu Laxman Pendit menyampaikan pesan bahwa perpustakaan digital memiliki anggota. Ada sebuah infrastruktur. Basis. Masih menjadi, masih being. Yang terpenting, katanya, perpustakaan digital menghimpun pengetahuan untuk kepentingan bersama. Benih perpustakaan digital ini berlangsung pada 1900-an dari universitas. “Adalah percuma membangun perpustakaan digital tanpa mengetahui konsep dasar,” tegas Putu konsultan untuk pengembangan sistem informasi di Pusat Layanan Informasi, Dewan Perwakilan Rakyat, RI.

Bedah buku dan peluncuran “Perpustakaan Digital: Dari A sampai Z” di Auditorium Perpustakaan Nasional RI Jalan Salemba Raya Nomor 28A Jakarta Pusat berlangsung pukul 9.00—11.00 WIB. Bertindak sebagai moderator, Joko Santoso, Kepala Subbidang Otomasi, Perpustakaan Nasional RI. Hadir pustakawan, profesional teknologi informatika, dan pemerhati masalah perpustakaan yang mencapai seratus orang. Ukuran buku 17,5 x 26 cm, v + 308 halaman dengan harga promo delapan puluh ribu rupiah.***

Read Full Post | Make a Comment ( 7 so far )

Mengenal Korea Melalui 12 Cerpen

Posted on 18 Januari 2008. Filed under: Resensi |

Kecenderungan karya sastra negeri Ginseng kian berterima di Tanah Air. Serbaneka karya sastra Korea ternyata sudah merambah ke negeri gemah ripah loh jinawi. Oleh karena itu, masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia semakin mengenal Korea melalui karya sastra. Peluncuran buku “Laut dan Kupu-Kupu: Kumpulan Cerpen Korea” menunjukkan kehadiran 12 cerpen negeri Ginseng yang penulisannya mirip dengan perilaku dan budaya di Republik Indonesia. Adakah nilai-nilai prinsip yang berbeda dengan karya sastra Indonesia?

Teknis terjemahan dua belas cerita pendek atau cerpen Korea, menurut Profesor Doktor Koh Young Hun (penerjemah), sangat sedikit perkembangan spiritual yang jujur ada di dalam karya sastra pada umumnya. “Bacalah cerpen Korea ini, ada perkembangan spiritual yang sangat menarik. Semua berkecamuk. Itu yang membedakan dengan karya sastra lain. Di industri populer hal ini tidak ada,” kata Pak Koh, panggilan akrab pengajar di Departemen of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

Mengenal Korea Melalui Karya Sastra Senada dengan pendapat Prof. Koh, rekan penerjemah yang lain Tommy Christommy, 49 tahun, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Associate Professor Hankuk University of Foreign Studies, Seoul menambahkan, karya sastra Korea, penulisnya lebih jujur. Orang tua boleh didebat, misalnya. Oase kejujuran ini terjadi di tengah-tengah masyarakat Korea masuk dalam negara ketujuh besar sebagai negara yang patut diperhitungkan. “Kalau marah harus marah, terekspresi dengan jelas,” ujar peraih Ph.D. dalam kajian wilayah Asia Tenggara dari Australian National University, Kanbera.

Peluncuran cerita pendek Korea “Laut dan Kupu-Kupu: Kumpulan Cerpen Korea” (370 + xix halaman) di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 17/1 ini mengungkap dengan lebih jelas sosok Korea dalam serbaneka kehidupan melalui kedua belas cerpen pilihan. Diterjemahkan oleh Koh Young Hun dan Tommy Christomy. Kedua belas cerpen ini mewakili mulai dari perjalanan cerpen Korea sejak perang Korea 1950, zaman industrialisasi, gerakan rakyat nasionalis, hingga imajinasi baru abad ke-21.

Laut dan Kupu-Kupu Maman S. Mahayana, 51 tahun, penulis Kata Pengantar yang bertindak sebagai moderator bedah buku, bahwa kesan terjemahan pada buku ini tidak terasa. Detail pengarang kuat sekali. Pembaca bisa memahami gambaran pegunungan, bukit, meski tempat itu belum pernah dikunjungi. Latar belakangnya kuat. “Ini menjadi inspirasi tokoh agar jangan meninggalkan ketokohannya,” ujar pengamat sastra ini.

Embrio terjemahan menurut Prof. Koh bermula dari ajakan STA (Sutan Takdir Alisyahbana). Waktu itu, 20 tahun yang lalu, di ruang direktur Unas Jakarta, STA meminta tolong terjemahkan karya Korea untuk negara Indonesia. Suruhan ini tidak bisa segera terlaksana. “Saya malas,” ujar pengajar bahasa Korea di Universitas Nasional, Jakarta (1988–1900). Ia menambahkan, apalagi di kalangan akademisi Korea pada umumnya dosen lebih senang membuat makalah. “Menerjemahkan buku tidak bisa naik pangkat. Menerjemahkan itu kerja yang membosankan.”

