Apa&Siapa

Fenomena Buku Ajar Harapan Penerbit

Posted on 22 Agustus 2013. Filed under: Apa&Siapa |

Bahan ajar sebagai saluran komunikasi pengajar untuk mahasiswa berfungsi menyampaikan informasi dan teks. Pengajar memerlukan bahan ajar sebagai bagian dari perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar bagi pengajar dalam segala bentuk komunikasi memiliki daya tarik untuk merealisasikan efektivitas belajar-mengajar di kelas.

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber IdeBahan ajar dalam struktur seperangkat materi (informasi dan teks) disusun oleh pengajar secara sistematis, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga tercipta lingkungan atau suasana belajar yang menyenangkan bagi mahasiswa. Efektivitas bentuk komunikasi bahan ajar seperti itu disampaikan oleh pengajar melalui bahan cetak (buku, handout, diktat), audiovisual (video atau film, VCD), audio (radio, kaset, CD audio), visual (foto, gambar, model atau maket), dan multimedia (CD interaktif, computer based, internet).

Saat ini, bahan ajar yang dianggap paling efektif bagi sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia menggunakan medium komunikasi buku. Bahan ajar yang diterbitkan oleh pengajar disebut buku ajar. Di kampus-kampus, buku ajar mendominasi praktik belajar mengajar, meskipun ada kecenderungan baru bahwa buku ajar yang disampaikan oleh pengajar melalui medium digital merupakan cara mengajar paling efektif. Namun, efektivitas mengajar pada saat ini tetap terjaga jika pengajar menggunakan saluran komunikasi melalui buku, baik buku dari penerbit di luar kampus maupun buku dari penerbit di dalam kampus.

Fenomena buku ajar harapan penerbit cenderung berorientasi pada nilai jual. Makna nilai jual berawal dari semakin marak penerbitan buku digital. Kementerian pendidikan nasional Republik Indonesia, misalnya menerbitkan buku sekolah elektronik. Buku teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008. Pembelajar dapat mengunduh mata pelajaran melalui internet.

Media cetak ramai-ramai mengubah format cetak ke digital. Dalam dunia penerbitan majalah, Newsweek misalnya juga menghentikan edisi cetak beralih ke digital. Edisi terakhir versi cetak terhitung terbitan sejak 31 Desember 2012. Padahal, hampir 80 tahun Newsweek terbit dengan format cetak.

Pada 2013 ini dunia penerbitan mengalami perubahan dan perkembangan pesat. Kebanyakan pembaca setia media cetak perlahan-lahan membuka diri mengakses media digital. Bukan hanya mengakses media digital, melainkan juga membuat, menulis, mendistribusikan informasi dan teks yang diperoleh oleh pengakses. Dunia baru digitalisasi, entah digital native entah digital imigran melakukan tindak komunikasi menjadi reporter digital (citizen journalism).

Digitalisasi pencetakan (digital printing) merombak total mekanisme penerbitan media cetak. Mau tak mau penerbit akrobatik. Proses pencarian naskah dan penerbitan buku tak lagi berlaku paradigma lama. Pola tradisional menempatkan posisi penulis sedemikian tinggi; pemilik naskah menjadi si kreator. Kini berhubungan dengan digitalisasi pencetakan, posisi penulis menganut paradigma baru. Pola baru yang modern ini menempatkan penulis bukan hanya kreator naskah, melainkan juga penulis sebagai tenaga pemasar yang tangguh, efektif, dan bernilai jual.

Pada hakikatnya buku ajar dapat menjadi saluran komunikasi yang memudahkan mahasiswa belajar. Pemakaian buku ajar di kampus-kampus untuk perguruan tinggi memiliki kekhasan tersendiri. Tidak seperti buku ajar untuk murid SD dan siswa SMP/SMA yang dicetak puluhan ribu eksemplar sekali cetak, buku ajar untuk mahasiswa biasanya hanya dicetak paling banyak dengan oplah 3.000 eksemplar. Tidak seperti buku ajar pendidikan dasar dan menengah yang dapat digunakan oleh pengajar di sekolah manapun di Indonesia, buku ajar pendidikan tinggi biasanya hanya digunakan oleh pengajar untuk mahasiswa di lingkungan terbatas (di satu universitas atau di dua-tiga universitas).

Serpong-20110926-00306.jpgBuku ajar pendidikan tinggi ditulis oleh pengajar yang berkompeten pada bidangnya. Pengajar mengampu mata kuliah berdasarkan kompetensi dalam disiplin ilmu tertentu. Namun, sampai sekarang pengajar yang menjadi penulis buku ajar terbatas pada perguruan tinggi tertentu sehingga belum secara signifikan memenuhi kebutuhan mahasiswa. Sementara itu, mahasiswa memiliki keterbatasan memperoleh buku ajar dalam format yang sesuai dengan fakultas atau jurusan. Tentu ada pelbagai penyebab mengapa kebanyakan pengajar yang aktif mengajar perlu meningkatkan  produktivitas penulisan buku ajar.

Sejumlah keterbatasan buku ajar berkorelasi antara penerbit dan pengajar. Penerbit memiliki kriteria tertentu, sebaliknya pengajar memiliki ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan tempat ia mengajar. Antara penerbit yang berorientasi pada profit dan pengajar yang berorientasi pada penulisan keilmuan jadi saling berseberangan. Misi saling berbeda. Itulah sebabnya, penulis dan penerbit sebaiknya menggunakan misi sejenis, yakni menerbitkan buku ajar bernilai jual yang memenuhi harapan penerbit dan pengembangan keilmuan.

Sesungguhnya, pengajar yang menjadi penulis buku ajar dapat mengikuti alur kerja redaksi penerbit untuk mengetahui kriteria tertentu yang mempercepat proses penerbitan, khususnya dari penerbit eksternal kampus. Namun, barangkali pengajar belum mengetahui cara menuliskan naskah untuk buku ajar yang mendukung persyaratan dari penerbit, apalagi jika pengajar baru pertama kali menulis naskah untuk buku ajar.

Untuk itu, sejumlah persoalan menjadi kendala berkaitan dengan program yang patut disampaikan oleh penerbit atau pengajar. Kendala pengajar untuk menerbitkan buku dapat menjadi mekanisme pengendalian yang mempermudah, apabila pengajar bekerja sama deengan penerbit. Program kerja sama dapat berupa penyelenggaraan magang atau pelatihan (training) oleh penerbit, yang menyadari bahwa hari esok akan dikuasai oleh pengajar yang produktif menulis naskah. Asumsinya, pengajar produktif pada saat ini adalah pengajar yang tidak berhenti menulis naskah dengan memperbarui ilmu dan pengetahuan. Hal itu, sesuai dengan misi utama lembaga pendidikan tinggi yang memfasilitasi pengajar memiliki kemauan untuk mengembangkan diri dengan visi utama pengajar Indonesia berwawasan global.

Program pelatihan merupakan saluran komunikasi untuk meningkatkan produktivitas pengajar menulis buku. Lembaga pendidikan atau pengajar mengikuti pelatihan manajemen penulisan buku ajar dari penerbit yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyelenggara pelatihan dipilih oleh lembaga pendidikan berdasarkan ketentuan lembaga pelatihan representatif yang beridentitas jelas, serta terbukti kompetensi, konsistensi dan eksistensinya.

