Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Bangsa

Posted on 16 Juli 2007. Filed under: Makalah |

Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Bangsa

 

  Masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia memiliki serbaneka warisan budaya yang mumpuni. Warisan ini berunsur budaya etnik, adiluhung, sakral, kreatif, sekaligus bernilai jual. Namun, persoalan budaya Indonesia bernilai jual jadi perdebatan hangat lantaran warisan budaya bangsa yang sakral, adiluhung, jauh dari unsur komersial. Pantang diperdagangkan. Budaya dari luar Indonesialah yang datang ke Tanah Air banyak menyerap dan mengambil hak cipta warisan budaya bangsa. Bagaimana melindungi warisan budaya sebagai kekayaan intelektual bangsa Indonesia?

Dosen fakultas hukum Universitas Indonesia, Doktor Agus Sardjono, Sarjana Hukum tampil sebagai pembicara dengan menjawab pertanyaan “Bagaimana Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Sebagai Kekayaan Intelektual Bangsa”. Melalui makalahnya pada seminar Pekan Produk Budaya Indonesia, Rabu 11/7 pukul 17.00 di Ruang Cenderawasih, Balai Sidang Senayan, Jakarta, Agus Sardjono agussardjono@yahoo.com yang memiliki bidang kajian utama pada Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Ekonomi menjawab tuntas melalui makalah. la ternyata bukan hanya menulis buku dan artikel yang diterbitkan serbaneka jurnal hukum dan penerbitan lain, melainkan juga ia anggota tim peneliti Traditional Arts: A Move Toward Protection in Indonesia.

Pembuka

Kesadaran bahwa Indonesia akan kalah bersaing di pasar dunia jika mengandalkan produk berteknologi tinggi sungguh sangat tepat. Konteksnya bukan karena Indonesia adalah bangsa yang minder dalam bidang teknologi, akan tetapi lebih disebabkan karena Indonesia harus lebih fokus dalam mengembangkan produk unggulannya berupa produk-produk berbasis traditional knowledge and arts dan produk-produk yang bersumber pada keanekaragaman hayati Indonesia. Produk semacam ini jelas memiliki keunggulan competitive dibandingkan dengan produk negara lain karena memiliki karakter yang jelas dan tidak dimiliki oleh negara lain, yaitu kebudayaan Indonesia.Sekurang-kurangnya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru Indonesia. Pertama, Indonesia tidak akan kekurangan bahan baku, karena bahan bakunya melimpah, baik berupa sumber daya manusia (culture and tradition) maupun sumber daya lainnya (terutama genetic resources and biodiversity). Kedua, pengembangan produk berbasis warisan budaya justru akan menghidupkan kembali jati diri bangsa yang sempat terdistorsi dengan mitos-mitos budaya pop, seperti Superman, Spiderman, Mickey Mouse, dan Donald Duck. Ketiga, partisipasi masyarakat diharapkan akan menjangkau daerah-daerah yang jauh dari kota-kota besar karena sebagian terbesar pelaku budaya justru berdomisili di daerah-daerah, di pusat-pusat kebudayaan itu sendiri. Keempat, jika pusat-pusat kebudayaan semakin terangsang untuk bangun, menggeliat dan bergairah dalam mengembangkan khasanah warisan budaya di daerah-daerah tersebut, pada gilirannya akselerasi ekonomi berbasis pengetahuan tradisional dan seni dapat membantu peningkatan kesejahteraan ekonomi dari kelompok masyarakat para pemangku dan pelaku tradisi yang bersangkutan.Indonesia adalah negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi Indonesia justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Dalam konteks inilah peran hukum menjadi sangat penting, agar pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru tidak mengabaikan atau mengalienasi hak-hak masyarakat pendukungnya. Peran hukum menjadi sangat penting agar pemanfaatan warisan, budaya ini tidak terjerumus ke dalam pusaran kerakusan kapital yang sangat pandai mencari peluang. 

Bagaimana hukum memandang warisan budaya?

