Blogstop

Seminar Nasional Teknologi Cetak dan Media Kreatif Inovasi Media Kreatif dalam Revolusi Industri 4.0

Posted on 12 Agustus 2019. Filed under: Blogstop |

Transformasi sistem revolusi industri 4.0 mempengaruhi esensi pengalaman kemanusiaan, kata Dudi Amrullah dalam Seminar Nasional Teknologi Cetak dan Media Kreatif di Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta (25/7/19). “Dalam industri media cetak kemasan, esensi kemanusiaannya, tidak ada yang dapat mengetahui, waktu yang pas sebagai ucapan selamat tinggal terakhir,” tambah pemakalah utama bertajuk “Inovasi dalam Industri 4.0”.

Dudi mengilustrasikan masa jaya Coca-cola Indonesia berlangsung enam tahun (1997-2003), Coca-cola Amatil lima tahun (2003-2008), namun Danone Aqua sejak 2008 tetap berkembang membuat diversifikasi usaha bernama Vit sampai sekarang. “Di dunia baru itu bukan ikan besar yang memakan ikan kecil, melainkan ikan cepat yang memakan ikan lambat,” tegas Dudi mengutip Klaus Schwab seraya menggambarkan industri 4.0 berawal pada akhir abad ke-18 berupa mekanisasi, tenaga air, tenaga uap. Revolusi industri kedua pada produksi massal, assembly line, listrik. Ketiga mulai abad ke-20 melalui komputer dan otomatisasi, hingga revolusi keempat saat ini melalui sistem siber.
Dampak industri 4.0 dalam kehidupan di Tanah Air tampak pada efisiensi dan efektivitas produksi, pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial, energi, makanan, keamanan dan pertanian, pendidikan, gender dan pekerjaan, lingkungan dan sumber daya alam, mobilitas, sistem keuangan dan moneter, informasi dan hiburan, layanan kesehatan, perdagangan dan investasi internasional, dan konsumsi.

Dinamika kompetisi pemasaran saat ini tampak pada munculnya usaha rintisan Tokopedia, Blibli, Alfa dan Indomaret, Zalora, Gojek. “Semua aktivitas perdagangan rintisan bagi generasi milenial menjadi mudah melalui pesanan dan jasa pengiriman online,” tambah Dudi yang mengurai digital ages dengan menambahkan masing-masing orang muda bersosialisasi di jejaring sosial sejak tahun 2000 sampai sekarang, “Indonesia memiliki populasi terbesar kedua di Facebook.”

Dalam menutup sesi pembicara utama yang menginspirasi dan memotivasi, Dudi menggarisbawahi, kompetisi pemasaran industri cetak kemasan itu bukan yang terkuat yang bertahan hidup, tidak juga yang paling cerdas, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.

Sementara itu, industri dengan pertumbuhan tinggi (2018) menurut Edi Siswanto, terletak pada industri mesin dan perlengkapan (9,49%), industri kulit dan alas kaki (9,42%), industri logam dasar (8,99%), industri tekstil dan produk tekstil (8,73%), industri makanan dan minuman (7,91%).

Sejak 2003 negara-negara dengan standar pengemasan modern, seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Korea dan China memiliki tujuan ekspor usaha produk makanan Indonesia. Klinik pengembangan desain kemasan dan merek melalui Ditjen Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) tahun 2003-2018 memfasilitasi desain kemasan (7.565 IKM), desain merek (8.119 IKM), dan 411 IKM bantuan kemasan cetak. Ditjen IKMA tahun 2019, kata Edi, memfasilitasi 400 desain kemasan dan 600 desain merek. “IKM Go Digital 2019 dengan total peserta e-smart mencapai 9.000 IKM,” tegasnya.

Seminar nasional ini bertujuan memperkenalkan hasil riset dosen, mahasiswa, praktisi industri cetak kemasan, dan media kreatif, serta menjalin jejaring akademik yang memperkuat penelitian dan pendidikan teknologi cetak kemasan dan media kreatif di Indonesia. Lingkup kajian seminar meliputi empat program studi, seperti desain grafis (desain kemasan, desain identitas visual, desain media promosi, design board game), kajian jurnalistik (konvergensi media, start up media, cyber crime media, media massa dan usaha mikro kecil dan menengah, pluralisme ekonomi digital), kajian teknik grafika dan kemasan (supply chain kemasan, teknologi cetak dan digital printing, security printing). “Kami berharap seminar nasional ini menjadi inspirasi untuk perkembangan teknologi cetak kemasan dan media dalam membangun industri kreatif Indonesia serta bermanfaat bagi perkembangan kajian teknologi kemasan dan media kreatif,” ujar Wiwi Prastiwinarti, Ketua Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan (Jurnalistik) menyampaikan kata sambutan.

Seminar Nasional menampilkan dua pembicara utama, Edi Siswanto, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, dan Dudi Amrullah, Direktur Pengemasan dan Risiko Pengamanan Pangan Danone Indonesia. Bertindak selaku moderator, Susilawati Thabrany.

Sesi seminar dilanjutkan seminar Call for Paper diikuti oleh 144 presenter. “Kami menerima 144 artikel lengkap dalam bidang teknik cetak, kemasan, desain grafis dan jurnalistik, yang sampai saat ini masih dalam proses review,” kata Muryeti, Ketua Panitia Seminar Nasional 2019 seraya menambahkan, “artikel lengkap akan diterbitkan dalam prosiding dan jurnal online atau daring Seminar Nasional Teknologi Cetak dan Media Kreatif.***

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

SEMINAR REVITALISASI PENDIDIKAN TINGGI VOKASI DI INDONESIA JAKARTA

Posted on 12 Agustus 2019. Filed under: Blogstop |

DUTA BESAR RI UNTUK SWISS Prof. Dr. Muliaman Darmansyah Hadad
Duta Besar RI untuk Swiss menjelaskan bahwa seminar Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi ini memiliki latar belakang MOU yang ditandatangani, yaitu: 1. Kerjasama bidang produksi kelapa sawit (ITSB – SITECO); 2. Bidang batubara (Poltek Simas Berau-SITECO); 3. Bidang pariwisata(Universitas Prasetya Mulya – IMI). Revitalisasi Vokasi menjadi penting, karena berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Sejak 2016 pemerintah berkomitmen terhadap pendidikan vokasi melalui Kemenristekdikti, Kemendikbud, Kemenaker, Kemenperin, menteri BUMN. Tantangan pengembangan vokasi di Indonesia adalah (1) pendidikan vokasi dianggap sebagai opsi kedua, (2) industri enggan mempekerjakan lulusan vokasi. Ini terjadi mungkin karena yang dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhan industri, (3) Pelaksanaan magang hanya berkaitan dengan pekerjaan administratif, (4) kualitas pengajar. Akibatnya pengangguran lulusan pendidikan vokasi meningkat. Keberhasilan pendidikan vokasi ditentukan oleh (1) terdapat ekosistem yang jelas, (2) terdapat dukungan dari pemerintah, (3) terdapat kolaborasi yang berkelanjutan dari industri, (4) terdapat kesetaraan antara pendidikan umum dan pendidikan vokasi. Isu pentingnya pendidikan vokasi terjadi pula di China dan India padahal mereka sudah lebih maju dari Indonesia. Alasannya pada 5-10 tahun yad, lulusan vokasi akan menjadi penggerak pasar dan perusahaan.