Itulah sebabnya, ada lembaga pendidikan tinggi yang hanya menyelenggarakan pelatihan berorientasi pada penulisan buku ajar, ada pula pelatihan penulisan buku ajar bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan penerbit. Bentuk pelatihan dapat diikuti oleh pengajar, antara lain lokakarya (workshop), seminar, simposium dan diskusi. Selain pelatihan, pengajar juga kerapkali dapat belajar sendiri dari buku berkenaan dengan penyajian susunan panduan penulisan buku ajar, khususnya bagi pengajar yang belum tahu sama sekali bagaimana cara membantu penerbit (editor penerbit) atau lembaga pelatihan profesional. Tentu harapannya penulis atau pengajar dapat menyusun naskah berdasarkan apa yang menjadi harapan penerbit atau penyelenggara pelatihan. Fenomena penulis menerbitkan buku harapan penerbit bertujuan untuk meningkatkan nilai jual buku ajar dan pelayanannya.

Akan tetapi, penerbitan naskah menjadi buku oleh pengajar sering memerlukan waktu agak lama. Lamanya pertimbangan naskah dari penerbit mencapai tiga bulan sejak redaksi penerbit menerima naskah. Karena itu, tidak semua pengajar tertarik menerbitkan buku ajar yang dikirim oleh penulis ke luar kampus. Belum lagi, waktu menunggu buku ajar terbit. Boleh jadi, buku ajar belum berhasil diterbitkan oleh penerbit, masa belajar per semester mahasiswa sudah rampung. Padahal, setiap disiplin ilmu memiliki materi yang senantiasa berkembang pesat.

Menurut Pamusuk Eneste, Editor Senior dari Penerbit Gramedia, ketika ia menelusuri kendala penerbitan buku ajar, ternyata lama waktu penerbitan sering disebabkan oleh pengajar yang belum siap mengirim naskah. Ketidaksiapan naskah bukan hanya dapat berupa kurang lengkapnya unsur naskah, melainkan juga pengalimatan yang menyebabkan pada kebanyakan penulis menggunakan kalimat “tidak jalan” atau tidak logis. “Boleh jadi pula karena penulis (pengajar) kurang memperhatikan ejaan naskah,” tambahnya.

Berdasarkan aspek materi atau isi, sebetulnya naskah buku ajar yang dimiliki oleh pengajar layak untuk dipublikasikan. Keberhasilan penerbitan naskah menjadi buku tentu mempermudah pengajar menyampaikan materi. Apalagi buku ajar itu sebagai buku pegangan yang ditulis oleh pengajar di kelas. Pada praktiknya, kendala yang sering muncul ketika kebanyakan pengajar mengalami keraguan, mengapa pengajar harus menulis buku ajar, diikuti oleh sejumlah pertanyaan lain, seperti mengapa pengajar sulit menulis buku ajar dari kampus, tempat ia mengajar? Mengapa naskah yang dikirim oleh pengajar ke penerbit cenderung dikembalikan oleh penerbit? Ketentuan apa yang dimiliki oleh penerbit ketika menerima naskah untuk diterbitkan?

1.2 Masalah Pokok

Buku yang baik menjadi langka.Pertanyaannya, mengapa pengajar tidak menulis buku ajar menghasilkan temuan berupa pengakuan. Seringkali ada kendala menulis buku ajar yang berupa keraguan mengapa pengajar harus menulis buku ajar. Asumsinya, tugas utama pengajar hanyalah mengajar dan mendidik mahasiswa. Berdasarkan penelusuran minat pada saat pelatihan, pengajar yang berhasrat menulis buku ajar cenderung memiliki kendala, antara lain pengajar terjangkit rasa cemas, pengajar memiliki ketidaktahuan cara menulis buku ajar yang layak diterbitkan.

Kelayakan terbit buku ajar yang ditulis oleh pengajar seringkali juga berkaitan dengan prospek potensial buku yang diminati oleh mahasiswa. Karena itu, melalui pendekatan fenomenologi akan memberi jawaban atas pertanyaan mengapa pengajar tidak menulis buku ajar dan bagaimana menulis buku ajar yang diharapkan oleh penerbit serta siapa pembaca prospek potensial buku ajar yang diharapkan oleh penerbit agar buku ajar terbit tepat waktu yang meningkatkan nilai jual.

Berdasarkan sejumlah fenomena melalui pertanyaan itu, pertanyaan utamanya, “Apa saja gambaran keinginan pengajar menulis buku ajar pada saat pelatihan sesuai dengan harapan penerbit?

Perincian dari pertanyaan utama itu sebagai berikut.

Bagaimana gambaran buku ajar secara deskriptif yang patut ditulis oleh pengajar?

Bagaimana gambaran buku ajar yang dapat digunakan oleh mahasiswa?

Bagaimana gambaran keinginan pengajar menulis buku ajar setelah mengikuti pelatihan?

Bagaimana upaya pengajar memotivasi diri setelah mengikuti pelatihan penulisan buku ajar?

Bagaimana kemampuan pengajar menuliskan materi perkuliahan dalam buku ajar sesuai dengan harapan penerbit?

Harapan apa dari penerbit yang disampaikan kepada pengajar sebagai penulis?

1.3 Tujuan Penelitian

Saat ini setiap pengajar memiliki otonomi dan kemerdekaan untuk menentukan buku yang digunakan di satu universitas. Boleh jadi pada satu universitas merasa “turun gengsi” jika harus menggunakan buku ajar yang ditulis oleh pengajar dari universitas lain. Dengan kata lain, tiap universitas ingin menggunakan buku ajar yang ditulis oleh pengajar dari universitas yang bersangkutan.

Bagi penerbit buku ajar, keadaan semacam itu memiliki tantangan tersendiri. Di satu pihak, pasar buku ajar untuk penerbit terbuka luas karena tiap universitas ingin menggunakan buku ajar yang ditulis oleh pengajar universitas yang bersangkutan. Di lain pihak, penerbit dapat menerbitkan buku ajar untuk setiap universitas yang sesuai dengan disiplin ilmu. Hal ini merupakan peluang! Pengajar dan penerbit dapat meningkatkan nilai jual buku ajar. Namun, apakah mungkin satu penerbit melayani semua universitas — entah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, entah di Indonesia — untuk menerbitkan buku ajar?

Atas dasar itu, tulisan ini bertujuan sebagai berikut.

a. Menjelaskan tindak komunikasi pelatihan dalam penulisan buku ajar bagi pengajar;

b. Menjelaskan komponen persyaratan buku ajar untuk meningkatkan nilai jual demi kontinuitas penerbitan;

c. Menjelaskan hubungan antara pelatihan dalam penulisan buku ajar dan penerbitan buku ajar dalam disiplin ilmu yang memiliki nilai jual.

1.4 Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Akademik

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan teoretis. Secara teoretis penelitian ini dapat bermanfaat antara lain:

Memberikan perubahan paradigma pengajar selaku penulis terhadap penerbit;

Memberikan pengaruh berdaya guna secara teoretis, metodologis dan empiris untuk kepentingan akademis pada ilmu komunikasi.

b. Kegunaan Akademik

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan akademik. Secara teoretis penelitian ini dapat bermanfaat antara lain:

Memberikan manfaat kepada pengajar sebagai penulis untuk menguasai pola dan strategi menerbitkan naskah buku ajar;

Memotivasi pengajar untuk menulis buku ajar yang diharapkan oleh penerbit.

c. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan informasi bagi pengajar yang lain untuk memperbaiki, meningkatkan, dan mengembangkan kerja sama: (1) sesama pengajar seprofesi dengan mata kuliah sejenis; (2) sesama pengajar seprofesi yang berbeda perguruan tinggi; (3) sesama pengajar memperluas jaringan pengguna buku ajar antarmahasiswa.

Hasil penelitian juga berguna sebagai bahan masukan untuk direktorat pendidikan tinggi yang merencanakan, melaksanakan, menempatkan, dan melakukan pengawasan serta mengevaluasi kinerja pengajar menulis buku ajar.