Menurut Prof. Koh, budaya priyayi ada juga di Korea. Itu sebenarnya kesamaan Korea dengan Indonesia. Pertukaran budaya, walau tak memuaskan juga ada. Selain itu, kalau di Korea tidak begitu banyak majalah sastra, meski ada Dewan Bahasa dan Sastra Korea dan setiap tahun diadakan pemberian hadiah sastra. Peraih gelar doktor dalam bidang sastra Indonesia dari University of Malaya, Kuala Lumpur dengan tesis berjuluk “Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-Novel Mutakhirnya” ini berharap, mudah-mudahan lebih banyak sastrawan Indonesia diundang ke Korea.

kumpulan cerpen Korea

Pilihan kedua belas cerpen yang dibukukan ini bermula dari kunjungan sepuluh orang yang melawat ke Indonesia dan mengadakan simposium di Universitas Indonesia, kata Prof. Koh. “Penerbitan buku ini tepat waktu karena film-film Korea dan kesenian tradisional Korea mulai aktif diperkenalkan.” Buku terjemahan selesai selama satu tahun. Bertindak sebagai editor, Hamsad Rangkuti (sastrawan).

Peluncuran dan bedah buku ini menjadi semarak dengan pementasan salah satu cerpen. “Kerja, Nasi, Kebebasan” karya Kim Nam Il sebagai karya sastra gerakan rakyat nasionalis Korea pada 1980-an diterjemahkan dalam bentuk gerak. Persiapan pementasan memakan waktu satu minggu. “Meski sutradara sempat tidak mau mementaskan, tapi saya ancam dengan berbagai cara, akhirnya tampil seperti sekarang ini,” komentar Maman S. Mahayana. Berikut ini konsep garapan yang mendramatisasikan pementasan cerpen Korea itu.

PEMENTASAN CERPEN KOREA KERJA, NASI, KEBEBASAN KARYA KIM NAM IL
OLEH SANGGAR SENI OBOR SAKTI BOGOR BEKERJA SAMA DENGAN
LABORATORIUM KESENIAN FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PAKUAN
Sutradara: Atang Supriatna
Para Pemain: (1) Bram, (2) Indri Prasetyanti, (3) Jamal Gentayangan, (4) Ulis lyok, (5) Khampheng

Konsep Garapan
Cerpen “Kerja, Nasi, Kebebssan” karya Kim Nam Il menceritakan sebuah masyarakat kelas pekerja yang seperti tidak dapat melepaskan diri dari belenggu rutinitas sistem kerja. Semacam potret sosial ketika masyarakat Korea terjerat oleh situasi global. Di sana, paradigma komunikasi yang harusnya membangun hubungan lebih akrab, justru terjadi sebaliknya. Komunikasi elektronik pada kenyataannya, miskin pesan karena esensi komunikasi manusia adalah bahasa tubuh.

Begitulah, saya memilih menggarap cerpen itu untuk pementasan ini, dibandingkan cerpen lain yang tampak lebih kontemplatif. Alasan lainnya adalah adanya kekhawatiran saya kehilangan sublimitasnya mengingat proses garap yang sangat pendek.

Bagaimana tema cerpen itu diterjemahkan sebagai pementasan yang menekankan bahasa gerak dan terikat oleh ruang? Sebagai karya terjemahan, cerpen itu telah mengalami sedikitnya tiga tahap penafsiran: (1) tafsir pembaca teks dalam bahasa pertama, (2) tafsir penerjemah, (3) tafsir pembaca teks terjemahan. Sebagai pembaca karya terjemahan, secara keseluruhan, saya tak menghadapi persoalan serius memahami antologi cerpen ini mengingat terjemahannya yang sangat baik. Jadi, meskipun saya tidak dapat menangkap rasa bahasanya (bahasa Korea), saya masih menemukan kekuatan rasa estetiknya yang begitu menekan, sehingga memberi impresi yang kuat yang sekaligus menimbulkan kegairahan daya ungkap.

Masalahnya ternyata tidak berhenti sampai di sana. Masalah laim terjadi ketika pemahaman saya itu harus diterjemahkan kembali dalam bentuk pementasan. Saya harus mempertimbangkan aspek lain berkenaan dengan segala perangkat pementasan. Di situlah tafsir berikutnya terjadi. Penari, aktor, dan pemusik coba menafsirkan cerpen itu sesuai dengan kapasitasnya. Maka, setain tampak adanya semacam keliaran imajinatif, juga ada ruang kebebasan tafsir yang kemudian menjelma gerak ekspresif dan bunyi. Oleh karena itu, dalam garapan ini, eksplorasi isi lebih dominan dibandingkan eksplorasi bentuk.

12 Cerpen Korea Pada akhirnya, saya menyadari bahwa setiap kreativitas menuntut adanya berbagai kebaruan daya ungkap. Bagaimanapun juga, karya seni berada dalam posisi sangat personal yang mencerminkan elan vital yang menjadi jiwa karya yang bersangkutan. Jadi, dalam pementasan ini, saya coba tetap setia pada elan vital itu.

Selamat menikmati!
Bogor, 16 Januari 2008
Atang Supriatna

Read Full Post | Make a Comment ( 7 so far )

« Entri Sebelumnya

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...