KETUA UMUM KADIN INDONESIA Rosan Perkasa Roeslani
Pendidikan vokasi adalah program utama Presiden Jokowi selain infrastruktur. Anggaran besar akan dialokasikan untuk pendidikan ini. Struktur SDM Indonesia hanya 12-15 % memiliki latar belakang Pendidikan Tinggi. Ini tidak cukup untuk mendorong perkembangan industri. KADIN membuat kesepakatan bekerja sama dengan Kementrian perekonomian dan Tenaga Kerja untuk melakukan pelatihan tenaga kerja di mana saat ini sudah pada angkatan ke 12. Hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan industri terhadap tenaga kerja. Kerja sama dilakukan pula dengan Jerman. Perlu identifikasi kebutuhan industri terhadap tenaga kerja 5-10 tahun yang akan datang agar dapat dipersiapkan dari sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, maka kebutuhan tenaga kerja berkompetensi akan semakin besar. Diperkirakan kebutuhan tenaga kerja ini mencapai 60 juta orang. KADIN mendorong agar industri pelaku usaha terlibat dalam penyediaan tenaga kerja ini. Dengan adanya insentif taxkurang lebih 2600 perusahaan di bawah KADIN siap mendukung program pemerintah dalam pendidikan vokasi. KADIN mengusulkan untuk membentuk Badan Nasional yang langsung di bawah Presiden.

MENRISTEKDIKTI Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D.,Ak 
Komitmen Kemenristekdikti untuk meningkatkan kualitas SDM indonesia adalah melalui peningkatan kualitas Perguruan Tinggi. Saat ini hanya ada 3 Perguruan Tinggi di Indonesia yang masuk dalam peringkat 500 Perguruan Tinggi di dunia, yaitu UI, ITB dan UGM, itu pun masih diatas peringkat 200. Upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kompetensi SDM dan tata kelola Perguruan Tinggi. Misalnya perampingan jumlah fakultas dengan mencontoh Perguruan Tinggi yang ada di luar negeri. Untuk meningkatkan daya serap lulusan Perguruan Tinggi, maka lulusan tidak cukup hanya memperoleh ijazah, tetapi sangat perlu disertai dengan sertifikat kompetensi. Sistem pendidikan vokasi perlu diperbaharui. Pendidikan vokasi harus selaras dengan kebutuhan dan perkembangan industri. Beberapa penghambat keselarasan ini di antaranya adalah UU no 5 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mensyaratkan dosen harus berpendidikan S2. Hal ini menyulitkan para praktisi dan para ahli dari industri yang pada umumnya berpendidikan S1 atau di bawahnya untuk masuk dan berperan dalam proses pendidikan di Perguruan Tinggi. Kemenristekdikti telah mengusulkan RPL bagi para praktisi tersebut agar dapat berkontribusi terhadap pendidikan vokasi. Dengan demikian pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan industri. Di samping itu dosen perlu memiliki sertifikat kompetensi. Untuk mewujudkan hal tersebut Kemenristekdikti mengeluarkan program retooling baik di dalam negeri maupun luar negeri. Namun keikutsertaan dosen dalam program ini masih rendah di mana dari kuota 2000 orang hanya terpakai sekitar 400 orang. Perlu upaya untuk mengubah mind set dosen. Dual system merupakan pendekatan pendidikan vokasi agar lulusan sesuai dengan kebutuhan industri.

DIRJEN BELMAWA KEMENRISTEK DIKTI Prof. Dr. Ismunandar
Direktorat Jenderal untuk Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti mengedepankan sebuah kebijakan untuk pendidikan tinggi vokasi yang disebut Multi Entry Multi Exit System (MEMES) yang bertujuan untuk meningkatkan akses, relevansi dan kualitas dari institusi pendidikan tinggi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam bidang sains, teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kebersaingan negara. Pengetahuan dan budaya pembelajaran untuk pendidikan vokasi akan diarahkan agar bisa menghadapi industri 4.0: digitalisasi dan otomasi. Ini bisa dicapai dengan menerapkan pembelajaran Produksi Cerdas industri 4.0, Pelatihan vokasi 4.0, Pelatihan Guru Vokasi 4.0 dan Pekerjaan 4.0. Pendidikan tinggi vokasi juga akan mempromosikan pendidikan wiraswasta dan pembelajaran sepanjang hayat agar mampu beradaptasi dengan tantangan masa depan. Ini mencakup lima aspek penting: Pemahaman tantangan global dan lokal. Kolaborasi antar sektor dalam hal kebijakan dan pertukaran pengetahuan dari berbagai sektor (pendidikan, pelatihan, bisnis dan komunitas.

Pembelajaran sepanjang hayat harus menjadi komponen kunci dalam merancang pendidikan vokasi. Penguatan pengajar dalam hal penguasaan teknologi.  Pembentukan aturan wajib mengikutsertakan banyak pihak.

Skema kualitas sistem pendidikan vokasi di Indonesia terdiri dari beberapa aspek yaitu: Kerangka Regulasi, Anggaran, Kebijakan dan Program. Pengelola sistem pendidikan vokasi seperti Akademi, Politeknik, atau Pusat Pelatihan Vokasi. Pengembangan kemampuan instruktur vokasi. Pendirian Pusat Pendidikan dan Penelitian Vokasi Nasional, termasuk inkubator bisnis dan industri. Akreditasi Pendidikan Vokasi.  Perlindungan bagi mahasiswa dan konsumen. Implementasi kebijakan Multi Entry Multi Exit System (MEMES) diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi no 54/2018 di mana implementasi sistem MEMES dalam sistem pendidikan tinggi vokasi dilakukan melalui 4 cara: 1. Sistem terbuka dengan fleksibilitas waktu dan pilihan dalam menempuh pendidikan. 2. Kurikulum di buat untuk gelar ganda. 3. Lulusan akan menerima sertifikat diploma dan kompetensi. 4. Institusi pendidikan dapat mengubah program diploma III ke diploma IV dengan persetujuan Kemenristekdikti. Kurikulum pendidikan tinggi vokasi dengan sistem MEMES diperkuat dengan beberapa cara: Pembentukan program diploma III dan diploma IV. Capaian pembelajaran dibentuk dengan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Internasional  Memiliki assessor internal yang bersertifikasi. Memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi – 1 atau bekerja sama dengan lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Memiliki rekanan di dunia industri untuk membentuk program pemagangan. Memiliki standar penjaminan mutu untuk implementasi sistem MEMES. Lulusan yang diarahkan akan bisa di terima di dunia kerja.

SEKRETARIS MAJELIS BAN-PT Prof. Dr.rer.nat.Imam Buchori
Sejak tahun 2016 Majelis BAN-PT berubah menjadi Majelis Akreditasi yang melaksanakan Akreditasi Program Studi dan Dewan Eksekutif yang melaksanakan Akreditasi Perguruan Tinggi. Pada Instrumen baru, akreditasi untuk vokasi akan berbeda dengan akademik. Akreditasi adalah salah satu bentuk penilaian terhadap luaran hasil penjaminan mutu internal. Artinya jika Sistem Penjaminan Mutu Internal-nya berjalan dengan baik, maka hasil akreditasinya baik juga. Akreditasi mengacu pada standar pendidikan tinggi yang ditetapkan berdasarkan peraturan menteri dan standar yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Persoalannya bahwa instrumen yang berlaku sekarang nuansa akademiknya lebih kuat. Perlu ada pembaharuan agar standar lebih berkaitan dengan vokasi, agar instrumen yang disusun BAN-PT sesuai dengan karakteristik pendidikan vokasi. Tujuan akhir Akreditasi adalah melindungi masyarakat sehingga akreditasi merupakan fungsi kontrol. Saat ini penilaian akreditasi berdasarkan desk evaluation dan visitasi. Untuk pendidikan vokasi mungkin visitasi tidak cukup hanya 1 atau 2 hari, karena ada kerjasama dengan industrinya. Pada sistem akreditasi yang baru, evaluasi terhadap mutu tidak dilakukan pada saat akreditasi saja, tetapi bisa dievaluasi setiap saat misalnya berdasarkan pengaduan dari masyarakat, sehingga peringkat akreditasi dapat berubah tanpa menunggu 5 tahun. Pada sistem lama instrumennya adalah 7 standar, tetapi pada sistem baru adalah 9 kriteria. Kriteria ini adalah interaksi antar standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria luaran memiliki bobot paling besar. Luaran proses akreditasi adalah status akreditasi (terakreditasi dan tidak terakreditasi) dan peringkat terakreditasi (Baik, Baik Sekali dan Unggul). Dengan kategori peringkat ini, lulusan dari PT terakreditasi Baik artinya sudah layak dan memenuhi kompetensi. Masa berlaku akreditasi 5 tahun dan reakreditasi ulang dapat dilakukan paling cepat 1 tahun dengan masa pengajuan 6 bulan sebelum masa berlaku berakhir. Permen 54 memudahkan D3 diubah menjadi D4 dengan mengusulkan ke kementrian. Untuk status akreditasinya sedang dirumuskan apakah perlu direakreditasi ulang atau hanya beberapa bagian saja. Jenjang karir untuk dosen vokasi sedang dirumuskan ulang, karena mungkin berbeda dengan dosen akademik. Apakah perlu jenjang karir sampai dengan Profesor atau dalam bentuk yang lain. Jika sama sampai Profesor, apakah persyaratannya berupa jurnal internasional dll atau ada yang lain. Kualifikasi dosennya juga berapa sertifikat dan jenis sertifikat seperti apa yang harus dimiliki dosen vokasi.