1.5 Asumsi

Asumsi yang dirumuskan sebagai landasan hipotesis kerja adalah “Semakin tinggi keinginan pengajar menulis buku ajar, semakin mempermudah pengajar menguasai apa tulisan yang menjadi harapan penerbit”.

Produktivitas pengajar yang menulis buku ajar memiliki tujuan yang bermacam-macam. Namun, pada hakikatnya pengajar menjadi penulis sudah memiliki medium komunikasi untuk memperoleh pengakuan atas kompetensi sesuai dengan disiplin ilmu. Jika lembaga pendidikan tidak memiliki pengajar yang adaptif dan kreatif pada penulisan buku ajar, maka kurang optimal hasil tulisannya. Pimpinan dalam lembaga pendidikan sebaiknya dapat membujuk pengajar untuk menulis buku ajar yang sesuai dengan harapan penerbit.

Asumsinya, jika penerbit bersedia menerbitkan buku ajar dari pengajar, pihak penerbit cenderung optimis untuk memasarkan buku. Penyebabnya, buku yang dipakai oleh mahasiswa menjadi buku yang memiliki nilai jual. Jadi, buku ajar akan laku di pasar, artinya buku ajar itu dapat digunakan oleh banyak mahasiswa. Namun, jika ternyata buku ajar benar-benar tidak laku, pengajar yang bersangkutan tetap dapat turut mempromosikan isi buku itu sesuai dengan kompetensi sebagai pengajar ke kampus-kampus yang ia ampu.

Bab II

Kerangka Teori

 

plagiatorDalam lingkup kerangka teori, peneliti akan mengungkap empat hal krusial yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Pertama, berkaitan dengan perspektif teori. Dalam disiplin Ilmu Komunikasi, teori memiliki posisi dan perspektif luas yang berimplikasi pada metodologis. Kedua, teori yang dipakai oleh peneliti untuk meneliti dengan konsep-konsep utama dan teori-teori pendukung. Bagian ini menjelaskan premis-premis utama yang menerangkan seperangkat cara pandang (epistemologis) dan ontologis, serta implikasi metodologis sesuai dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan oleh peneliti. Ketiga, jalinan pemikiran terkait dengan lingkup dan perspektif teori yang digunakan oleh peneliti. Keempat, objek penelitian dan posisi subjek penelitian dalam teori penelitian. Uraian bab proposal penelitian ini bukan hanya mengurai hasil penelitian tentang penulisan buku ajar dari pengajar sebelumnya, melainkan juga terlebih dahulu dikemukakan oleh peneliti posisi teoretis dan metodologis.

2.1     Tinjauan Pustaka

2.1.1   Telaah Penelitian Penulisan Buku Ajar Melalui Jurnal

Penulisan buku ajar merupakan praktik ilmu komunikasi yang menggunakan metode penelusuran mencari informasi dan teks. Dari siapa muncul penulisan buku ajar? Penelaahan jurnal karya ilmiah berikut ini dapat dirujuk oleh peneliti untuk menentukan posisi teoretis dan metodologis.

Teachers around the world create teaching materials, search professional materials available on the web and share their repositories and ideas through on-line social networks. While there are teachers calling for greater participation in choosing and authoring their textbooks, it is as yet unclear whether and how teachers—and then also schools, districts and teachers’ professional societies—could already start playing a major role as designers and developers of curriculum materials and how that would change their use of  textbooks in a sustained way. Below I review four challenges arising from what I see as a sensible and perhaps even practical scenario: Everybody Writes (Textbooks)!

The challenge of authority

Textbooks are meant to provide guidance to and present opportunities for students to learn by making the objectives and ideas of the curriculum more readily apparent to them.  Textbooks also provide guidance to teachers, helping ensure their teaching is in line with the expectations of the external authority. As there is a direct etymological link between “author” and “authority” (Young, 2007; Herbel-Eisenmann 2009) a textbook’s authoritarian position derives from the fact that it is written by a recognized expert (or a recognized group of experts). Textbook publishers have already begun addressing a wide range of changes they expect to emerge from the affordances of digital objects, starting from material aspects such as weight and cost and of course quality (e.g. attractiveness of graphics and up-to-date information), to the possibilities of personalization and personal authoring using open resources.  At the same time, different textbook stakeholders would like to figure out more than that: will the idea of the textbook as external authority represented by the expert author remain the norm or will new trends of authoring transform that  authority and expertise into something else.

Challenge 1:  the changes on the horizon, especially those directly touching upon inquiry teaching and learning from open educational resources that advocate community writing—and that seem to be the right ones to support constructivist pedagogies—challenge the accepted and still dominant functions of the textbook and textbook culture.

The challenge of coherence

Digital learning objects have been populating the web for a long time already, but few teachers view using them as a natural and essential part of the curricular materials. Worldwide reports draw a common picture: Technological resources—however much they may be appearing as adjacent to the newer published textbooks,—are likely to be seen as enrichment rather than the core. Another documented phenomenon is that successful Open Source projects are modular in nature. For example, the Lenox open source programming derives its success from being completely modular, as Bonaccorsi & Rossi (2003) explain: “The most important feature of Linux is, in fact, its small and compact kernel that carries out the basic operating system tasks. The system capabilities can be extended by independent modules that are loaded on demand when the system is active and particular jobs need to be performed and can be automatically unloaded if they are no longer required” (p.1247). The success of Wikipedia is similarly rooted in the modular nature of encyclopedia. I agree with the important distinction that Benkler  (2006) offers to support his speculation about the collaborative authoring of textbooks: “Because of the nature and cadence of a textbook, in particular the requirement that it adhere to state-set standards, that it be approved as such, and that these be adhered to in a way that is coherent throughout the book, there may be basic limits on the degree to which a genuine K-12 textbook can in fact be organized for peer production.” ( p. 30)

Challenge 2: If we see the textbook as a message about how and which content should be taught, then coherence is a major requirement. Developing understanding of how coherent an innovation is may well be the greatest challenge for teachers (Fishman et. Al 2011, Chazan 1999). Designing with open source repositories would have to reach and proclaim visible coherence.

The challenge of quality

Observation 1: An immediate outcome of the removal of external expert authority is the search for alternatives that can help establish confidence and trust in the  resources (Coyne 2010). Designing ways to evaluate contributions is one of the huge challenges our digital networked culture will have to confront and so far we have only a few examples of how to rethink determining the quality of curricular resources [http://cnx.org/help/viewing/lenses ].

Observation 2: There are not many textbooks to be found under Wikibooks and most of these seem to have been authored by a single writer, sometimes with minor contributions from a small group [retrieved 26 January 2011]. Similarly, the texts at CK12.org, which are offering the largest collection of flexible school textbooks and tools for authors and contributors (http://archive.ck12.org/flexbook/), do not feature large authoring communities.

Challenge 3: On the assumption that quality is ensured by the participation of large communities and that a crucial part of what makes for high quality open source products is the size of the authoring and participating community, we need to acknowledge that the relatively small educational communities that exist so far carry ramifications that challenge acceptable measures of quality.

The challenge of sustainable leadership

Bonaccorsi & Rossi (2003) state that “Two factors shape the lifecycle of a successful Open Source project: a widely accepted leadership setting the project guidelines and driving the decision process, and an effective co-ordination mechanism among the developers based on shared communication protocols. ….In general, no one in the project is forced to perform a particular task but agents choose freely to focus on problems that they think to best fit their own interests and capabilities.” (p. 1246-7)

Teachers are unlikely to commit themselves to long-term participation in an evolving coherent project. The relatively rare evidence of successful cases of teachers’ long-term collaboration in designing their teaching materials as reported by Chazan et al. (2007) and Fishman et al. (2011), supports this speculation.