Untuk menghindari debat yang tidak perlu, terlebih dahulu perlu diadakan pembatasan tentang konsep warisan budaya itu sendiri. Dalam tulisan ini, warisan budaya dilihat sebagai bentuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi kebudayaan tradisional (traditional cultural expression) dari masyarakat lokal Indonesia, baik dalam bentuk teknologi berbasis tradisi maupun ekspresi kebudayan seperti seni musik, tari, seni lukis atau seni rupa lainnya, arsitektur, tenun, batik, cerita, dan legenda.Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayan adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Beberapa peristiwa penting dalam kehidupan manusia di dalam kelompok masyarakat tertentu, seringkali ditandai dengan ekspresi seni, baik yang mengandung dimensi sakral maupun profan. Misalnya, penggunaan hiasan janur kuning sebagai pertanda adanya pesta perkawinan, musik gondang Batak dalam kaitannya dengan upacara adat tertentu, tari-tarian yang dimainkan dalam suatu event tertentu di Keraton Yogyakarta atau Surakarta, penggunaan kain batik dengan motif tertentu untuk upacara-upacara tertentu. Dengan demikian, eksistensi pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan itu oleh masyarakatnya dipahami sebagai bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual mereka.Masyarakat tidak memandang warisan budaya secara possessive (bersifat memiliki). Sebaliknya, masyarakat justru bersifat sangat terbuka. Mereka tidak keberatan jika ada orang luar yang bukan anggota kelompok ingin belajar tentang pengetahuan tradisional tertentu maupun seni tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Falsafah hidup dalam kebersamaan (togetherness) membuat tradisi “berbagi” (sharing) menjadi sesuatu yang hidup. Ethic of sharing (kebudayaan berbagi) menjadi salah satu ciri dari kehidupan sosial yang sangat menghargai keserasian dan keharmonisan kehidupan bersama. Dalam terminologi “modern”, hasil kreativitas anggota masyarakat tidak dipandang sebagai individual property sebagaimana pandangan masyarakat Barat. Hasil kreatifitas individu akan ditempatkan sebagai wujud dharma bakti anggota masyarakat tersebut dalam kelompoknya.Perilaku dan sikap masyarakat semacam ini memang rentan untuk terjadinya misapproriation atas warisan budaya mereka yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya memandang keuntungan pribadi sebagai tujuan hidupnya. Di sinilah faktor hukum memainkan peran yang penting. Hukum memandang warisan budaya dari sisi hak, dalam arti, siapa yang berhak. Oleh karena itu, hukum juga memandang warisan budaya dari aspek perlindungannya. Bagaimana memberikan perlindungan hukum yang tepat dan benar, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri.