WAKIL KETUA UMUM KADIN INDONESIA Anton J Supit
Berdasarkan pengalaman di Jerman bahwa vokasi itu adalah dual system atau sistem ganda di mana 70% praktik dan 30 % teori yang sifatnya bukan pelajaran umum. Jadi Vokasi itu adalah sistem ganda jika tidak sistem ganda, maka itu bukan vokasi. Dalam hal ini perlu ada persepsi yang sama mengenai vokasi. Praktik merupakan karakteristik pendidikan vokasi. Teori yang diberikan adalah yang menunjang praktik. Untuk menyediakan fasilitas praktik seperti di Swiss dan Jerman memang tidak mudah, tapi harus dimulai dari sekarang. Untuk mempercepat hal tersebut perlu keterlibatan industri membuka diri memfasilitasi apakah dalam bentuk pelatihan atau yang lainnya. Sebagai contoh adalah Toyota yang sudah menjalankan pendidikan vokasi untuk memenuhi kebutuhan SDM yang memiliki kompetensi. Mereka menyusun kurikulumnya sendiri selama 9 bulan. Sekarang mereka sudah memiliki asessor sendiri dan rutin melaksanakan pelatihan sehingga telah menghasilkan sampai 400 an alumni. Hasil evaluasi mereka, mendapatkan SDM hasil pendidikan vokasi jauh lebih menguntungkan dari pada pendidikan umum. Saat ini mereka melatih tenaga kerja lulusan SMK yang jika melamar secara normal sulit diterima industri. Sebagai ilustrasi kenaikan upah di daerah kerawang dalam 1 tahun adalah 100%, tanpa peningkatan kompetensi yang signifikan. Tetapi jika dilatih dengan baik selama 6 bulan mereka bisa meningkatkan kompetensi sampai dengan 17 sertifikat. Artinya dengan pelatihan 6 bulan SDM tadi memiliki kompetensi yang sama dengan karyawan yang sudah bekerja selama 2 tahun. Dengan demikian walaupun ditinjau dari sisi finansial, pendidikan vokasi ini lebih menguntungkan.

Jika ditinjau dari struktur tenaga kerja Indonesia, pengembangan vokasi menjadi satu keharusan, karena Indonesia memiliki bonus demografi yang masanya hanya 10-15 tahun. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, sama artinya kita mati dalam keadaan miskin. Pengembangan Vokasi juga berkaitan dengan dukungan terhadap berkembangnya investasi di Indonesia.Keduanya harus berjalan selaras. Masuknya beberapa perusahaan besar tanpa diimbangi ketersediaan SDM tidak akan membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan umum. Grand Design KADIN yang akan didiskusikan dengan pemerintah adalah dengan melibatkan pemerintah daerah dalam pendidikan vokasi. Pelatihan vokasi akan meningkatkan kualitas SDM dan peningkatan lapangan kerja. Sistem pendidikan vokasi harus sistem ganda atau dual system artinya bekerja sambil sekolah. Di negara maju, pada tahun ketiga siswa masuk dalam produksi di industri. Dengan demikian ketika lulus mereka sudah memiliki kompetensi termasuk soft skill. Amerika menganggap pendidikan vokasi lebih efisien, sehingga tidak ada persepsi lulusan vokasi sebagai kelas dua. Salah satu tujuan utama pendidikan vokasi adalah menjamin perusahaan mampu bersaing dalam persaingan global. Agar pendidikan vokasi dengan dual sistem berhasil, harus ada pelatih di tempat kerja, memiliki kurikulum yang jelas, ada mekanisme supervisi dan evaluasi agar pembelajaran berjalan sesuai aturan yang benar. Kurikulum dibuat bersama industri dan sekolah sehingga ada kesesuaian antara yang diajarkan dan dibutuhkan industri. Di Indonesia pada umumnya tidak demikian, sehingga sering kali industri menolak.

DUAL VOCATIONAL EDUCATION AND TRAINING (DVET) Urs Keller
Sistem Pendidikan di Swiss berbasis belajar sepanjang hayat (Lifelong Learning) dan para pendidiknya terus berinisiatif berupaya meningkatkan serta mengembangkan kemampuan diri baik dalam kompetensi keilmuannya maupun keterampilan. (Continuing Professional Development). Pendidikan Vokasi sudah dijalankan sejak sejak tahun 1884, dan sistem DVET di Swiss berdasarkan dua lokasi pembelajaran yaitu perusahaan (industri) dan sekolah. Model Pendidikan Tinggi di Swiss, yaitu (1) HS (Hochschule) / Universitas dengan Gelar Dipl. Ing ETH dan fokusnya pada riset dasar. Kompetensi yang akan diperoleh adalah ilmu sains dasar, riset terapan, analisis teoritis yang sangat kompleks, tanggung jawab manajerial yang tinggi. (2) FH (fachoschule)/ Universitas Terapan dengan Gelar Dip. Ing. FH dan fokusnya pada pengembangan riset dasar. Kompetensi yang akan diperoleh adalah riset terapan, pengembangan/desain kompleks, analisis teoritis kompleks, tanggung jawab manajerial yang tinggi. (3) HVET= HF= Hoohere Fachoschule/Pendidikan Vokasi dan fokusnya pada konsep/konstruksi. Kompetensi yang akan diperoleh adalah konsep detail/realisasi, proses service dan manufaktur, kemampuan menerapkan, leadership berbasis penerapan. (4) VET = Apprenticeship dan fokusnya pada realisasi/dukungan. Kompetensi yang akan diperoleh adalah bekerja pada bidang jasa dan manufaktur, kerja manual, kemampuan penerapan yang ekstensif. Peran industri pada implementasi dual sistem di Swiss berkaitan dengan Produksi (After sale service, maintenance) dan R&D. Cakupannya adalah manufaktur, desain detail, Proses Produksi pada Engineering dan Perencanaan, maintenance, pengoptimalan proses produksi dan leading yang membutuhkan pengetahuan praktis dan pengalaman di bidang produksi. R&D meliputi pengembangan produk, optimalisasi dan penciptaan produk. Untuk hal ini diperlukan pengetahuan teori dan pengalaman di bidang R&D. Sistem dVET adalah kombinasi antara teori + praktik dengan proses pembelajaran berbasis project. Bergantung sektor vokasi, namun rata-rata bagian pendidikan bervariasi antara 20% sampai 60%.