Challenge 4: A more central role for teachers as designers and authors seems impossible to imagine without some fundamental changes in the work-life of the teacher; the daily pressures of time and interactions may limit visions, even of teachers bloggers, for the participation of teachers in the creation of curricular materials. (Chazan & Yerushalmy in process)

Beragam bentuk buku yang digunakan di perguruan tinggi sangat menentukan banyak hal. Dilihat dari cara pengajar menulis buku, maka buku yang digunakan oleh kebanyakan mahasiswa berkaitan dengan mata kuliah dasar umum, seperti agama, bahasa, Pancasila. Kalau dilihat dari aspek mata kuliah sebagai dasar keahlian, cenderung sifat buku dasar keilmuan yang diterbitkan, seperti ilmu pengantar atau dasar-dasar ilmu dan pengetahuan. Demikian pula kalau dilihat dari motivasi pengajar menulis akan tercermin dari bentuk buku. Berdasarkan bentuk akan menentukan penggunaan atau fungsi buku. Berdasarkan fungsi, model pembelajaran bagi mahasiswa juga sangat menentukan penulisan buku. Pengajar yang menulis buku ajar akan menentukan nilai kredit untuk promosi kenaikan pangkat dan jabatan.

Pengajar atau dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (Undang-undang nomor 14 tahun 2005, pasal 1 ayat 2)

Atas dasar itu, beberapa bentuk buku di perguruan tinggi ikut menentukan pilihan pengajar yang menulis buku, seperti buku ajar, buku referensi, buku diktat, modul ajar, buku monograf, buku petunjuk praktikum. Bentuk-bentuk buku itu banyak digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Bentuk-bentuk buku pembelajaran yang dibahas mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36/D/O/2001 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Pengajar.

2.2 Pengertian Buku Ajar

Riset PemasaranSeperti tergambar pada namanya, buku ajar atau buku pelajaran adalah jenis buku yang digunakan dalam aktivitas belajar dan mengajar. Pada prinsipnya, semua buku dapat digunakan untuk bahan kajian pembelajaran, asalkan relevan dengan pokok bahasan pelajaran. Namun, buku ajar mengandung pengertian terkait dengan cara penyusunan dan penggunaan dalam pembelajaran, serta distribusi penyebaran sehingga buku itu termasuk kategori buku ajar.

Buku ajar disusun dengan alur dan logika sesuai dengan rencana pembelajaran. Buku ajar disusun sesuai dengan kebutuhan belajar mahasiswa. Buku ajar disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu. Karena buku ajar disusun oleh pengajar berdasarkan rencana pembelajaran, biasanya dimulai dengan menetapkan terlebih dahulu tujuan pembelajaran (learning objective), kemudian membuat diagram alir yang dikenal dengan sebutan analisis pembelajaran (instructional analysis), dilanjutkan dengan membuat rencana pembelajaran, selanjutnya menyusun buku ajar.

Apabila diperhatikan menulis buku ajar sebagai keniscayaan dari para pengajar dalam menyusun rencana pembelajaran. Jadi, pengajar diandaikan selama karier dapat menulis buku ajar. Dalam hal ini, ada tiga tugas utama pengajar untuk pembelajaran. Pertama, merancang rencana pembelajaran, termasuk di antaranya tugas membuat bahan ajar (buku ajar). Kedua, melaksanakan pembelajaran. Ketiga melakukan evaluasi terhadap pencapaian belajar mahasiswa.

Buku ajar berfungsi menimbulkan minat dan motivasi mahasiswa dan pembaca. Motivasi pembaca dapat timbul karena bahasa yang sederhana, mengalir dan mudah dipahami. Motivasi dapat timbul karena banyak gagasan dan ide-ide baru. Motivasi dapat timbul karena buku ajar mengandung berbagai informasi yang relevan dengan kebutuhan belajar mahasiswa dan pembaca.

Untuk menyempurnakan pengertian tentang buku ajar, berikut ini apa yang dimaksudkan dengan buku ajar, disampaikan materi sesuai dengan Kepmen Nomor 36/D/O/2001, Pasal 5, ayat 9(a): Buku ajar adalah buku pegangan untuk suatu mata kuliah yang ditulis dan disusun oleh pakar bidang terkait dan memenuhi kaidah buku teks serta diterbitkan secara resmi dan disebarluaskan.

Jadi, kata kuncinya, buku ajar disusun oleh pengajar sesuai dengan mata kuliah tertentu, diterbitkan secara resmi dan disebarluaskan (Artinya, buku itu menggunakan kode bar atau barcodeinternational standard book number atau ISBN).

Untuk kebutuhan promosi kenaikan pangkat, buku ajar dihargai dengan kredit sebesar 20, termasuk kategori pendidikan (A).

2.3 Penerbitan Buku Ajar

Ninok 1Menurut Pamusuk Eneste, Pengajar Senior dan Editor Senior Penerbit Gramedia, sekitar tahun ‘70-an, buku ajar yang digunakan di Universitas Indonesia (UI) masih dapat digunakan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Begitu pula sebaliknya. Buku Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, pada tahun ‘70-an digunakan di UI, UGM, dan Universitas Padjadjaran sekaligus. Barangkali ini disebabkan pada saat itu pakar/ahli di bidang tertentu masih sedikit. Jadi, seorang ahli di UI masih “diakui” di UGM. Demikian juga sebaliknya.

Sekarang kecenderungannya tidak lagi begitu. Ada kecenderungan, buku yang digunakan di UI tidak digunakan oleh pengajar di UGM. Begitu pun sebaliknya. Buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo dari UI, 1978) sudah didampingi/disaingi oleh buku Memahami Ilmu Politik (Ramlan Surbakti dari Universitas Airlangga, 2000), dan buku-buku lain. Barangkali ini terjadi karena semakin banyak pakar/ahli di berbagai bidang ilmu. Para pakar itu tidak hanya ada di satu universitas/perguruan tinggi, tetapi ada di  beberapa atau di banyak universitas.

Kecenderungan jumlah pakar dalam disiplin ilmu tertentu semakin banyak, penerbit buku ajar juga mempertimbangkan banyak hal. Ada kriteria yang mau tak mau harus penerbit tetapkan. Tentu tolok ukur antara satu penerbit dan penerbit lain memiliki perbedaan. Pada umumnya, garis besar ketentuan antarpenerbit memiliki kemiripan. Namun, penerbit yang memiliki tolok ukur pada umumnya sama dengan tolok ukur buku ajar versi Unesco (united nation educational and scientific council). Pada umumnya, tolok ukur buku ajar yang baik untuk penerbitan buku ajar sebagai berikut.

Format buku sesuai dengan format ketentuan UNESCO, yaitu ukuran kertas A4 (21 x 29,7 cm);

Memiliki ISBN (International Standard Book Number);

Bergaya bahasa semiformal;

Struktur kalimat minimal subjek, predikat, objek, keterangan;

Mencantumkan tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, dan kompetensi;

Disusun sesuai dengan Rencana Pembelajaran;

Menyertakan pendapat atau mengutip hasil penelitian pakar;

Menggunakan catatan kaki/catatan akhir/daftar pustaka dan jika mungkin menyertakan indeks;

Mengakomodasi hal-hal atau ide-ide baru;

Diterbitkan oleh penerbit yang kredibel;

Tidak menyimpang dari falsafah negara kesatuan Republik Indonesia;

Adapun setiap halaman buku ajar hendaknya mengindahkan ketentuan sebagai berikut.

Setiap alinea berisi satu pokok pikiran.