Perlindungan hukum dan tujuannya

Dalam wacana atau diskusi hukum, masalah perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan biasanya dikaitkan dengan sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Dalam forum internasional, wacana perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan dibicarakan dalam pertemuan antar Pemerintah negara-negara anggota WIPO (WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Properly Rights and Genetic Resources, Traditionaol Knowledge and Folklore/IGC-GRTKF). Sampai dengan pertemuan sesi ke sepuluh dari IGC-GRTKF (2007), belum ada kata sepakat tentang sistem atau rezim perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional dan folklore. Beberapa pihak mengusulkan penggunaan rezim HKI, beberapa pihak lainnya menganggap rezim HKI kurang tepat.Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan usulan mana yang tepat, melainkan bagaimana Indonesia harus bersikap tentang masalah ini. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tim1 mengajukan suatu rekomendasi bahwa apabila ada inisiatif untuk membentuk hukum atau undang-undang berkenaan dengan pemanfaatan warisan budaya suatu masyarakat, maka inisiatif itu harus dilakukan dalam kerangka mendukung para pelaku seni dan tradisi dalam mempraktekkan dan mengembangkan seni dan tradisi itu. Demikian pula halnya jika inisiatif itu muncul dengan gagasan penggunaan rezim HKI, maka rezim HKI itu harus dapat menjamin bahwa para pelaku seni dapat menikmati kebebasan berekspresi, dan dapat menikmati suatu kondisi di mana mereka dapat menciptakan kreasi-kreasi baru dalam tradisi yang bersangkutan, serta dapat mewariskan kemampuan kreatifnya itu dari generasi ke generasi. Jika sistem HKI tidak memungkinkan untuk terpenuhinya persyaratan tersebut, maka tidak seyogyanya sistem tersebut dipaksakan berlaku guna melindungi pemanfaatan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru, kecuali jika dimungkinkan penyesuaian di sana sini.Pada kenyataannya, munculnya diskursus tentang perlindungan warisan budaya berupa pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan lebih disebabkan karena faktor luar. Faktor itu terutama berkenaan dengan pemanfaatan secara tanpa hak (misuse and misappropriation) oleh perusahaan-perusahaan di luar negeri yang menggunakan warisan budaya suatu masyarakat namun kemudian mengklaim sebagai milik individu mereka. Sebagai contoh ketika varietas padi Basmati diberikan hak paten di USA. Dengan klaim hak paten ini, maka bisa terjadi orang India harus membayar royalti bila hendak mengekspor benih padi Basmati ke USA. Tentu saja dengan paten ini orang India marah, karena beras Basmati itu sudah lama menjadi produk masyarakat India. Contoh yang lain terjadi ketika muncuf klaim hak paten di USA yang terkait dengan pengetahuan‘Tim ini anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki keahlian yang sangat beragam. Di dalamnya terdapat ethnomusicologist, anthropologist, law professors (akademisi), aktivis LSM dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, dan aktivis perlindungan masyarakat Aborigin, serta dengan kewarganegaraan yang bervariasi pula, terutama warga negara Indonesia, kemudian Amerika Serikat, Australia, India, dan Inggris. obat-obatan tradisional suku Kani di India (kasus paten Jeevani).2

Paten ini terkait dengan pemanfaatan orygyapaacha oleh masyarakat suku Kani. Contoh berikutnya adalah paten pohon Neem (1996) di USA.s Pohon Neem (di Indonesia disebut Mimba) telah banyak digunakan oleh masyarakat lokal di India untuk berbagai keperluan. Perusahaan Amerika mengambil ekstrak dari biji Neem (extract of neem oil – azadirachtiri), dan kemudian mengajukan klaim paten atas penemuan mereka. Paten atas pemanfaatan azadirachtin itu sendiri mungkin tidak melanggar HKI, namun yang jadi persoalan adalah bahwa hak paten itu justru lahir dari pengetahuan tradisional masyarakat lokal, yang kemudian berdasarkan rezim HKI diklaim sebagai milik individu.Dalam contoh yang terkait dengan ekspresi kebudayaan terdapat kasus Milpurrurru di Australia.*

Kasus ini terkait dengan penggunaan lukisan masyarakat Aborigin untuk desain karpet. Lukisan ini dipercaya mempunyai nilai sakral karena terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat. Dengan menggunakannya sebagai desain karpet, maka ada kemungkinan lukisan itu akan diinjak-injak orang. Tentu saja penggunaan desain secara demikian itu sangat sensitive karena bersentuhan dengan sistem kepercayaan suatu masyarakat. Pelaku seni dan pengrajin Indonesia juga pernah mengalami persoalan yang berhubungan dengan klaim HKI atas warisan budaya setempat. Peristiwanya terjadi ketika seorang pengrajin ukir-ukiran kayu tradisional Bali tidak boleh mengeskport langsung ke Amerika kecuali jika membayar royalti kepada orang Amerika. Pasalnya, desain atas ukiran itu sudah didaftarkan sebagai design patent di USPTO oleh orang Amerika. Padahal boleh jadi orang Amerika itu membeli ukiran di Bali kemudian di bawa pulang ke Amerika dan didaftarkan sebagai desain miliknya di sana. Kasus ukiran Jepara juga menjadi salah satu contoh penting berkenaan dengan minat orang asing untuk memanfaatkan secara ekonomis warisan budaya Indonesia melalui klaim-klaim pemilikan HKI.Kasus-kasus semacam itulah yang menjadi alasan mengapa perlindungan hukum menjadi penting sehubungan dengan timbulnya gagasan memanfaatkan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru di Indonesia. Yang hams dipertimbangkan kemudian adalah sistem perlindungan seperti apa yang cocok untuk digunakan.