Apprenticeship adalah model pendidikan yang sukses di Swiss. Lebih dari 70% pemuda di Swiss memilih apprenticeship. Mereka bekerja 3-4 hari di Perusahaan dan 1-2 hari lainnya digunakan untuk belajar di sekolah. Sistem VET memadukan pemuda dan orang dewasa ke dalam suatu pekerjaan sehingga pengangguran di usia muda sangat minim. Setelah menjalankan program apprenticeship selama 3-4 tahun, produktivitas pemuda di Swiss ¾ tingginya dengan mereka yang professional dari perspektif pengoperasian. Lama waktu pendidikan di Polymechanic di Swiss adalah 4 tahun. Pada 2 tahun pertama dianggap sebagai investasi. Pada tahun ketiga, mahasiswa melakukan magang sehingga siap untuk bekerja secara produktif. Pada tahun keempat, mahasiswa bekerja hampir produktif seperti layaknya pekerja yang memiliki kemampuan penuh, sehingga memungkinkan mendapatkan hasil returns dari apa yang sudah diinvestasikan pada sistem VET di awal. Dengan sistem VET ini jumlah pengangguran muda lebih sedikit. Industri membutuhkan ahli yang ditunjukkan dengan bekerja secara professional dengan menerapkan inovasi secara cepat dan tepat dengan kemampuan intelegensi dan keterampilan. Manfaat yang dapat diperoleh lulusan VET adalah: – Mendapatkan pendidkan profesional dengan kesempatan yang lebih baik dalam mendapatkan pekerjaan yang bagus. – Mendapatkan jaminan keamanan yang tinggi dalam pekerjaan. – Mendapatkan peluang memperoleh pendapatan yang tinggi. – Mendapatkan lebih baik return of investment ROI ; fiskal, ekonomi, sosial, dan personal. – Mendapatkan peluang yang lebih baik untuk jenjang karir profesional. Bagi industri manfaat yang didapat dari VET adalah: – Tersedianya profesional dan spesialis – Industri dapat lulusan VET yang siap kerja – Industri dapat mengurangi cost labour secara keseluruhan (gaji dan cost tetap) – Apprentice meminimalkan recruitment cost dan kesalahpahaman dapat dikurangi.

CHAIRMAN OF THE BOARD, SFIVET Dr. Gnaegi Philippe
Di Swiss, pendidikan merupakan kewajiban pemerintah (kanton dan/atau federasi) sejak pendidikan dasar yang diwajibkan sampai dengan pendidikan tersier seperti universitas, pendidikan dan pelatihan profesional). Kewajiban terhadap pendidikan diberikan kepada 26 kanton. Masing-masing kanton dan pemerintah federasi memiliki kewajibannya tersendiri untuk edukasi setelah pendidikan wajib nasional (sekolah pendidikan umum, kejuruan dan pendidikan dan pelatihan profesional, dan universitas). Tiap kanton dan kotamadya menghabisnya 90% dari anggaran publik mereka di pendidikan. Setelah mengikuti pendidikan wajib nasional selama sembilan tahun, para remaja akan melanjutkan studi mereka ke sekolah menengah atas, di mana pendidikan akan dibagi menjadi pendidikan kejuruan dan pendidikan umum. Pendidikan di sekolah menengah atas di Swiss merupakan suatu hal yang tidak diwajibkan, sekalipun 90% dari pelajar di Swiss memutuskan untuk melanjutkan studi mereka pada usia 15 atau 16 tahun. Sekolah menengah atas diatur oleh Konfederasi dan kanton sehingga terdapat variasi dalam hal organisasi dan kurikulum di dalam negeri Swiss sendiri.
Kualifikasi yang diberikan oleh para kanton di Swiss terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
– Pendidikan dan pelatihan kejuruan (VET)
– Sekolah Baccalaureate – Sekolah menengah atas khusus Kanton (federasi) memiliki peran penting dalam implementasi: – Memberikan akreditasi VET kepada perusahaan – Mengawasi sekolah kejuruan (310 sekolah kejuruan, sebagian besar adalah sekolah umum) – Mengelola perjanjian dan pendanaan sekolah kejuruan. – Mengatur manajemen kualitas dan aturan untuk menetapkan peserta magang (pekerjaan, wilayah, sekolah)
Dual System di Swiss:
– 2/3 usia sekolah memilih jalur VET – Pemerintah dengan swasta bekerja sama

SFIVET yang merupakan organisasi untuk pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan merupakan bagian dari Federal Department of Economic Affairs, Education and Research Swiss. SFIVET menawarkan pelatihan dasar dan berkelanjutan untuk para profesional dalam bidang pendidikan vokasional, penelitian, serta melakukan kontribusi pada pengembangan pekerjaan dan kerja sama internasional dalam bidang pendidikan vokasi.

Peran dari SFIVET: – Organisasi pemerintah yang menangani program VET agar dapat berjalan dengan baik. – Membuat program untuk pengembangan VET – Melaksanakan pelatihan untuk para pengajar, salah satu materinya adalah penyusunan silabus – SFIVET menyediakan pelatihan dasar dan berkelanjutan untuk para guru dan pelatih. – SFIVET menyediakan pelatihan dasar dan berkelanjutan untuk instruktur – SFIVET melakukan penelitian dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan. – SFIVET memberikan panduan dan dukungan kepada organisasi profesional dalam meninjau dan merevisi program VET – SFIVET mendukung mitra SFIVET dalam transformasi digital – SFIVET mewakili sistem VPET Swiss di tingkat nasional dan internasional
Area Kolaborasi SFIVET:
– Pengembangan dan implementasi kurikulum berbasis kompetensi – Program pelatihan pedagogis untuk guru VET dan praktisi VET – Rekomendasi tentang pengembangan kerangka kerja kelembagaan yang mendukung VET dual track – Dukungan ilmiah dan proyek penelitian, Misalnya. analisis biaya-manfaat untuk program VET serta evaluasi proyek VET – Program Studi-Kunjungan/Pertukaran Indonesia-Swiss Akademi VET Swiss

DIREKTUR POLITEKNIK ATMI Dipl. Ing. Henri Paul, MBA
ATMI berdiri sejak 1968 di Solo dan didukung pemerintah Swiss dengan jumlah mahasiswa 25 orang. Karena industri di Solo pada saat itu masih terbatas, maka ATMI menghadirkan industri di dalam kampus. Pada tahun 2003 mulai didirikan ATMI di Jababeka, karena user banyak di Wilayah Jabodetabek. ATMI Solo juga bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Solo. Sejak tahun 2016 ATMI Solo berubah dari Akademi menjadi Politeknik. Jenjang prodi bukan saja D3 namun juga D4.

ATMI Solo dan Jababeka berkolaborasi dengan beberapa SMK dan industri yang jumlahnya lebih dari 10. Kompetensi utama ATMI adalah bidang pendidikan manufaktur. Dalam perkembangannya ATMI juga berkolaborasi dengan prodi di luar manufaktur. Misalnya kerja sama dengan SMK tata boga, busana, pertanian di Kalimantan Selatan di mana ATMI membantu setup. ATMI memiliki Divisi Training Center dan Management Consulting. Di samping itu ada perusahaan milik sendiri yang di antara produknya adalah merchandise. Itu adalah industri yang diciptakan di dalam kampus supaya kompetensi anak didik sesuai dengan tuntutan industri. Tuntutan industri dalam hal ini adalah Quality-Cost-Delivery. Jadi desain kurikulum sesuai dengan QCD tersebut. Sebagai contoh pada tahun pertama menekankan kualitas, pada tahun kedua mengenai efisiensi dan cost, pada tingkat tiga mengenai delivery. Dengan demikian produk yang dibuat bukan sekedar jadi, tetapi dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut. Untuk menyesuaikan dengan industri, ATMI juga memberlakukan bekerja shift siang dan malam. Di samping industri yang diciptakan di dalam kampus, ATMI juga berkolaborasi dengan industri. Tantangan ATMI adalah jumlah Lulusan ATMI hanya bisa memenuhi kurang lebih 20% dari permintaan industri dan sekolah. Tidak terpenuhinya permintaan ini, karena ATMI menerapkan model pembelajaran dengan 1 siswa 1 mesin. Oleh karena itu perlu dukungan pemerintah dan industry untuk turut serta berinvestasi menambah sarana dan prasarana. Di samping itu harapannya adalah terjalinya kerja sama strategis antara Pendidikan Vokasi-Industri-Asosiasi-Pemerintah untuk meningkatkan kualitas vokasi.