Menggunakan alinea yang pendek.

Menggunakan kalimat pendek agar mudah diingat (10–14 kata per kalimat).

Setiap halaman dibuat menarik dan mudah diingat secara verbal atau visual (mengindahkan kaidah penggunaan tipografi dan tata letak yang baik);

Setiap halaman berisi teks, grafik/diagram, tabel, gambar (berupa foto atau ilustrasi), inset pengingat, inset histori;

Menuliskan kalimat motivator dan inspirator.

Sisi lain yang dianggap menarik bagi pengajar, jika berhasil menulis dengan bentuk kategori buku referensi, penghargaan dalam bentuk nilai kredit yang lebih besar, yaitu 40 dan termasuk kelompok penelitian (B). Berikut ini pengertian buku referensi.

2.4 Pengertian Buku Referensi

IMG-20130529-00218Selain buku ajar, pembelajaran di perguruan tinggi sering menggunakan buku referensi. Buku referensi bukan hanya banyak digunakan oleh mahasiswa sebagai bahan kajian untuk perkuliahan, melainkan juga digunakan untuk rujukan penelitian mahasiswa dan dosen. Buku referensi ditulis dengan mengikuti alur dan struktur logika bidang keilmuan (scientific oriented). Isi  buku disusun oleh pengajar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh pengajar yang bersangkutan atau juga hasil penelitian orang lain yang relevan dengan bidang keilmuan tertentu.

Buku referensi jika digunakan dalam kegiatan pembelajaran masih diperlukan pendampingan dan penjelasan-penjelasan dari pengajar. Struktur dan isinya tidak dirancang untuk kegiatan belajar mandiri. Bahasanya sangat formal, isi pernyataannya mengandung banyak pemikiran atau konsep-konsep dasar bidang ilmu, dan dapat dijadikan sebagai hasil penelitian terkini.

Posisi buku referensi dalam kegiatan pembelajaran lebih digunakan oleh pengajar sebagai rujukan untuk menyandarkan argumen, menggali pengertian baru, membandingkan konsep, dan sumber rujukan dalam penyusunan buku ajar. Digunakan oleh pengajar sebagai bahan acuan untuk penelitian untuk tugas akhir bagi mahasiswa program S-1 dan D-3, menulis skripsi atau tesis bagi mahasiswa program S-2, dan menulis disertasi bagi mahasiswa program S-3. Berikut ini dijelaskan perbedaan buku ajar dengan buku referensi.

Tabel Perbedaan Buku Ajar dan Buku Referensi

Buku Ajar Buku Referensi
Menimbulkan minat        pembaca Mengasumsikan minat pembaca
Ditulis dan dirancang untuk digunakan mahasiswa Ditulis terutama untuk digunakan dosen
Dirancang untuk lingkungan sendiri Diancang untuk dipasarkan secara luas
Berdasarkan kompetensi Tidak berdasar kompetensi
Disusun berdasarkan pola “belajar yang fleksibel” Disusun secara linier
Struktur berdasarkan kebutuhan mahasiswa dan kompetensi akhir yang akan dicapai Struktur berdasarkan logika bidang ilmu (content)
Berfokus pada pemberian kesem­patan bagi mahasiswa untuk berlatih Belum tentu memberikan latihan
Mengkomodasi kesukaran belajar mahasiswa Tidak mengantisipasi kesukaran belajar mahasiswa
Selalu memberi rangkuman Belum tentu memberikan rangkuman
Gaya penulisan komunikatif Gaya penulisan naratif, tetapi tidak komunikatif
Kepadatan berdasarkan kebutuhan mahasiswa Sangat padat
Dikemas dan digunakan dalam proses pembelajaran Dikemas untuk acuan penelitian dan pembelajaran
Mempunyai mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari mahasiswa (lembar kerja) Tidak mempunyai mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari pemakai
Menjelaskan cara mempelajari buku ajar Tidak memberikan saran-saran cara mempelajari buku tersebut

 

 

2.5 Pengertian Buku Ajar Penerbit

Sebuah naskah yang diterbitkan terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur tersebut secara berurutan dikenal sebagai kelengkapan naskah sebagai berikut:

1) halaman judul naskah (cover depan),

2) halaman prancis (judul inti/judul tidak lengkap),

3) halaman pelanggaran hak cipta,

4) halaman judul utama (judul lengkap),

5) halaman hak cipta,

6) halaman persembahan (dedikasi),

7)  daftar isi,

8) daftar tabel/gambar/lambang/ilustrasi,

9) prakata/kata pengantar,

10) kata pendahuluan,

11) bab-bab (Bab 1—Bab …),

12) daftar kata asing,

13) daftar istilah,

14) daftar pustaka,

15) lampiran,

16) indeks, dan

17) biografi singkat.

Unsur-unsur itu memang ditulis oleh penerbit secara lengkap. Namun, tidak berarti semua naskah harus memuat unsur-unsur tersebut. Hal ini tergantung dari naskah yang ditulis. Adakalanya, sebuah naskah tidak memerlukan unsur nomor le-8, yaitu daftar tabel/singkatan/lambang/ilustrasi/gambar. Jika demikian,  unsur nomor 8 tak perlu dicantumkan dalam Daftar Isi. Adakalanya, sebuah naskah/buku tidak ada indeks. Jika demikian, indeks tak perlu dituliskan dalam Daftar Isi. Namun, indeks untuk buku ajar menjadi persyaratan utama. Pihak Departemen Pendidikan Nasional mempersyaratkan indeks dituliskan oleh pengajar. Demikian pula dengan unsur lain yang tak ada dalam naskah; unsur itu tak perlu dimasukkan dalam Daftar Isi.

2.6 Buku Ajar yang Dapat Diterbitkan

Menurut Pamusuk Eneste, Editor Senior Penerbit Gramedia Jakarta, agar naskah buku ajar dapat diterbitkan oleh penerbit tentu harus memenuhi beberapa persyaratan: (a) memenuhi syarat secara teknis, (b) buku digunakan di dalam perkuliahan oleh pengajar yang menulis buku, dan (c) dan jumlah mahasiswa pemakai buku cukup signifikan.

Naskah buku ajar yang dapat diterbitkan pertama-tama harus memenuhi syarat teknis. Unsur-unsur kelengkapan naskah terpenuhi, mulai dari halaman judul (cover depan), halaman biografi singkat, hingga halaman terakhir sinopsis buku. Buku ajar itu digunakan oleh pengajar yang bersangkutan untuk mata kuliah yang diampu di universitas tempatnya mengajar. Lebih bagus lagi kalau pengajar mengajar di beberapa universitas sekaligus. Dengan demikian, pasar buku itu lebih luas dan tinggi bernilai jual.

Diasumsikan oleh pengajar bahwa sejumlah mahasiswa yang menggunakan buku signifikan. Jika jumlah mahasiswa si pengajar kurang, dia bisa bekerja sama dengan pengajar  lain agar menggunakan buku ajar tersebut. Bisa juga dengan minta bantuan teman pengajar (yang belum menulis buku untuk mata kuliah yang sama) agar menggunakan buku ajar tersebut dalam perkuliahan.

2.7 Kelemahan pada Draft Buku Ajar

Kelemahan naskah dari pengajar biasanya terletak pada (a) kelengkapan naskah, (b)  sistematika bab, dan (c) penyajian.

Terkadang ada pengajar yang menyerahkan naskah ke penerbit tanpa daftar isi, tanpa judul bab, tanpa daftar pustaka, atau tanpa biografi singkat. Padahal, unsur-unsur ini merupakan unsur yang wajib dalam naskah. Sering pula lampiran yang diperlukan tak disertakan; baru disertakan setelah editor/penerbit menyarankan/memintanya.

