Bahasa Baku versus Bahasa Nonbaku

Posted on 6 September 2007. Filed under: Bahasaku-Bahasamu |

Serbaneka kebahasaan di negara Republik Indonesia sangat mudah dipelajari. Apalagi kalau mayoritas pengguna menjadi kreatif menggunakan serbaneka kata dan istilah yang akrab dengan pengguna. Kenyataannya, kesimpangsiuran kata dan istilah yang bermunculan membuat pengguna bahasa Indonesia bertambah bingung. Padahal, menurut Profesor Anton Moedardo Moeliono, 78 tahun, guru besar dari Universitas Indonesia kebingungan berakar pada metode pendidik di sekolah dasar yang mengajarkan teori kebahasaan yang melupakan praksis kebahasaannya. Mengapa pola pengajaran jadi membingungkan, jauh dari kesan memudahkan sekaligus mengasyikkan belajar bahasa Indonesia?

Di hadapan peserta yang sebagian besar beraktivitas pewarta, Profesor Anton Moedardo Moeliono menegaskan, wartawan selalu meneruskan tradisi bahasa Indonesia. Wartawan memperjuangkan dan menyempurnakan bahasa Indonesia. Menurut guru besar dari Universitas Indonesia itu, wartawan sebagai guru bahasa Indonesia. Apa pasalnya?

Kebanyakan dari masyarakat kita tidak belajar lagi setelah menerima pelajaran bahasa Indonesia dari sekolah. Oleh karena itu, ia tidak belajar lagi dari gurunya, tapi belajar dari koran. “Jadi, apa yang dimaui oleh wartawan, misalnya pengenalan kata “memenangi” dilakukan oleh wartawan, sedangkan “memenangkan” dilakukan oleh guru bahasa Indonesia sudah berlangsung sejak dahulu.”

Mengenai berbagi beberapa kaidah bahasa Indonesia, guru besar itu menyampaikan pertanyaan mengapa baku versus nonbaku, pengandaiannya begini. Seandainya lampu di ruang pertemuan ini diganti karena ada yang mati, tentu pengganti lampu yang dicari berukuran sama dengan ukuran lampu yang mati. Oleh karena itu, lampu yang sama itu tidak akan membingungkan pencari lampu sebagai pengganti lampu yang mati. Penyebabnya, lampu yang akan diganti ukurannya sudah pasti sama. Kesamaan ukuran itu sebagai bentuk baku yang standar. Demikian pula, jika seseorang mengalami pecah ban mobil di jalan. Atau ban mobil di tengah jalan sobek. Ia akan mencari ukuran ban yang tentu sama dengan ukuran ban yang dimiliki oleh tukang tambal ban atau penjual ban. Jadi, ia tidak perlu mencari ukuran ban lagi. Itulah kebakuan yang berfungsi memudahkan. “Kehidupan modern diatur dengan baku,” tegas Profesor Anton Moedardo Moeliono seraya menambahkan, “yang tidak ada aturannya itu ayam buras.”

Begitu juga dengan bahasa. Mengapa perlu ada bahasa baku di media massa karena dapat diterima oleh semua pembaca. “Kebakuan itu berarti saling pengertian,” katanya. Ia pun memberikan contoh, negara Jepang, Korea, Cina disekat dalam persatuan. Lantas, apa bedanya dengan Malaysia dan Indonesia?

Di Indonesia keterikatan pada etnis masih kental. “Saya lahir dan dibesarkan di Bandung tentu akan akrab dan mengerti bahasa Sunda. Namun, tidak lazim dan dianggap aneh kalau pemahaman bahasa saya, saya sampaikan kepada orang Sumatra, misalnya.”

Wartawan terpanggil sebagai wartawan sebab senjata wartawan sangat ampuh. “Pembacanya jutaan,” ujar guru besar Universitas Indonesia sambil menggarisbawahi, kalau dirinya memberi kuliah jumlah mahasiswanya tiga puluh saja.

Ia mengisahkan pada tahun 1980 memberi pelajaran bahasa Indonesia melalui televisi Republik Indonesia. “Ada dampaknya pada waktu itu,” tegasnya seraya menggarisbawahi bahwa sekarang dengan 17 stasiun televisi untuk menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia kesadaran untuk belajar berkurang. “Kebakuan bahasa Indonesia bisa berkurang.”

Dewasa ini penduduk Indonesia yang berpendidikan minimal sarjana sejumlah 17 persen, yang bekerja berijasah sarjana. “Orang-orang seperti kita itu berkenalan dengan bahasa Indonesia di sekolah, yang tidak sekolah memiliki pengalaman berbahasa sendiri.”

Masalah besar oleh masyarakat Indonesia bahwa orang berpendidikan di Indonesia masih terbatas, 70 persen hanya sekolah dasar. Akibatnya, bahasa Indonesia sekolah hanya bisa dipahami oleh orang yang sekolah. “Jika kita ingin menjadi pemimpin di Asia Tenggara, tentu harus memajukan bahasa Indonesia,” pesan Profesor Anton Moedardo Moeliono.