———-

Anil K. Gupta, The Role of Intellectual Property Rights in the sharing of benefit arising from the use of Biological Resources and Traditional Knowledge, dalam http://www.wipo.int/tk/en.unep. diakses tanggal 20 Februari 2004.

Shayana Kadidal, “Subject Matter Imperialism? Biodiversity, Foreign Prior Art and the Neem Patent Controversy”, IDEA, The Journal of Law and Technology, (Vol. 37, No. 2, tanpa tahun), 371-378.Margaret Martin, “What’s in a Painting? The Cultural Harm of Unauthorized Reproduction: Milpurrurru & Ors v. Indofurn & Ors”, Sydney Law Review, (Vol. 17,1995), 592-598.Yang dimaksud outward looking adalah agar gagasan perlindungan warisan budaya itu lebih difokuskan kepada bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di luar wilayah Indonesia, karena justru di sanalah proses misuse dan misappropriation secara tidak fair dilakukan.protection system. 

Model ini sudah diterapkan dalam rezim unfair business practices dan unfair competition, juga dalam sistem perlindungan hak cipta. Sistem ini relatif tidak membebani anggota masyarakat lokal (pemangku hak atas pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan) dengan persyaratan-persyaratan pendaftaran sebagaimana dalam sistem HKI yang bersifat positive protection atau yang disebut juga dengan active protection system.