Sekiranya ada daftar isi, bukan tak jarang masih  “gundul” saja. Tidak ada nomor subbab dan sub-subbab. Demikian pula di dalam naskah. Tidak ditemukan penomoran subbab dan sub-subbab sehingga akan menyulitkan mahasiswa kelak.

Kedua kelemahan ini barangkali timbul karena ketidaktahuan pengajar akan kelengkapan buku atau ketidaktahuan pengajar akan tuntutan penerbit. Kelemahan yang lain, soal penyajian, khususnya yang menyangkut kebahasaan. Kelemahan ini berkaitan dengan ejaan (tanda-tanda baca, penulisan kata, huruf kapital, dan huruf miring) dan tata bahasa (kata baku, perincian, dan tata kalimat). Kelemahan ini akan kentara sekali pada penulis (pengajar) yang masih pemula. Itulah sebabnya dianggap oleh penerbit perlu diselenggarakan pelatihan khusus bagi pengajar sebagai calon penulis buku ajar, terutama bagi pemula. Dengan demikian, kelemahan pada draft buku ajar bisa diatasi.

2.8 Proses Penerbitan Buku

Waktu yang diperlukan guna memproses naskah menjadi buku sangat bergantung pada dua hal, yaitu (a) tebal naskah dan (b) kematangan naskah. Makin tebal sebuah naskah, makin lama pula pengerjaannya (proses penyuntingan, pracetak, pencetakan). Di pihak lain, makin matang naskah dari pengajar, makin cepat pula terbitnya sebagai buku itu. Naskah tipis/sedang dan matang rata-rata bisa terbit dalam tempo 3—6 bulan. Naskah tebal dan kurang matang rata-rata terbit dalam tempo 6—9 bulan. Waktu yang dibutuhkan ini tentu masih di luar waktu  untuk koreksi pruf-1 dari penulis yang lazimnya berkisar antara 7 hari sampai 14 hari. Jika pruf-1 lama dikembalikan oleh penulis (pengajar) kepada penerbit, tentu saja akan memperlama terbitnya buku tersebut. Demikian panduan yang dibuat dari sudut pandang penerbit.

 2.9 Hipotesis Kerja

Berdasarkan asumsi-asumsi yang dikemukakan, hipotesis kerja penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

Pengajar yang memiliki keinginan tinggi untuk menulis, semakin menguasai materi buku ajar yang diharapkan oleh penerbit.

Efektivitas mengikuti pelatihan tentang penulisan buku ajar berpengaruh signifikan pada kinerja pengajar yang menulis buku ajar.

 Bab III

Metode Penelitian

  

3.1 Metode Penelitian dan Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara dengan pendekatan kualitatif. Sifat analisis menggunakan mekanisme untuk menguji besarnya keinginan pengajar dan motivasi pengajar yang menulis buku ajar. Pengajar yang menjadi penulis berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengajar. Objek penelitiannya pengajar tetap dan pengajar tidak tetap yang mengajar di Universitas HAMKA, Jakarta. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi dokumentasi dan wawancara.

3.2 Informan Penelitian

3.2.1 Informan

Pada dasarnya informan penelitian terbagi menjadi dua bagian, yaitu informan target dan informan survei. Informan target adalah satu-kesatuan unsur-unsur yang berhubungan dengan penelitian dan merupakan kelompok ideal yang mewakili unsur-unsur target yang menjadi pusat perhatian penelitian. Informan survei adalah satu-kesatuan yang menjadi sampel penelitian.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, penelitian ini ditentukan bahwa informan target seluruh pengajar yang ada di lingkungan Universitas IMG-20130622-00327HAMKA, Jakarta. Informan survei adalah pengajar yang mengikuti pelatihan penulisan buku ajar di Universitas HAMKA, Jakarta.

3.2.2 Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

Data primer merupakan data yang diperoleh melalui observasi di lokasi penelitian. Data itu diperoleh melalui penyebaran keikutsertaan peneliti menjadi tutor  dan ditunjang oleh data hasil wawancara.

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bacaan beberapa referensi, seperti buku dan referensi lain yang dapat menjadi referensi dalam penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut.

Daftar pertanyaan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada infoman dalam kaitan dengan keinginan pengajar menulis buku ajar dan motivasi menulis buku ajar. Data yang dihasilkan dari penyebaran daftar pertanyaan dianalisis oleh pengajar untuk mengetahui hasil pengumpulan data.

Wawancara untuk mendapatkan informasi tentang keinginan pengajar menulis buku ajar dan motivasi pengajar menulis buku ajar serta dampaknya terhadap kinerja pengajar. Wawancara digunakan apabila data hasil wawancara dianggap belum cukup dan masih dibutuhkan data tambahan untuk menyempurnakan hasil penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan bentuk analisis sebagai berikut.

Teknik analisis kualitatif, yaitu analisis yang hanya dilakukan terhadap data informan dengan tujuan untuk mengetahui hipotesis kerja yang telah diajukan sebelumnya.

Bab IV

Daftar Pustaka

Arifin, Syamsul dan Tim P3AI-ITS. 2006. Buku Pedoman Penyusunan Bahan Ajar: dalam Bentuk Buku Ajar & e-Learning, P3AI-ITS

Arif, Zainudin Dr., W.P. Napitupulu, Dr., Prof. 1997. Pedoman Baru Menyusun Bahan Belajar, Jakarta: Penerbit Grasindo

Harefa, Andrias. 2002. Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hernowo. 2004. Quantum Writing; Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis, Penerbit MLC

Irkham, Agus M. Januari 2008. Bestseller Sejak Cetakan Pertama, Surakarta: Afra Publishing

Iyan Wb. 2007. Anatomi Buku, Penerbit Kolbu

Kusrianto, Adi. 2005. Huruf Display Dengan Komputer dan Manual. Jogjakarta: Penerbit Andi

Pannen, Paulina,Prasetya Irawan, Atwi Suparman. 1994. Pokok-pokok Panduan Penulisan Bahan Ajar di Perguruan Tinggi. PAU-Dirjen Dikti

Poerwandari, Kristi. 2009. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Putra, R. Masri Sareb, 2007. How to Write; Your Own Text Book, Penerbit Kolbu

Sakri, Adjat. 1997. Ejaan Bahasa Indonesia. Edisi 2. Bandung: Penerbit ITB

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional,Nomor : 36/D/O/2001 tentang  Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Anga Kredit Jabatan Dosen

Artikel “Teknik Penulisan Kutipan tulisan Muliadi Nur, pada situs http://muliadinur.wordpress.com

Artikel “Prospek Potensial Penerbitan Buku Ajar” tulisan johnherf pada situs https://johnherf.wordpress.com/2009/12/15/prospek-potensial-penerbitan-buku-ajar/

 Lampiran

Daftar Penerbit Buku Ajar atau Perkuliahan

1. Penerbit Salemba Empat

JI. Wijaya 2 Grand Wijaya Center Blok D-7 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Telp. 021-7258239

2. Penerbit Indeks

Puri Media Kembangan, J1. Topaz Raya Blok C2 No. 8, Jakarta Barat. E-mail: indeks@cbn.net.id

3. Penerbit Rajagrafindo Persada

Jl. Pelepah Hijau IV TN 1 No. 14-15 Kelapa Gading, Jakarta Timur.

4. Penerbit Ghalia Indonesia

JI. Rancamaya ml, Warung Nangka no. 47 Bojongkerta, Ciawi-Bogor Selatan 16720.

5. Penerbit Bumi Aksara

JI. Sawo Raya No. 18, Rawamangun, Jakarta 13220.