DIREKTUR POLITEKNIK ASTRA Ir Tony Silalahi
Polman Astra memosisikan diri sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi Vokasi di Indonesia. Oleh karena itu konsentrasinya bukan hanya pada pendidikannya, tetapi juga penelitiannya. Namun penelitiannya difokuskan pada penelitian terapan. Sehingga terdapat portofolio product development. Implementasi pengabdian pada masyarakat dilakukan dengan bekerja sama dengan beberapa yayasan yang ada di Astra yang jumlahnya 9 yayasan termasuk Yayasan Bina Ilmu yang membawahi Politeknik Astra dan Yayasan Bina Bakti Astra yang membina UKM. Terdapat 6 program studi yang dijalankan Polman Astra. Untuk menyiasati keinginan dunia industri yang cepat sementara prosedur formal membutuhkan waktu yang lama, maka dilakukan penyisipan konten ke dalam prodi yang dianggap proses pembelajaran kompetensi lulusan yang dihasilkan memiliki kemiripan. Sebagai contoh maintenace alat berat disisipkan ke dalam prodi Automotive Maintenance melalui penambahan konsentrasi. Dan ini menjadi masalah ketika akreditasi. Hal ini merupakan gambaran persoalan antara Perguruan Tinggi yang banyak aturannya dengan dunia industri yang keinginannya serba cepat dan gampang berubah. Polman Astra berdiri tahun 1995 karena dorongan perusahaan Astra yang kesulitan mencari tenaga kerja siap pakai. Ketika didirikan namanya Akademi Teknik Federal dan pendiriannya dibantu oleh ATMI Solo. Selanjutnya bekerja sama pula dengan Politeknik Mekanik Swiss-ITB (sekarang Polman Bandung). Kesulitan yang dihadapi adalah tenaga dosen di mana persyaratannya harus S2 yang tidak terbiasa praktik langsung dengan mesin. Untuk mengatasi hal ini maka direkrut instruktur. Langkah lain adalah melalui sertifikasi dengan bekerja sama dengan Jerman. Dual system yang dijalankan adalah dengan sistem blok, yaitu pada dua tahun pertama dididik di kampus, namun praktik tetap 65% dan teori 35%. Untuk menjalankan praktik ini dicari order-order dari industri yang bisa dikerjakan di kampus. Pada tahun ketiga dilakukan internship di anak perusahaan Astra. Pada akhir internship siswa diminta untuk melakukan improvement sebagai tugas akhirnya. Improvement ini merupakan teknologi atau solusi yang dapat digunakan di perusahaan itu dan harus dihitung kemanfaatannya dalam bentuk uang (rupiah) atau nett quality income. Tiap 9 tahun total nett quality income ini dihitung. Manfaat ini bukan hanya berdasarkan klaim mahasiswa atau pembimbingnya tapi juga harus disertai pernyataan manajer atau pimpinan perusahaan, supaya kemanfaatan ini diakui oleh industri. Ini untuk mengatasi persepsi, bahwa industri tidak memperoleh manfaat dari program magang mahasiswa. Setelah dihitung diperoleh total nett quality income mencapai 200 milyar per tahun. Pembelajaran kepada mahasiswa pun disertai dengan pembelajaran nilai-nilai yang berlaku di Astra serta mentalitas yang harus dimiliki seorang karyawan.

Revitalisasi Pendidikan Vokasi

A. Pengembangan Pendidikan Tinggi Vokasi penting karena (1) Lulusan pendidikan vokasi menjadi penggerak pasar dan industri pada masa yang akan datang, (2) Pendidikan Vokasi merupakan program utama pemerintah sampai dengan 2024, (3) Pertumbuhan ekonomi dan industri yang cepat perlu disertai ketersediaan tenaga kerja siap pakai, (4) Peran Pendidikan Tinggi Vokasi dalam penyediaan SDM yang dibutuhkan industri masih rendah. B. Persoalan yang dihadapi Pendidikan Vokasi di Indonesia adalah (1) Pendidikan Vokasi dipersepsikan sebagai pendidikan kelas dua dan tidak setara dengan pendidikan akademik (umum), (2) Kompetensi lulusan belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, (3) Pelaku industri masih menganggap aktivitas magang tidak memberikan manfaat secara finansial, (4) Terdapat beberapa regulasi yang tidak sesuai dengan pengembangan Pendidikan Vokasi, (5) SDM Dosen yang memiliki kompetensi dalam Pendidikan Vokasi masih terbatas, (6) Kerja sama Perguruan Tinggi Vokasi dengan industri masih terbatas, (7) Sistem pendidikan vokasi belum dipahami dengan baik oleh Perguruan Tinggi Vokasi, (8) penyediaan sarana dan prasarana membutuhkan investasi yang besar dan harus di-update sesuai dengan perkembangan industri. C. Upaya revitalisasi Pendidikan Vokasi di Indonesia, (1) Meninjau ulang regulasi yang berkaitan dengan Pendidikan Tinggi Vokasi, (2) Meningkatkan peran serta industri, pemerintah daerah dalam pendidikan vokasi, (3) mengimplementasikan pembelajaran sistem ganda, (4) Mendorong SDM dosen melaksanakan magang industri dan memperoleh sertifikat, (5) penyusunan kurikulum melibatkan industri dan dapat mengakomodasi perubahan kebutuhan industri, (6) Industri harus diberikan pemahaman dan diyakinkan bahwa program magang dapat memberikan benefit finansial.

Ringkasan Paparan Seminar ini disampaikan oleh pemakalah utama di Universitas Prasetya Mulya, Rabu, 17 JULI 2019

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tantangan Industri Media dalam Digitalisasi Media

Posted on 22 September 2017. Filed under: Blogstop |

PENDAHULUAN

Perkembangan digitalisasi media bukan hanya membawa konsekuensi terhadap publik, melainkan juga aspek ekonomi kepada pengelola industri media, baik media elektronik maupun media cetak. Publik tidak lagi menggunakan media cetak dan elektronik terbatas, tetapi juga ada kecenderungan memberi dan menerima serta memaknai informasi dalam media baru (new media), yakni informasi termasa, terkini, terlengkap.

Sejumlah faktor mendasari perubahan paradigma publik dengan industri media. Namun, pertanyaannya berkenaan dengan paradigma baru itu, bagaimana kondisi masyarakat informasi di kalangan publik menghadapi tantangan perkembangan teknologi digital? Masyarakat informasi bagi publik termasuk masyarakat informasi yang memberdayakan nilai informasi sebagai komoditas dalam digitalisasi media.

Di sejumlah kota besar, program pendidikan vokasi atau politeknik untuk publik atau generasi muda menunjukkan fenomena pengajaran, penulisan, dan penyajian yang mengalami perubahan. Materi ringkasan di kampus disampaikan oleh pengajar dengan menawarkan konsep atau kajian teoritik, sedangkan mahasiswa sebagai generasi muda (publik) mendalami materi kajian dan konsep secara simultan melalui multimedia, multitasking, multichannel, multiplatform.

Meski demikian, media cetak, seperti koran, majalah, dan buku tetap membuat publik dapat menjalani kewajiban pokok dengan membaca dan menggali informasi. Tradisi ini mendasari terbentuknya peradaban Nusantara bagi publik. Peradaban berpikir yang dirintis dari menulis. Menulis kreatif jadi kewajiban. Pengajar di kampus menulis karya ilmiah, ilmiah semi populer dan ilmiah populer, sedangkan publik sebagai generasi pembelajar dapat menulis otobiografi untuk untuk tugas yang dibukukan, dan menyelesaikan tugas menulis untuk membuat koran, majalah, buku, serta praktik industri media terhadap generasi muda dari tempat magang untuk dipublikasikan.