Dalam sistem HKI yang positif atau aktif, terutama paten, desain dan merek dagang, seseorang akan menikmati perlindungan hukum jika telah mengajukan permohonan hak melalui pendaftaran. Sedangkan dalam negative protection system hak itu tidak perlu diminta karena secara otomatis hak itu lahir setelah suatu karya intelektual diselesaikan. Misalnya, seorang pelaku seni pertunjukan, ia tidak perlu mendaftarkan seni pertunjukannya sebagai karya intelektualnya. Apabila pertunjukannya itu direkam, maka pelaku seni itu dapat menuntut siapa saja yang menggunakan rekaman suara atau gambar pertunjukannya itu tanpa ijinnya.? Tentu saja negative protection system ini memerlukan persyaratan tertentu agar supaya dapat dilaksanakan (enforceable). Salah satu persyaratan yang sangat penting adalah tersedianya dokumentasi untuk membuktikan bahwa suatu karya warisan budaya itu benar-benar berasal dari suatu masyarakat tertentu. Persyaratan berikutnya adalah menyangkut legal standing bila akan mengajukan klaim kepada pihak luar yang memanfaatkan karya warisan budaya secara tanpa hak. Siapakah yang berhak mengajukan tuntutan kepada pelaku misappropriation? Bagian berikut ini merupakan elaborasi singkat tentang bagaimana negative protection system itu bisa dikembangkan.Benarkah negative protection system merupakan solusi? Merujuk kembali kepada rekomendasi Tim peneliti yang sudah disebutkan di atas, gagasan perlindungan hukum hams diarahkan untuk mendukung para pelaku seni dan tradisi dalam mempraktekkan dan mengembangkan seni dan Dengan demikian, aturan hukum yang dibentuk nantinya harus memberikan fasilitas kepada siapapun dari Indonesia yang akan melakukan action memperjuangkan hak-hak masyarakat lokal Indonesia yang dilanggar oleh pihak luar itu. Outward looking juga bisa diartikan sebagai bentuk fasilitas kepada pihak luar (asing) yang berminat memanfaatkan warisan budaya Indonesia untuk tujuan ekonomi, asalkan pemanfaatan itu dilakukan dengan penyebutan’atau pengakuan (ackowledgment) terhadap hak-hak masyarakat lokal Indonesia, dan pemanfaatan itu dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat itu sendiri.Negative protection system adalah sebuah sistem perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang pengemban hak. Sistem ini tidak membebani pengemban hak tersebut untuk melakukan tindakan akktif mengajukan permohonan memperoleh hak perlindungan, akan tetapi hukum secara otomatis memberikan perlindungan kepadanya. Hak ini tidak diberikan oleh Negara sebagaimana halnya dalam sistem paten, merek, dan desain industri, melainkan diperoleh secara otomatis (by operation of law) sejak saat dilahirkannya suatu karya atau produk. Walaupun pengemban hak tidak melakukan langkah aktif untuk memperoleh hak, namun ia dengan berbagai bentuk alat bukti dapat mengajukan klaim kepada pihak lain bahwa pihak yang terakhir ini telah melanggar haknya dengan melakukan unfair busniess practices, unfair competition, atau telah mengaku-aku memiliki hak yang sesungguhnya adalah hak orang lain.Performer’s right dari seorang pelaku sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 ayat (i) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Jika kita perhatikan contoh-contoh kasus di atas, maka model perlindungan yang tepat adalah yang bersifat outward lookings dengan mengadopsi negativetradisi itu. Sistem perlindungan yang bersifat possessive sebagaimana sistem HKI cenderung akan membatasi kebebasan para pelaku seni itu dalam berkreasi. Sebut saja contoh didalam Pasal 10 ayat (2) UU Hak Cipta yang menyatakan Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Konsep ini merupakan konsekuensi logis dari sistem pengaturan tentang Pemegang Hak Cipta yang terdapat di dalam Pasal i butir (4) dan Pasal 2. Dengan konsep Negara sebagai pemegang hak cipta, maka Negara merriiliki hak eksklusif atas folklore. Walaupun tujuan pemberlakuan Pasal 10 ayat (2) UU Hak Cipta adalah dalam hubungannya dengan pihak asing, akan tetapi dalam pelaksanaanya, aparatur birokrasi dan hukum dapat menafsirkan secara berbeda. Contohnya adalah yang terjadi di Kabupaten Surakarta yang telah mendaftarkan desain batik klasik, dan memperoleh sertifikat pendaftaran dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan bukti pendaftaran itu, Pemerintah Daerah Surakarta sebagai “pemegang hak cipta” atas batik-batik klasik itu bisa saja melarang pihak lain di luar warga Surakarta untuk menggunakan motif-motif dalam industri batik mereka di daerah lain. Atau sebaliknya, berdasarkan bunyi Pasal 10 ayat (3) UU Hak Cipta Pemda Surakarta dapat memberikan exclusive license kepada pihak asing yang tertarik untuk memproduksi suatu desain tertentu. Pihak asing yang merasa telah mendapatkan exclusive license itu bisa saja melarang pihak lain (termasuk warga negara Indonesia sendiri) untuk menggunakan desain yang lisensinya telah diberikan kepadanya secara eksklusif. Analasis hipotetis ini bukan tidak mungkin akan terjadi. Dan jika analisis itu benar-benar terjadi, maka jelas hal itu merupakan penyelewenangan dari tujuan pemberlakuan Pasal 10 UU Hak Cipta. 