Mengapa bahasa Cina atau Mandarin sekarang dicari orang? Karena pemakainya bangga menggunakan bahasanya. Di mana-mana aksara Cina lebih dominan, entah di pusat perbelanjaan, entah di kampus. “Kalau kita selama 62 tahun masih mengidap penyakit “rasa tuna”. Di zaman kolonial, revolusi didirikan oleh orang didikan Belanda. Apa yang terjadi jika pemimpin bangsa menciptakan “reformasi” pada saat ini? Reformasi pada saat ini lebih bermakna kebebasan untuk tidak mengikuti kaedah. Di kita, hidup seperti Ayam Buras. “Saya berpendapat, kaidah bahasa Indonesia resmi merupakan ragam bahasa. Bahasa tidak resmi tidak perlu dilarang.”

Apa bedanya baku versus tidak baku? Jangan terlalu menghabiskan waktu, apakah hutang –> utang, misalnya. Bahasa Indonesia itu beragam. Di Amerika Serikat saja ada bahasa Inggris yang bervariasi.

Pada ilmu pengetahuan yang dipersoalkan, ragam bahasa baku ilmiah. Dari semua unsur budaya, bahasa Indonesia yang dewasa ini bahwa kita ini belum bebas dari arus globalisasi. Kembali ke baku dan tidak baku, makin banyak orang berpartisipasi. “Saya senang wartawan kreatif di dalam berbahasa, seperti rekam jejak dari track record.”

Hakikat kata “supermarket” waktu saya usulkan, saya memahami bahwa supermarket artinya melayani diri sendiri dengan kereta dorong. “Jadi, dari wartawan konsep asing bisa diindonesiakan. Bisa saja dilakukan penyesuaian asal mementingkan keindonesiaan. “Kita punya konsep dari bahasa Jawa misalnya, atau dari bahasa Sanskerta.” Misalnya, kumpul kebo dan gladi resik, keduanya dari bahasa Jawa. Padahal, bahasa bukan hanya milik orang Jawa supaya menjadi milik orang Indonesia — kalau terlalu banyak menyerap kata Jawa — terjadi “Jawanisasi”. Kumpul Kebo diganti menjadi Kumpul Kerbau, Gladi Resik diganti menjadi Gladi Bersih.

Bagaimana mencendekiakan bahasa Indonesia? Intelektualisasi itu bahasa yang bernalar. Oleh karena itu, di hadapan peserta yang hadir pada diskusi bahasa berjuluk “Bahasa Baku versus Nonbaku” yang juga menampilkan Alvin Lie, anggota dewan perwakilan rakyat, Kamis 6/9 pukul 12.00–16.30 WIB di gedung Graha Pena Koran Rakyat Merdeka Jalan Raya Kebayoran Lama lantai 8, Profesor Anton Moedardo Moeliono menggarisbawahi verba tulis.

tulis –> menulis –> penulis –> penulisan –> tulisan

Pertanyaan berikut ini, perlindungan anak atau pelindungan anak? Jawaban atas pertanyaan itu mulailah dengan verba lindung.

lindung –> melindungi –> pelindung –> pelindungan –> lindungan

berlindung –> perlindungan

Anton Moerdardo Moeliono pun mengajukan pertanyaan di hadapan peserta untuk mencoba sendiri verba dari kata “kirim”. Lantas, seorang peserta menyampaikan turunan kata kirim dengan benar. “Sayang sekali kaidah itu tidak diajar sampai sekolah dasar,” keluh guru besar Universitas Indonesia ini prihatin.

Lalu ia mencoba lagi mengajukan kata “pembelajaran” yang artinya guru menjadikan murid belajar. Oleh karena itu, tidak masuk akal kalau bahasa dibuat belajar dengan “pembelajaran bahasa”, katanya. Prosesnya pemelajaran. Lalu membelajarkan. ***

Make a Comment

Tinggalkan komentar

8 Tanggapan to “Bahasa Baku versus Bahasa Nonbaku”

RSS Feed for Forum Inovatif Pekerja Media Comments RSS Feed

Bahasa dan pemberdayaan bentuk yang baku, adalahtanggung jawab kita semua, terkadang wartawan juga tidak luput dari kemungkinan pergeseran bentuk baku menjadi non-baku, hanya pembacanya sajalah yang perlu menjalankan fungsi kontrolnya.. 🙂

Senang sudah bisa mampir kesini, salam hangat dari afrika barat..

Wah…diskusi pak Anton memang menarik soalnya seperti kuliah umum. Saya paling suka gaya bahasa diskusi tapi seperti kuliah dan kita mendapat sisi akademisnya. Lumayan kuliah lagiii…

Salam puasa 2007.
euis d
Jaktim

bagaimana kalo’menulis kata “mempraktekkan”,,apakah huruf “k” ditulis dua kali??

lha fungsi bahasabakuny untuk apa????

kok jadi bingung ya…
hehehe..
trmksh banyak infona

Bagus.. and makasih


Where's The Comment Form?

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...