Digitalisasi media menjadi era baru di kalangan publik. Meraih informasi dengan sifat bergegas: serbacepat, serbatergesa-gesa. Persoalan akses informasi muncul bahwa antara publik dan pekerja media sama-sama beradu cepat dan berupaya mencari data dengan fakta akurat untuk menampilkan informasi pertama, data tercepat dan terbaik dengan fakta terlengkap.

PEMBAHASAN

Tantangan masyarakat informasi bagi publik, berangkat dari semangat yang berbeda dengan pekerja media. Jurnalisme di kalangan pekerja media juga dilandasi oleh semangat coba-coba (trial and error). Sejalan dengan semangat coba-coba, media massa berangkat dari jurnalisme dengan semangat perjuangan memerdekakan Republik Indonesia. Embrio pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Dalam catatan sejarah pers di Indonesia, perusahaan pers zaman penjajahan ada yang dibredel oleh pemerintahan kolonial. Zaman Orde Lama dan Orde Baru ada pula praktik pembredelan oleh pemerintah. Pascareformasi perusahaan pers menghentikan penerbitan karena gagal bisnis.

Atas dasar kepentingan untuk mengembangkan fondasi kultural bagi masyarakat informasi, semangat itu menyematkan atmosfer kerja berasaskan misi dan visi menegakkan kebenaran dan  mengembangkan semangat mencerahkan. Media massa pada masa perjuangan bersumber dari pekerja media dengan figur-figur otodidak, yang dalam perkembangannya memiliki kecerdasan intelektual melebihi gelar doktor sebagai gelar kehormatan. Karena itu, pekerja media lebih berpendidikan akademik.

Seiring berlalunya waktu, sejak 2015 sampai dengan pertengahan 2016, korps pekerja media, dalam persatuan kerja kewartawanan di Indonesia, semakin surut semangat juangnya. Menjelang pertengahan 2016 semakin banyak media memberikan notifikasi menghentikan penerbitan.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan melalui Jurnal Pers oleh Dewan Pers muncul paradigma petugas humas (public relations officer) mengalami kemudahan menghadapi wartawan sekarang. Petugas humas hanya menyediakan siaran pers. Pekerja media selanjutnya menulis ulang dari siaran pers apa adanya-sebagaimana adanya. Petugas humas tidak cemas menjawab pertanyaan karena pekerja media cenderung tidak bertanya. Dalam tur lawatan media ke luar negeri untuk peliputan masalah tertentu, pertanyaan yang muncul, kapan waktu bebas atau waktu senggangnya. Pekerja media selalu ingin disediakan waktu jalan-jalan sambil berbelanja.

Dalam konstelasi media baru, media cetak termasuk media konvensional. Atribut konvensional melekat bagi pekerja media melalui tanda, simbol, dengan fenomena pekerja media berkomunikasi melalui notes, bolpoin, catatan ringkas yang disampaikan oleh narasumber. Dalam digitalisasi media, pekerja media ini cenderung mengurangi aktivitas mencatat. Fenomena ini sejalan dengan kekhusyukkan publik melalui gadget. Aktivitas dasar merekam, mencatat, menghafal diimbuhi kemudahan berhubungan dengan siapa pun melalui gadget. Istilah yang sering digunakan berkenaan dengan multitasking, multimedia, multichannel, multiplatform.

Sikap bermedia baru itu cenderung tidak dapat diikuti lagi oleh pekerja media konvensional. Dalam “Catatan Minggu”, Bre Redana, wartawan Kompas menyampaikan bahwa “Kami tidak mendelegasikan otak kami pada alat rekam. Kami sadar akan signifikansi kehadiran, being there. Internet menyediakan semua data, tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara. Wawancara bukanlah penampungan omongan orang, melainkan konfrontasi kesadaran. Pada kesadaran ini terdapat dimensi lain dari jurnalisme, semacam dimensi nonteknis taruhlah moral, etik, dan kemanusiaan.”

Paradigma media konvensional menuju media baru di kalangan publik dilandasi dengan sejumlah catatan. Pekerja media dalam media cetak telah meningkatkan kemampuannya menulis bahwa liputan peristiwa yang disiarkan langsung secara Nasional, pemberitaannya tidak lagi menggunakan rumus Rudyard Kipling, wartawan Inggris dengan formula 5W+1H. Rumus yang dikenal sebagai Metode Kipling ini tampak dalam mindmap  “time management” yang dikolaborasikan efektivitasnya sesuai dengan semangat media baru.

Perbedaan Metode Kipling sebagai media konvensional dengan digitalisasi media dalam media baru dapat memberikan informasi menjadi lebih dalam dan lebih edukatif. Meskipun Metode Kipling dalam digitalisasi media melalui media daring (online; dalam jaring) atau media siber (cyberjournalism) lebih mengembangkan kecepatan. Media cetak tetap memberikan perbedaan dan nilai tambah dibandingkan media baru. Digitalisasi media atau media daring sampai saat ini tetap berkolaborasi dengan media cetak.

Kesaksian Wina Armada Sukardi melalui media sosial mengungkapkan bahwa “Saya dulu langganan sampai tujuh koran. Terus turun menjadi empat. Lalu tiga dan dua. Sekarang cuma satu, itu pun jarang dibaca penuh lagi. Itu pun rupanya masih bagus. Anak kami tak lagi rutin baca koran. Semua diperoleh dari media digital!” (2017)

Sejak 2015 dan memasuki pertengahan 2016 industri media di Indonesia mengalami masa senja, yang bagi sebagian pekerja media disebut era transisi media. Digitalisasi media sebagai perpanjangan tangan, seperti yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan bahwa konsep komunikasi massa sebagai proses komunikasi, ketika organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas. Publik mencari, menggunakan, dan mengonsumsi pesan. Sementara itu, pusat dari studi mengenai komunikasi massa sebagai media. Media merupakan organisasi yang menebarkan informasi berupa produk budaya atau pesan yang mempengaruhinya dan mencerminkan budaya dalam masyarakat. Sementara itu, sebagaimana politik atau ekonomi, media sebagai sistem merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Karena itu, kehadiran media baru membuat tekanan persaingan dan kecenderungan dominasi media daring atau media siber berbasis Internet berdampak terhadap daya tahan dan eksistensinya.

Ketika pekerja media menghentikan kegiatan liputan secara total akibat tekanan media baru, maka harian sore Sinar Harapan, Bloomberg Televisi Indonesia, Harian Bola (sekarang menjadi Bola edisi Sabtu), Koran Tempo (edisi Ahad menjadi satu dengan edisi Sabtu akhir pekan), Harian Jurnal Nasional (Jurnas), Koran Celebes, Koran Inilah Sulsel dan Harian Terbit, dan pekerja media terbitan internasional di sejumlah negara juga berhenti aktivitas liputannya atau berpindah kerja ke edisi media daring atau media siber, seperti Asia Week, Tribune Co., Newsweek, Reader’s Digest, New York Times dan Washington Post.

Publik mengalami kerugian pada kondisi media cetak yang berhenti terbit. Publik mengalami kerugian dengan hilangnya kesempatan mendapatkan liputan beragam informasi. Kerugian lain berimbas pada kegagalan industri media memberdayakan sumber daya pekerja medianya, terutama di bidang redaksi, selain administrasi, keuangan, pemasaran, sirkulasi dan publikasi.

Bagaimana publik mencermati profesionalisme pekerja media dan kompetensi perusahaan pers dalam persaingan sesama industri media berhadapan dengan digitalisasi media?