E-mail: ptuba@indosat.net.id

6. Penerbit Pradnya Paramita

JI. Bunga No. 8-8A, Matraman, Jakarta Timur 13140.

7. Grasindo, JaIan Palmerah Selatan 22–28, Jakarta 10270.

8. Graha Ilmu, Candi Gebang Permai Blok R No. 6 Yogyakarta 55511. Telepon 0274-4462135. Imel info@grahailmu.com

9. Erlangga, JaIan H. Baping Raya No. 100 Ciracas, Jakarta 13740. Imel editor@airlangga.co.id

10.     PPM (khusus bisnis dan manajemen), JaIan Menteng Raya No. 9, Jakarta 10340. Telepon 31909223, 2300313. Imel penerbit@Ippm.ac.id

11.     Rosda, JaIan Ibu Inggrid Garnasih (Ciateul) No. 40. Telepon (022) 5200287 Bandung 40253. Imel rosda@indosat.net.id

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Tilang di Bali dalam Perspektif “Inequality-Insecurity”

Posted on 4 April 2013. Filed under: Apa&Siapa | Tag:, |

Kasus tilang di Bali dalam perspektif “Inequality, Insecurity” menarik untuk menganalisis Teori Kapitalis. Mau tak mau, kapitalisme merasuk dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat di Bali. Perubahan sosial terjadi begitu cepat sehingga mengganggu tatanan hidup, harmonisasi dan keguyuban masyarakat. Ini fakta.

Seusai mencermati kiriman teks dan video via Blackberry Messenger berikut ini, saya menghubungkan kasus tilang di Bali dengan analisis Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI (Sindo, Kamis 4/4/13). Begini bunyinya:

Ulah polisi di Bali bkin malu aja. Minta uang sama bule, tapi dia tak sadar kalo si bule merekam semua! Please di share yak, buat pelajaran buat para bapak kita yg berpakain seragam coklat.

http://video.ak.fbcdn.net/hvideo-ak-prn1/v/755005_4060068880132_1071344825_n.mp4?oh=3013678b052e32176578a93e41a6b928&oe=515F0F46&__gda__=1365192421_e6292e304d621fbac48e2bbd19bc6174

Videonya seru. Lokasi per4’tan kerobokan Bali. Semoga aparat terkait bisa menindak dg keras agar oknum dipecat dg tidak hormat!!! Memalukan …!!!

Atas dasar itu, saya hubungkan kasus tilang Bali dengan analisis Rhenald Kasali. Berikut analisisnya!

Pertanyaan mendasar diajukan Jerry Muller dalam Jurnal Foreign Affairs bulan ini: mampukah kapitalisme mengatasi rasa ketidaknyamanan manusia? Kapitalisme tanpa disadari telah menimbulkan efek yang amat beragam: kemakmuran, inovasi, dan pertumbuhan, tetapi juga penghancuran-penghancuran dan rasa ketidaknyamanan. Munculnya kapitalis-kapitalis baru di sepanjang jalan dari Bandara Ngurah Rai menuju lingkaran Simpang Siur di Bali misalnya bisa saja menjadi mesin penghancur bagi Pasar Seni Sukowati (Kabupaten Gianyar).

Turis-turis yang biasa mampir ke pasar tradisional yang berjarak 2 jam dari bandara kini memilih belanja di toko oleh-oleh yang lebih modern dan dapat dijangkau dalam waktu yang lebih cepat dari bandara. Saat mendorong tumbuhnya kewirausahaan, hendaknya kita perlu memikirkan bagaimana mengajak keluar para pemula dari perangkap kapitalisme yang membahayakan.

Sebab kapitalisme bukanlah semata-mata sebuah sistem ekonomi, melainkan juga sebuah sistem hubungan-hubungan sosial yang membuat syahwat manusia untuk “cepat kaya” dan “makin kaya” tak terbendung. Tengoklah judul-judul buku dan iklan-iklan seminar di berbagai kota. Anda mungkin sudah tak terkejut lagi, semakin hari semakin banyak orang yang menawarkan jurus-jurus kilat untuk cepat kaya.

Gini Coefesien

Baru-baru ini ekonom mempersoalkan koefesien Gini Indonesia yang terkesan memburuk. Ketimpangan semakin lebar. Memang ada juga orang mengutip data internasional yang mudah diakses internet, yaitu CIA: The Fact Book yang dirilis tahun ini. Di situ tertulis koefesien Gini Indonesia adalah 36,8 sehingga seakan-akan bagus. Tapi saat mengutip, orang lupa menyebut tahunnya yang tertulis kecil di belakang skornya dan ternyata berbeda-beda untuk setiap negara yang ada dalam list itu.

Amerika Serikat skornya jauh lebih buruk (45), itu ternyata kondisi tahun 2007. Indonesia bagus (36,8), tetapi itu tahun 2009. Bagaimana sekarang? Data tahun 2012, koefesien Gini Indonesia memburuk 4,2 poin menjadi 41.

Padahal, peningkatan skor ini adalah benih dari insecurity. Di Amerika pun yang kapitalisme sudah berakar selama berabad-abad, keresahan senada juga dirasakan. John Stewart (The Daily Show) menulis, ”Menurut ukuran apa pun, Amerika Serikat bukanlah negara dunia ketiga kecuali dari segi ketidakmerataan ekonominya.” Dalam indeks inequality, Amerika Serikat bertengger lebih buruk dari Kamerun dan hanya beda sedikit dari Uruguay, Jamaika, dan Uganda.

Lisa Margonelli yang menulis di Pacific Standard menambahkan, “Bila pada tahun 1979 1% penduduk berpenghasilan tertinggi di Amerika mengeruk 10% pendapatan nasional, kini mereka membawa pulang dua kali lipat: 20%.” Harap dicatat, koefesien Gini Amerika Serikat meningkat 6 poin dari skor 39 menjadi 45 (2007).

Tapi angka itu segera diberi catatan. “Harap maklum, indeks yang dikembangkan Corrado Gini (1912) itu adalah alat berteriak kaum fasis.” Corrado Gini adalah kepanjangan tangan Mussolini yang menulis buku The Scientific Basis of Fascism.” Diruang kerjanya, Gini menaruh sebuah ruang kaca yang dilengkapi mikrofon dan loudspeaker untuk menyampaikan perintah. Mereka hanya berbicara kalau ditanya. Akibatnya, di luar ruangan mereka menjadi bising. Dan 100 tahun kemudian, di hari-hari ini, Gini coefesien telah benar-benar membuat para pelaku pasar bising. Politisi bising, ekonom ikut pusing, dan “pasar” bisa bereaksi negatif karena mengesankan sistem ekonomi tidak bekerja dengan baik.

Apa yang membedakan era itu dengan sekarang adalah Gini mengembangkan alat ukurnya di era yang serbasimpel, saat perekonomian Italia hanya didominasi industri kulit, tekstil, dan sepatu. Sektor keuangan dengan segala instrumennya (termasuk derivasi dan asuransi) belum berkembang. Demikian juga perdagangan global, teknologi informasi, dan budaya pop. Banyak hal baru yang telah mengubah dunia.

Miliuner pun Gelisah

Melebarnya ketidakmerataan adalah gejala yang biasa terjadi di negara-negara yang mengalami satu atau lebih dari hal-hal ini: (1) sistem sosial tidak bekerja dengan baik, (2) subsidi salah sasaran, (3) ekonomi terlalu liberal, (4) korupsi terus dibiarkan melebar dari pemerintahan ke politik dan dunia usaha swasta; atau (5) terjadinya krisis ekonomi.