Untuk menghindari hal semacam itu perlu dipikirkan sistem perlindungan yang tidak bersifat possessive. Sistem perlindungan yang lebih terbuka sifatnya bahkan berpotensi untuk mendorong pengembangan warisan budaya itu sendiri. Misalnya, dengan membuka access terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan kepada orang asing atau bahkan kepada enterpreneur Indonesia. Kebijakan open access itu berpotensi menciptakan audience baru dari warisan budaya itu. Contoh konkritnya adalah pagelaran Megalitikum Quantum yang mengangkat tari dan musik Hoho dari Nias, serta tari dan musik Kuntulan dari Banyuwangi. Barangkali seni musik dan tari Hoho dari Nias itu sudah tidak memiliki audience lagi, bahkan di Nias sendiri. Tapi dengan adanya akses yang terbuka, yang kemudian dikemas oleh seniman-seniman yang kreatif, bukan tidak mungkin musik dan tari Hoho akan hidup kembali di tanah air ini. Faktanya, ketika musik Hoho yang hampir punah itu dikemas dengan menggunakan perangkat modern, maka warisan budaya yang hampir punah itu justru menjadi sebuah kreasi seni yang indah dan layak tonton (baca: marketable). Contoh yang lain adalah dipentaskannya epik / La Galigo oleh sutradara kondang Robert Wilson dari USA. Pementasan I La Galigo di berbagai negara telah menyadarkan bangsa Indonesia sendiri bahwa ternyata seni sastra Indonesia jika digarap dan dikemas dengan serius akan melahirkan karya seni yang indah dan bernilai ekonomis yang tinggi. Selain itu, dengan pementasan I La Galigo oleh orang luar telah membangkitkan demam (baca: revitalisasi) pembacaan naskah I La Galigo di tanah kelahirannya, Sulawesi Selatan. Artinya, pementasan/La Galigo oleh orang luar justru telah membangkit kembali audience dari kisah tersebut yang justru hampir punah, dikalahkan oleh dongeng Cinderella dengan sepatu kacanya..Dengan menerapkan sistem yang terbuka, maka bukan tidak mungkin di dunia ini muncul kreasi-kreasi seni baru yang bersumber dari naskah-naskah atau seni tradisional Indonesia yang adiluhung. Jika Amerika Serikat berhasil mengeksport dongeng-dongeng tentang manusia super, manusia laba-laba, manusia kelelawar, tikus yang nakal, dan bebek yang pandai berbicara, mengapa Indonesia tidak dapat mengeksport karya seni yang nilai artistiknya lebih tinggi daripada sekedar bebek yang bisa bicara? Jika sistem perlindungannya bersifat possessive, maka orang luar akan enggan untuk menggarap karya-karya seni Indonesia dalam kemasan modern yang lebih marketable. Jika demildan halnya, kapan seni budaya Indonesia akan mendunia? Boleh jadi dengan possessive protection bahkan membuat para seniman Indonesia sendiri justru enggan untuk berkreasi secara lebih bebas, karena takut ancaman gugatan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Dalam UUD Republik Indonesia sebenarnya terdapat pedoman yang sangat konkrit tentang sistem perlindungan yang tepat. Dalam Pembukaan UUD ’45 dengan tegas dinyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan urnum.” Tujuan melindungi segenap tumpah darah Indonesia itu kemudian dibebankan kepada Executive Body (Pemerintah) untuk dilaksanakan.Dari bunyi UUD tersebut, jelas bahwa tugas Negara bukan menjadi Pemilik atau Pemegang Hak sebagaimana klaim di dalam Pasal 10 UU Hak Cipta, tetapi justru harus menjadi pelindung bagi warga masyarakat atas harta benda milik mereka, termasuk warisan budaya yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial dan spiritual warga bangsanya. Sebagai pelindung, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah konkrit jika terjadi misuse atau misappropriation atas warisan budaya bangsa, baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia sendiri maupun perusahaan-perusahaan asing di luar negeri. Sistem ini juga tidak bertabrakan dengan prinsip national treatment yang sudah menjadi komitmen Indonesia dalam kesepakatan perdagangan dunia (WTO), karena memperlakukan perusahaan nasional sama dengan perusahaan asing. Sistem perlindungan yang demikian itu dapat diterapkan jika menggunakan negative protection system. Melalui sistem ini tidak diperlukan adanya pendaftaran hak oleh warga bangsa atas warisan budaya mereka. Walaupun demikian, Pemerintah dapat mengajukan klaim kepada siapapun juga yang melanggar hak-hak masyarakatnya atas warisan budaya mereka. Klaim yang dimaksud tidak harus bersifat larangan untuk menggunakan, tetapi dapat pula berbentuk tuntutan untuk adanya equitable benefit sharing atas pemanfaatan warisan budaya yang digunakan pihak lain untuk tujuan ekonomi.