Kompetensi Pekerja Media

Berkaitan dengan perusahaan pers dan kompetensi pekerja media atau wartawan, dalam catatan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS menyampaikan bahwa berdasarkan kuesioner kegiatan pendidikan dan pelatihan jurnalistik di seluruh ibukota provinsi Indonesia selama tujuh tahun terakhir ini, maka perusahaan pers nasional secara umum dapat dibagi atas tiga posisi besar.

Pertama, posisi perusahaan pers ikut menentukan pendapat publik (public opinion), yakni perusahaan pers yang manajemennya telah menerapkan sistem multimedia dari sisi teknologi, multitasking dari sisi kinerja wartawan, multiplatform dari alur kerja semua unit pemberitaan, dan multichannel dari sisi produk mandiri maupun kelompok media massa.

Bahkan perusahaan pers di posisi pertama itu, kata Bob panggilan akrab Priyambodo RH, mampu menjadi penentu pasar (market driven) dalam perolehan iklan dan penetrasi pelanggan (pembaca, pendengar, pemirsa, dan pengakses). Manajemen pers di kelompok ini juga menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama, baik bagi wartawan maupun karyawan yang lain.

Kedua, posisi perusahaan pers yang lebih banyak mengikuti selera dan pendapat publik, yakni perusahaan pers yang manajemennya masih menerapkan sistem alur pemberitaan hanya mengikuti keinginan masyarakat dan kurang mengutamakan agenda peliputan atas inisiatif mandiri.

Manajemen perusahaan pers posisi kedua tersebut lebih mengutamakan berupaya keras mendapatkan iklan dan pembaca di tengah semakin kerasnya persaingan dan kebebasan publik menentukan seleranya. Namun, manajemen persnya kurang menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama bagi wartawan dan karyawan yang lain.

Ketiga, posisi perusahaan pers lebih sekadar menjaga eksistensi, yakni manajemennya mengutamakan mencari perhatian publik dan kesulitan mendapatkan iklan.

Kegiatan perusahaan pers di posisi ketiga itu agaknya lebih tepat disebut hanya mencoba bertahan hidup (survive). Bahkan pekerja media dalam perusahaan pers hanya mencoba mencari peluang dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Dalam kesehariannya, manajemen pers tersebut tidak menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan sebagai hal utama bagi wartawan dan karyawan yang lain.

Selanjutnya, Direktur Eksekutif LPDS mengungkapkan—berkaitan dengan penerapan Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada 2 Februari 2010 sebagai lembaga uji kompetensi wartawan pertama berdasarkan keputusan Dewan Pers pada 6 Mei 2011—terdapat penemuan tiga kecenderungan utama.

Pertama, kecenderungan banyak pekerja media atau wartawan setelah mengikuti uji kompetensi wartawan berpredikat kompeten yang bekerja di media belum sejahtera berdasarkan Standar Perusahaan Pers dari Dewan Pers.

Dalam catatan LPDS, Dewan Pers pada produk Nomor 4/Peraturan- DP/III/2008 pada 25 April 2008 tentang Standar Perusahaan Pers, yang sudah disepakati konstituennya pada 6 Desember 2007, mencantumkan aturan, antara lain perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.

Kemudian, perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya, seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.

Selain itu, perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan. Standar Perusahaan Pers di bagian ke sembilan mencantumkan, “Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku”.

Kedua, kecenderungan masih ada pekerja media atau wartawan yang bekerja di perusahaan pers sejahtera sesuai Standar Perusahaan Pers, ternyata belum kompeten saat menjalani uji kompetensi wartawan.

Jenjang wartawan yang belum kompeten itu meliputi wartawan muda yang kesehariannya menjalankan liputan pemberitaan, dan wartawan madya yang kesehariannya mulai melakukan koordinasi mengatur liputan wartawan maupun proses penyuntingan (editing) berita, serta wartawan utama yang kesehariannya sebagai pemegang kebijakan utama dalam proses pemberitaan.

Ketiga, kecenderungan semakin banyak pekerja media atau wartawan kompeten bekerja di perusahaan pers sejahtera sesuai Standar Dewan Pers. Hal ini diharapkan dapat mengutamakan kepentingan publik, karena publik yang cerdas memerlukan multimedia massa yang cerdas yang juga diawaki oleh para wartawan cerdas.

Akan tetapi, masih banyak pekerja media atau wartawan kompeten setelah mengikuti uji kompetensi belum sepenuhnya lega karena khawatir perusahaan pers tempat bekerja kurang atau sama sekali tidak memberikan penghargaan tingkat kesejahteraaan yang memadai. Biasanya, wartawan kelompok ini bekerja di perusahaan pers yang belum menjadi lembaga penguji kompetensi sehingga “sekadar dititipkan” ujian ke pihak lain yang sudah mendapat izin Dewan Pers.

Kompetensi wartawan berpijak pada Peraturan Dewan Nomor 1/PeraturanDP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan dengan hierarki sebagai berikut.

Berdasarkan temuan dan fenomena posisi media massa nasional serta kinerja wartawan berdasarkan Standar Kompetensi Wartawan, hal itu sangat berkaitan erat dengan kepentingan publik.

Publik dalam pengertian anggota masyarakat secara individual, dalam kelompok tertentu, termasuk kalangan dunia usaha. Karena itu, publik baik secara individu maupun kelompok seringkali menilai bahwa perkembangan media massa Nasional sudah memenuhi fitrahnya menjalani kebebasan, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kode etik jurnalistik sebagai bukti kompetensinya.

Walaupun demikian, publik juga baik secara individu maupun kelompok masih banyak yang belum memahami tugas pokok dan fungsi pers sebagai penyampai informasi, pendidik, penghibur, pengawas kehidupan sosial, dan mewariskan kebudayaan. Hal ini memerlukan mekanisme melek media (media literacy), yakni berbagai cara untuk memahami kinerja pers yang meliputi media massa dengan kinerja wartawannya.

Publik belakangan ini juga semakin sering mempertanyakan, sejauh mana posisi wartawan dalam pemberitaan berkaitan dengan politik praktis? Pertanyaan ini muncul dilatari oleh pekerja media yang mencermati tidak sedikit industri media melibatkan pemilik yang juga pendiri dan pemimpin partai politik (parpol) maupun organisasi di bawah afiliasinya (underbouw).

erdebatan seputar independensi pemberitaan politik, terutama peliputan Pemilu 2014 juga muncul dalam diskusi di LPDS yang melibatkan lebih dari seratus alumni (LPDS didirikan oleh Dewan Pers pada 23 Juli 1988. Hingga akhir November 2015 memiliki 14.125 alumni.) Untuk itu, berdasarkan diskusi melalui milis (mailing list) maupun laporan peserta pendidikan dan pelatihan LPDS dari berbagai provinsi di negeri ini berkaitan dengan Pemilu 2014 disusun anatomi kecenderungan posisi wartawan sebagai berikut.

  1. Wartawan yang karena kebijakan redaksi perusahaan persnya ditugasi meliput salah satu atau beberapa partai politik, termasuk peliputan kegiatan ketua umum partai.
  2. Wartawan yang menyebut “atas nama hak politiknya” ikut menjadi simpatisan partai politik tertentu. Di kelompok ini ada pula yang kemudian menjadi anggota (kader aktif) partai politik.
  3. Wartawan yang mengakui secara terbuka (dan menjalaninya tanpa pernah mengakui) bahwa terlibat sebagai bagian dari tim sukses partai politik. Bahkan ada pula yang menjadi spin doctors di partai politik, terutama bagi kepentingan ketua umumnya. Pengertian bebas spin doctors wartawan sebagai individu yang memiliki kemampuan menguasai publik, menggerakkan massa dan menguasai media sekaligus sebagai konseptor politik yang bertujuan mempengaruhi.
  4. Wartawan yang juga menjadi pengurus partai politik.
  5. Wartawan yang setelah melalui tahap kecenderungan 1 s.d. 4 menjadi calon legislator di tingkat daerah maupun Nasional.
  6. Wartawan yang secara langsung, tanpa melalui tahap kecenderungan 1 s.d. 4, menjadi calon legislator di tingkat daerah maupun nasional.
  7. Wartawan yang setelah melalui tahap kecenderungan 1 s.d. 4 menjadi calon kepala/wakil kepala daerah. Di antara mereka ada yang berhasil menjadi kepala/wakil kepala daerah.
  8. Wartawan yang tiba-tiba saja‖ terlihat menjadi calon independen kepala/wakil kepala daerah. Di antara mereka ada yang juga berhasil menjadi kepala/wakil kepala daerah.