Tapi Muller memberi catatan, dunia saat ini tengah mengalami kesulitan keluar dari cengkeraman kapitalisme. Dan kapitalisme yang menguat bisa membuat jurang kaya-miskin semakin lebar karena akar persoalannya ada pada prinsip-prinsip inovasi itu sendiri. Kapitalisme mempunyai efek penghancuran karena unit-unit usaha lama terbelenggu dalam tradisi lama.

Di samping itu, keluarga mempunyai peran penting. Sebab keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik adalah keluarga yang melakukan investasi sangat serius terhadap kemampuan kognitif dan motorik anak-anaknya.

Maka itu, tanpa kepemimpinan kuat, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari cengkeraman ini. Apalagi sistem politiknya “sangat bermain”. Politisi membiarkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak dinikmati kaum kaya di daerah perkotaan, walaupun mereka bicaranya nelayan, guru, buruh, dan petani. Tak banyak yang mengerti bahwa organisasi-organisasi yang mengatasnamakan guru, petani, buruh, dan nelayan sudah tidak banyak dikelola oleh guru, tani, buruh atau nelayan itu sendiri. Sebagian pengurus organisasi-organisasi itu adalah para mantan, konsultan, pemilik-pemilik kelembagaan tertentu, politisi.

Berbeda dengan apa yang dirasakan di sini, ketimpangan justru menjadi perhatian yang sangat serius di mancanegara. Januari lalu, Bloomberg melakukan interviu terhadap 70 miliuner yang hadir dalam konferensi yang dilakukan di Davos dan mereka mengatakan ketimpangan pendapatan merupakan ancaman bagi global economic growth dan menciptakan social and political instability, bahkan terbukti memicu gelombang perubahan Arab Spring belum lama ini. Dalam polling lainnya, separuh dari 1.209 investor percaya ketimpangan pendapatan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi.

Perkuat The Bottom of Pyramid

Ketidakmerataan menyangkut dua persoalan pertama, yaitu memperkuat mereka yang lemah atau menahan laju yang di atas. Tak dapat dimungkiri, kelompok yang kedua (yang di atas) dewasa ini telah begitu kencang berlari. Menahan laju pertumbuhan usaha mereka dengan sistem pajak, diyakini banyak ahli, bukanlah solusi yang efektif. Persaingan antarbangsa dalam memperebutkan kedatangan investor telah membuat dunia usaha begitu mudah berpindah lokasi. Mereka sangat rindu insentif, bukan ingin dipajaki.

Di lain pihak, bangsa-bangsa besar biasanya memilih solusi lain, yaitu memfokuskan diri pada kelompok yang pertama, the bottom line of the pyramid. Disparitas diatasi dengan memperkuat modal dasar, yaitu modal insani kaum miskin agar mereka memiliki kemampuan yang sama dengan generasi baru yang lahir dari kelas menengah.

Saya berpikir negeri ini perlu strategi yang jelas untuk membuat anak-anak yang tinggal dalam keluarga miskin keluar dari kantong-kantong kemiskinan. Saat kabupaten-kabupaten dan kecamatan-kecamatan baru banyak dimekarkan, kita lebih banyak membangun rumah sakit-rumah sakit baru untuk kaum miskin di tengah-tengah kota. Padahal kantong-kantong kemiskinan ada jauh di belakangnya. Saat kita membentuk jabatan eselon I di Kemendikbud yang mengurus PAUD (pendidikan anak usia dini), kita lebih banyak menimbulkan subsidi untuk sekolah-sekolah lanjutan dan universitas. Berapa subsidi untuk PAUD dan TK? Anak-anak di daerah pinggiran tak bisa mengecap bangku universitas kalau fondasinya saja tak dibangun dengan kuat.

Di Indonesia PAUD itu identik dengan sekolah yang kumuh, jadi satu dengan rumah ibadah atau rumah gedek dengan guru-guru yang hidup seadanya dan alat-alat bermain tanpa arah yang jelas.

Mereka juga kesulitan mendapatkan dana-dana CSR yang diamanatkan pemegang saham karena perusahaan-perusahaan besar itu meminta proposal yang bagus atau ditenderkan. Kalau anak-anak miskin tak mendapatkan pendidikan yang baik di usia emas mereka, jangan harap mereka bisa mengejar kelas menengah.

Kita butuh kolaborasi besar untuk melakukan perubahan besar. Kemiskinan dan ketimpangan tak bisa diatasi dengan diskusi dan pengajaran belaka, melainkan harus diperangi tindakan riil dari kelas menengah itu sendiri. Itu sebabnya sebuah organisasi besar yang mengorkestrasi kolaborasi ini perlu segera dikembangkan. 

Demikian analisis Rhenald Kasali. Dalam perkembangan kasus selanjutnya, peristiwa ini mendapat perhatian stasiun berita televisi TV One dalam “Berita Malam” pukul 19.00, Kamis, 4 April 2013. Berita itu menggarisbawahi, “Pelaku tilang yang berujung minta uang telah diamankan oleh pihak atasannya.”***

Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

: Penolakan sebagai Langkah Keberhasilan

Posted on 21 Februari 2013. Filed under: Apa&Siapa | Tag: |

Sebuah penolakan merupakan langkah yang diperlukan oleh siapa pun untuk menuju kesuksesan. Namun, langkah pencapaian menuju keberhasilan ternyata memerlukan kesetiaan dan keteguhan hati. Untuk itu, ada sejumlah cara menghadapi penolakan, seperti pada saat pengajuan lamaran pekerjaan yang  ditolak, penyampaian isi pernyataan cinta yang ditolak, pengajuan ide yang ditolak.

Cara sederhana ini dikisahkan oleh Anne Ahira <www.AsianBrain.com> melalui sejumlah orang yang menjadi suri teladan. Orang-orang ini membuktikan, penolakan hanya menjadi bagian dari sebuah perjalanan meraih kesuksesan.

Pertama, ide mesin fotokopi Xerox pernah ditolak oleh 20 perusahaan. Baru setelah tujuh tahun penolakan itu, mesin fotokopi ini bisa diterima oleh masyarakat.

Kedua, Alexander Graham Bell disuruh oleh seorang bankir untuk menyingkirkan ‘mainan baru’. Sang bankir menolak membeli ‘mainan baru itu’ dengan alasan tidak membutuhkannya. ‘Mainan baru itu’ adalah telepon.

Ketiga, sebanyak 33 penerbit menolak manuskrip “Chicken Soup for the Soul”. Para editornya percaya, kisah nyata pendek yang disusun oleh Jack Canfield dan Mark Victor Hansen ini tidak menjual. Kini, buku tersebut terjual lebih dari 100 juta kopi di seluruh dunia dan diterbitkan oleh penerbit dalam 54 bahasa.

Keempat, sebuah organisasi yang terdiri atas para ahli mengatakan usaha Thomas Alfa Edison dalam menciptakan lampu listrik sebagai praktik ilmu pengetahuan yang sia-sia dan tak ada gunanya mendapatkan perhatian.

Kelima, ide cerita Star Wars karya George Lucas pernah ditolak oleh studio-studio film ternama Hollywood dan setiap jaringan televisi Amerika Serikat. Namun, kini film itu tercatat sebagai salah satu film terlaris sepanjang masa dengan perolehan total sebesar $4.45 miliar. Belum lagi penghasilan dari penjualan merchandise-nya.

Menurut Anne Ahira, motivator penulis tangguh, orang yang teguh hatinya dapat menyiasati penolakan bukan menjadi akhir segalanya, melainkan penolakan sebagai cara untuk terus melangkah dan berjuang dengan keyakinan menuju keberhasilan.***

Dikirim dari WordPress untuk BlackBerry.

Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

« Entri Sebelumnya

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...