Dengan demikian sistem yang diterapkan bersifat win win solution. Pihak pengguna memiliki kebebasan untuk menggunakan dan mengembangkan kreatifitas yang terdapat dalam pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan yang dimaksud, sementara masyarakat pemangku haknya dapat memperoleh manfaat dari pengembangan warisan budaya itu sendiri. Tentu saja pemanfaatan itu harus dilakukan dengan menyebut asal-usul dari warisan budaya yang bersangkutan (acknowledgment). Jika produk yang bersumber dari warisan budaya itu digarap dengan bagus dan memiliki daya tarik yang tinggi, bukan tidak mungkin audience atas warisan budaya tersebut akan semakin berkembang luas, bukan hanya pada tingkat nasional atau bahkan lokal, namun akan meluas pada tingkat internasional.Untuk mendukung klaim Pemerintah kepada pihak pengguna di luar negeri memang diperlukan data yang membuktikan bahwa suatu warisan budaya tertentu memang berasal dan menjadi bagian dari kehidupan sosial bangsa Indonesia. Di sinilah arti penting dari dokumentasi. Dengan demikian, jelas bahwa penerapan negative protection ini membutuhkan kesiapan perangkat pendukung berupa database yang memadai. Untuk mewujudkan hal ini dapat dipilih sistem dokumentasi yang akan diterapkan. Salah satu contoh yang mungkin feasible dan manageable adalah penggunaan teknologi Wiki. Kiranya setiap sektor atau Departemen yang terkait dengan bentuk warisan budaya tertentu dapat bekerja sama dengan para ahli teknologi informasi untuk mulai memikirkan sistem database yang tepat. Misalnya, Departemen Kesehatan, Badan POM, Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan dapat mengembangkan teknologi Wiki menyangkut dokumentasi pengetahuan obat-obatan tradisional Indonesia dan sumber daya hayati yang terkait dengannya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dapat mengembangkan teknologi Wiki untuk mendokumentaskan bentuk-bentuk seni tradisional yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Pengumpulan bahannya dapat dilakukan melalui kerja sama dengan semua Pemerintah Daerah sampai pada tingkat Kecamatan atau dengan LSM yang bergerak dalam ranah budaya tersebut. Bahkan Kementerian Riset dan Teknologi serta segenap jajaran BPPT dan LIPI dapat melakukan kegiatan penelitian dan pegumpulan data yang terkait dengan sektor yang menjadi beban tugasnya. Intinya, selalu ada jalan jika ada kemauan. Seluruh rangkaian kegiatan yang mendukung sistem perlindungan bagi warisan budaya itu harus dilakukan dengan menanggalkan ego sektoral yang biasanya menjadi penyakit birokrasi. 

Penutup

Kiranya, gagasan untuk mengoptimalkan warisan budaya sebagai alternatif sumber ekonomi baru di Indonesia akan menghasilkan berbagai manfaat jika dikelola dengan benar, dengan menerapkan aturan hukum yang juga benar dan tepat. Benar di sini berarti bahwa aturan hukum itu benar-benar merupakan pendukung dan bukan justru menjadi penghambat dalam mewujudkan gagasan itu. Tepat di sini berarti bahwa aturan hukum itu dapat dipahami dengan mudah oleh warga masyarakatnya karena sesuai dengan sistem nilai, pandangan, sikap, dan perilaku warga masyarakatnya, serta mampu memberikan peluang kepada mereka untuk ikut berpartisipasi mewujudkan idea pemanfaatan warisan budaya sebagai alternatif sumber ekonomi yang baru. Semoga. ***

Make a Comment

Tinggalkan komentar

4 Tanggapan to “Melindungi Kekayaan Warisan Budaya Bangsa”

RSS Feed for Forum Inovatif Pekerja Media Comments RSS Feed

yth.johnherf
sy ingin mengetahui tentang perlindungan hak cipta atas musik dan bagaimana pembagian royalti di indonesia.yang mana royalti itu sendiri merupakan hak eksklusif pencipta.
mohon info lebih jelasnya

mengenai furniture dan handicraft yang saya jual apakah ada hak ciptanya?
please visit http://www.balisouvenirs.wordpress.com


Where's The Comment Form?

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...