Delapan kecenderungan semacam itu sudah berlangsung cukup lama. Pada masa Orde Baru banyak pula wartawan yang menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat melalui jalur partai politik ataupun utusan golongan.

Organisasi profesi wartawan sejak reformasi 1998 ada yang membuat ketentuan khusus menyangkut posisi wartawan yang menjadi anggota organisasi bersangkutan dalam partai politik.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi profesi wartawan Indonesia tertua, didirikan 9 Februari 1946, dengan sekira 14.000 anggota pada akhir 2013, dalam Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT)-nya Pasal 20 ayat dua (2) menyebutkan: “Pengurus PWI di Pusat maupun di Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak boleh merangkap jabatan pengurus partai politik dan organisasi yang terafiliasi serta lembaga struktural di pemerintahan.”

Aliansi Jurnalis Independen dalam satu pasal Anggaran Rumah Tangga menyatakan, “Anggota AJI bukan pegawai negeri dan tidak boleh jadi pengurus partai politik.”

 Dewan Pers juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 02/SEDP/II/2014 tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa. Surat Edaran ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, pada 24 Februari 2014 untuk mendorong komunitas pers tetap menjaga integritas dan martabat pers sebagai pranata publik independen. Ilustrasi independensi pekerja media atau wartawan dapat dilihat seperti berikut ini.

Konten Digitalisasi Media

Pekerja media atau wartawan dalam tautan industri media di Indonesia dan kompetensinya semakin memperlihatkan kecenderungan menerapkan digitalisasi media.

Sementara itu, istilah media baru dalam digitalisasi media mengaplikasikan konsep multimedia, multitasking, multiplatform, multichannel. Industri media dalam media baru (new media) itu menerapkan sistem multimedia dari aspek pekerja media mengembangkan teknologi, multitasking dari aspek kinerja pekerja media atau wartawan mengerjakan satu pekerjaan untuk beberapa saluran komunikasi dengan pekerjaan lain dalam satu grup, multiplatform dari aspek pekerja media memanfaatkan sistem operasi (operating system) dengan alur kerja pada semua unit produksi informasi atau pemberitaan, dan multichannel dari aspek pekerja media menggunakan berbagai saluran komunikasi dalam grup media.

Wartawan dan publik juga memerlukan panduan tambahan guna mengetahui nilai berita berdasarkan analisa isi berita melalui mekanisme menguji pemberitaan yang sahih secara jurnalistik berdasarkan:  Fakta  Wawancara  Kelengkapan Data. Mekanismenya adalah sebagai berikut:

Di satu sisi mekanisme ini juga memudahkan publik dapat menguji sekaligus mengkaji sejauh mana perusahaan pers menghasilkan produk pemberitaan berkaidah jurnalistik.

Di sisi lain kemampuan wartawan dalam berkarya dengan berbagai kiatnya berdasarkan mekanisme seperti itulah yang membuat jurnalisme senantiasa tidak pernah berhenti untuk berlogika sehingga publik pun menanti kehadirannya. Pers yang dinanti kehadirannya oleh publik, inilah tantangan terbesar dalam industri multimedia massa.

Dalam kaitan ini pula para pemangku kepentingan pers nasional, terutama Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perlu memayungi pelaksanaan Standar Kompetensi Wartawan guna meminimalkan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Apakah ini semua sudah cukup untuk melindungi kepentingan publik?

Bisa jadi belum apa-apa, karena para pemangku kepentingan pers, sekali lagi dengan melibatkan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia beserta komunitasnya harus pula memberikan perhatian lebih kepada publik melalui kegiatan melek media (media literacy).

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, UNESCO) dalam Konferensi Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2010 di Brisbane, Australia, bahkan mencantumkan hak berinformasi menjadi salah satu bagian deklarasi bagi anggotanya.

“To promote media literacy and awareness about the right to information, including through incorporating these topics into school curricula and higher education courses, and training programs for civil services.” (Menggalakkan melek media dan kesadaran mengenai hak untuk berinformasi, termasuk mencantumkan topik ini ke kurikulum sekolah dan kursus di pendidikan tinggi, serta program pelatihan bagi kalangan pegawai negeri). Demikian salah satu butir Deklarasi Brisbane UNESCO 2010.

UNESCO, yang beranggotakan 193 negara dan tujuh asosiasi multinasional, untuk kesekian kalinya menegaskan pentingnya kemerdekaan berekspresi dan kebebasan pers. Namun, UNESCO kali ini menekankan pula tidak kalah pentingnya peran baik negara maupun pers untuk hadir lebih dekat kepada publiknya melalui program kegiatan melek media (media literacy).

Kegiatan melek media juga menjadi hal penting bagi publik untuk mengetahui sekaligus mendidik mereka memperoleh maupun membuat informasi yang sahih. Anggota masyarakat kini kian mudah membuat klaim dirinya sebagai wartawan warga (citizen journalist) melalui blog-nya, bahkan berkelompok dalam komunitas media jejaring social (social media).

Oleh karena itu pula, UNESCO menempatkan melek media (media literacy) sebagai kesadaran publik untuk mendapatkan haknya berinformasi.

Apalagi, deklarasi tersebut menekankan pula kekuatan dari teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK atau information, communication, technology/ICT) yang harus dibarengi hak publik untuk berinformasi dan mengembangkan kemajemukan dalam berbagai arus informasinya, termasuk informasi bermuatan kekerasan traumatis bukan dari multimedia massa, namun dari berbagai sarana berbasis Internet.

Bisa jadi untuk menjawab tantangan indutri multimedia massa adalah menjaga eksistensi untuk terus berinovasi menghadapi tuntutan publik yang terus mengikuti perkembangan zaman.

KESIMPULAN

Kinerja pekerja media atau wartawan berbasis kompetensi sebagai berikut.

  1. Wartawan dari media massa yang menjadi penentu pendapat publik dan penentu baik di pasar tiras maupun pangsa pasar iklan karena sering mendapat pendidikan dan pelatihan, agar lebih kompeten.
  2. Wartawan dari media massa yang menjadi penentu pendapat publik dan penentu baik di pasar tiras maupun pangsa pasar iklan, namun kurang mendapat pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan sehingga membuat kompetensinya kurang berkembang.
  3. Wartawan dari media massa yang menjadi pengikut pendapat publik dan hanya menjaga eksistensinya, tanpa pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan sehingga memerlukan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk mengembangkan kompetensinya.
  4. Wartawan dari media massa yang belum memenuhi standar perusahaan pers sesuai peraturan Dewan Pers, sehingga sangat memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya.
  5. Teknik Grafika dan Penerbitan berasaskan jurnalistik sebagai sekolah atau pendidikan jurnalisme. Ada respons pedagogis dari kesadaran akan kurangnya endorsement akademik pada bidang pendidikan ini. Pada perkembangannya, namanya bukan lagi jurnalisme, tapi ilmu komunikasi, komunikasi sosial, marketing dan komunikasi. Spektrum pendidikannya terus-menerus diperluas, kini mencakup multimedia dengan multiplatform, multichannel, multitasking.***
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

« Entri Sebelumnya

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...